Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seorang Suami Tak Perlu Gengsi Bertukar Peran dengan Istrinya

6 Maret 2020   08:28 Diperbarui: 6 Maret 2020   08:23 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Didalam sebuah kaluarga adakalanya kita perlu bertukar peran satu sama lain | Sumber gambar : www.womenshealthmag.com

Selama ini kita seringkali dihadapkan pada pameo bahwa dalam sebuah keluarga peran suami adalah mencari nafkah "saja" sedangkan peran istri adalah mengurus anak, memasak, atau mengerjakan "operasional" urusan rumah tanggal lainnya. Namun, emansipasi dan prinsip kesetaraan gender telah memberikan sudut pandang baru. Bahwa peran diantara suami ataupun istri tidak harus kaku seperti dulu. Antara suami dan istri tidak menutup kemungkinan untuk saling bertukar peran satu sama lain. Suami mengerjakan tugas istri, dan istri mengerjakan tugas suami. Tentu dalam kadar yang tidak berlebihan.

Ketika seorang suami mengerjakan aktivitas memasak, menyapu rumah, memandikan anak, atau mengganti popok anak maka itu seharusnya tidak masalah. Begitupun ketika sang istri turut menjadi sosok yang mencari nafkah untuk keluarga juga sah-sah saja dilakukan. Selama hal itu tidak melampaui kadar kemampuan ataupun "kodrat"masing-masing.

Dalam berumah tangga, seorang istri adalah "pakaian" bagi suami dan sebaliknya. Sayogyanya, masing-masing pihak saling berkontribusi terhadap yang lain. Ketika sang suami butuh bantuan, maka sang istri turut meringankan. Hal serupa juga berlaku sebaliknya.

Idealnya mungkin seorang istri adalah sosok yang menyiapkan hidangan di rumah, memandikan anak, atau sejenisnya. Namun di kala seorang istri memiliki kesibukan lain yang orientasinya juga untuk kepentingan keluarga maka tidak ada salahnya bagi seorang suami menyempatkan diri ke dapur dan memasak untuk santapan keluarga.

Jika perlu mencuci piring maka hal itu pun juga bisa dilakukan. Tidak perlu malu ataupun gengsi untuk suatu urusan semacam itu. Seorang suami tidak akan kehilangan martabatnya sebagai lelaki hanya karena menjadi pencuci piring di rumahnya sendiri atau memasak untuk istri dan anak-anaknya. Karena hal itu sebenarnya dilakukan atas nama kebaikan bersama sebuah keluarga.

Selain sebagai sarana saling mengisi satu sama lain, menjalankan peran yang "bukan seharusnya" juga merupakan media yang baik untuk menjalin komunikasi antara suami dan istri. Terkadang dalam sebuah rumah tangga dimana masing-masing memiliki kesibukan berbeda, komunikasi seringkali mengalami kendala.

Salah satu cara yang bisa diberdayakan untuk merawat jalinan komunikasi sumai istri adalah melalui "tukar peran" ini. Disana kita akan tahu seperti apa tantangan yang dihadapi pada setiap peranan yang dijalani. Dengan demikian hal itu akan melahirkan empati satu sama lain.

Apabila selama ini ada seorang suami yang cenderung memprotes masakan istrinya, dengan ia menjalani peran sebagai "koki" keluarga dan melakukan sendiri aktivitas memasak maka hal itu akan melahirkan persepsi yang berbeda. Seorang suami akan jauh lebih menghargai masalan yang dibuat oleh istrinya. Demikian juga dengan aktivitas-aktivitas lain.

Tidak jarang seorang suami meremehkan peran istrinya yang "hanya" dirumah mengurus keluarga lantas berkeluh kesah apabila dinilai ada yang kurang dari pekerjaan sang istri. Padahal pasti akan ada sisi yang kurang dari pekerjaan kita. Yang dibutuhkan bukanlah kritik atau sindiran, tetapi empati untuk memahami perihal suatu kondisi. Bahkan ketika suatu kebohongan yang disebut-sebut sebagai tindakan tercela, dalam perkara rumah tangga adakalanya ia "diizinkan" selama hal itu mampu membuat senang hati pasangannya.

Lalu, mengapa kita tidak berani untuk "mengusir" gengsi dalam upaya menjaga harmoni keluarga masing-masing?

Salam hangat,

Agil S Habib

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun