Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Fatwa Pernikahan "Antar-Kasta" dan Pudarnya Keyakinan Nikah Membuka Pintu Rezeki

20 Februari 2020   07:53 Diperbarui: 20 Februari 2020   18:19 880
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menikah adalah ibadah. Menikah itu membuka pintu rezeki. Paling tidak dua hal itulah yang selama ini diyakini eksistensinya oleh banyak orang. Namun belakangan ini justru menikah ditengarai sebagai salah satu sumber lestarinya kemiskinan di Indonesia. 

Menurut Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy jumlah rumah tangga Indonesia mencapai 57.116.000 jiwa dengan 9,4 persen diantaranya adalah keluarga miskin.

Muhadjir menambahkan bahwa ada kesalahan penafsiran terkait bagaimana seorang warga Indonesia dalam memilih jodoh. Banyak yang memahami bahwa memilih jodoh yang setara adalah yang memiliki kesamaan strata ekonomi.

Orang kaya menikah dengan sesama orang kaya, dan orang miskin menikah dengan sesama orang miskin. Hal inilah yang disebut oleh Muhadjir sebagai biang kerok munculnya rumah tangga miskin baru di Indonesia.

Lebih lanjut Muhadjir menambahkan bahwa permasalahan kemiskinan ini perlu dituntaskan yaitu dengan menggagas lahirnya fatwa pernikahan antar "kasta". Lelaki kaya harus menikahi wanita miskin atau sebaliknya. Bahkan kalau bisa hal ini dibuatkan fatwa untuk mempertegas keberlakuannya. 

Apa yang diutarakan oleh Menko PMK mungkin ada benarnya. Karena salah satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam memilih jodoh adalah "kufu" atau setara. Setara tidak melulu dalam status ekonomi, tetapi juga menyangkut akhlak kepribadian, wawasan keagamaan, dan lain sebagainya. 

Nabi Muhammad SAW menyebutkan bahwa seseorang menikah umumnya dilandasi oleh empat hal yaitu hartanya, nasabnya, parasnya, dan agamanya. Mereka yang paling beruntung adalah yang memilih agama sebagai prioritas utama. Jadi sebenarnya harta hanya salah satu "kriteria" yang menjadi bahan pertimbangan.

Sayangnya, pemahaman ini belakangan terkesan dipersempit. Terlebih sampai ada usulan yang mendorong lahirnya fatwa pernikahan antar kelas ekonomi. 

Bagaimanapun juga pernikahan bukanlah sesuatu yang layak untuk dipaksakan. Mereka yang miskin mungkin berharap memiliki jodoh orang kaya. Namun belum tentu sebaliknya. 

Mengapa sampai perlu ada fatwa untuk ini? Apalagi kemudian menuding bahwa pernikahan adalah sumber dari kemiskinan baru. Hal ini seolah menjadi kontradiksi terhadap nilai-nilai ajaran agama. Pernikahan yang memiliki label penyempurna agama seseorang malah disebut sebagai dalang lahirnya kemiskinan baru. 

Seakan mereka mengingkari dan mengabaikan "janji" Sang Pencipta yang akan memberikan pertolongan kepada hamba-Nya yang menikah. Disatu sisi pemerintah ingin memerangi pergaulan bebas, free sex,  dan hubungan di luar nikah. Akan tetapi disisi lain mereka menjadi terlalu ikut campur urusan pribadi seseorang. 

Sampai-sampai untuk memilih jodoh saja sampai harus dibuatkan fatwa. Ataukah pemerintah kita tidak yakin dengan pengetahuan beragama masyarakatnya?

Kalau memang demikian maka cara yang ditempuh seharusnya dengan jalur pendidikan formal dan informal guna memberikan edukasi kepada masyarakat terkait hal-hal tertentu dalam agama. Bukan memilih jalur pembuatan fatwa. Memangnya fatwa itu akan diikuti?

Sampai saat ini saya masih meyakini bahwa menikah itu membuka pintu rezeki. Hanya saja apakah orang-orang di luar sana juga memiliki keyakinan yang sama seperti itu? Memiliki keyakinan sangatlah penting karena itu kunci pertama untuk memulai langkah. 

Namun sepertinya semakin banyak yang hilang keyakinan atas hal ini. Ironisnya, justru itu terlihat didalam diri Ulil Amri yang memiliki tugas mengurus kepentingan umat. Semestinya pemerintah tidak menjadi "kompor" yang memanasi pesimisme pernikahan tidak menjadikan hidup sejahtera. 

Sebaliknya, pemerintah harus memfasilitasi segenap keluarga Indonesia khususnya yang masih berada dalam taraf kemiskinan agar didorong untuk menjadi lebih kreatif menemukan sumber penghasilan baru. Memberikan mereka pelatihan kinerja atau sejenisnya.

Sepertinya kita butuh cara yang lebih kreatif untuk mengatasi permasalahan kemiskinan daripada sekadar mendorong lahirnya fatwa menikah antarkelas ekonomi. 

Negara-negara maju di Timur Tengah yang notabene banyak beragama Islam saja tidak memerlukan sebuah fatwa menikah untuk memperbaiki taraf hidup warganya. 

Tidakkah lebih baik bagi kita untuk belajar kepada mereka? Agama sudah memiliki ranahnya untuk mengatur tata kehidupan seorang penganutnya. Tidak perlu hal itu didomplengi untuk sesuatu yang tidak perlu.

Salam hangat,
Agil S Habib

Refferensi :

[1]; [2]; [3]; [4] ; [5]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun