Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengulik Data Perbandingan Kemacetan Jakarta Era Ahok Vs Anies

18 Februari 2020   11:18 Diperbarui: 18 Februari 2020   11:25 1178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Membandingkan kinerja Ahok dan Anies terkait penanganan lalu lintas ibukota | Sumber gambar : news.detik.com

Belakangan ini ramai dibicarakan terkait sebuah survei yang membandingkan tingkat pencapaian kinerja dari tiga gubernur terakhir yang memimpin DKI Jakarta. Berdasarkan survei tersebut, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dinilai lebih unggul daripada gubernur DKI Jakarta saat ini Anies Baswedan.  

Apabila secara khusus menyangkut kondisi kemacetan di Jakarta, Ahok dinilai lebih berhasil menangani kemacetan Jakarta mengungguli pencapaian Jokowi yang berada di urutan kedua dan Anies Baswedan di urutan ketiga. Terkait banjir Jakarta, Ahok juga masih menempati posisi teratas survei sebagai gubernur yang paling berhasil mengatasi banjir. 

Namun, hasil survei yang dilakukan oleh indobarometer ini "ditolak" oleh sebagian kalangan dan politisi. Seperti misalnya yang disampaikan oleh fraksi Partai Gerindra yang justru menganggap survei ini sebagai upaya pembentukan opini untuk menjatuhkan nilai Anies di mata masyarakat. 

Bukan rahasia lagi kalau Anies digadang-gadang menjadi calon kuat Presiden tahun 2024 mendatang. Sehingga pemberitaan sekecil apapun tentangnya bisa jadi menaik turunkan popularitas yang dimiliki Anies.

Bagaimanapun juga survei adalah sebuah metode pengukuran yang dilakukan berdasarkan persepsi publik dan bukan berdasarkan data pengukuran lembaga yang khusus membidangi suatu ranah tertentu. Jikalau kita kerucutkan terkait kondisi lalu lintas Jakarta, maka hal itu kurang tepat jika diukur berdasarkan survei. 

Perlu sebuah lembaga khusus memberikan perhatian terhadap hal itu. TomTom Traffic Index, sebuah lembaga pengukur kepadatan kendaraan di kota-kota dunia barangkali bisa memberikan referensi yang cukup untuk menilai sejauh mana pencapaian Jakarta dalam mengatasi permasalahan lalu lintas dari waktu ke waktu. 

Berdasarkan pengukuran yang dilakukan oleh lembaga tersebut, Jakarta mengalami "penurunan" peringkat kota termacet dunia. Pada tahun 2017 Jakarta masih berada di peringkat 4, lalu pada tahun 2018 turun ke peringkat 7, dan di tahun 2019 lalu kembali berhasil "memperbaiki" peringkatnya ke posisi 10. Semakin jauh dari peringkat sepuluh besar kota termacet maka semakin bagus.

Data yang disampaikan oleh TomTom Traffic Index seakan menunjukkan adanya kontradiksi terhadap survei kemacetan yang terjadi di wilayah Jakarta. Pada tahun 2017 dimana merupakan periode transisi antara Ahok dan Anies, Jakarta masih menempati posisi tinggi sebagai kota termacet dunia. Setiap tahun peringkat tersebut diperbaiki pada era kepemimpinan Anies Baswedan. 

Apakah ini berarti sebenarnya Anies memiliki capaian kinerja yang lebih baik dibandingkan para pendahulunya? Sayangnya, data pengukuran yang disajikan oleh TomTom Traffic Index hanya sebatas tahun 2017 sampai tahun 2019 saja. Sedangkan tahun 2017 kebawah tidak atau belum tersaji. 

Padahal Ahok memimpin Jakarta pada periode tahun 2014 sampai 2017, itupun di tahun 2017 tidak berlangsung penuh mengingat kasus hukum yang menjeratnya. Agar lebih fair dalam mengukur kinerja ketiganya berdasarkan data pengukuran, seharusnya ada data dari  TomTom Traffic Index antara tahun 2014 sampai 2016. Sehingga perbandingan yang dilakukan lebih aple to aple.

Dalam hal ini saya mencoba untuk menggunakan data dari Numbeo, salah satu pusat data (database) terbesar dari kota-kota dan negara di seluruh dunia. Numbeo memberikan informasi terkini perihal biaya hidup, kesehatan, lalu lintas, kriminalitas, hingga polusi. Terkait lalu lintas, Numbeo memberikan informasi data terkait traffic index, time index, time exp. Index, inefficiency index, dan CO2 emission index. 

Traffic Index adalah indeks gabungan waktu yang digunakan dalam lalu lintas karena pekerjaan, estimasi ketidakpuasan waktu, estimasi konsumsi CO2 dalam lalu lintas, dan ketidakefisienan sistem lalu lintas secara keseluruhan. 

Sedangkan Time Index adalah rata-rata waktu satu arah yang diperlukan untuk transportasi, dalam hitungan menit. Kemudian Time Exp. Index merupakan suatu perkiraan ketidakpuasan karena waktu perjalanan yang panjang. Dalam hal ini diasumsikan bahwa ketidakpuasan waktu perjalanan akan meningkat secara eksponensial pada setiap menit setelah waktu perjalanan satu arah berlangsung lebih dari 25 menit.

Selain itu, ada juga Inefficiency Index yang merupakan estimasi ketidakefisienan dalam lalu lintas. Inefisiensi yang tinggi pada umumnya disebabkan oleh pengguna jalan yang lebih memilih mengendarai mobil pribadi ketimbang menggunakan transportasi umum atau karena waktu perjalanan yang panjang. 

Terakhir, yaitu CO2 Emission Index adalah perkiraan konsumsi CO2 karena waktu lalu lintas. Diukur dalam satuan gram. Untuk mengetahui secara garis besar perihal kemacetan beserta hal-hal lain yang terpengaruh olehnya, kita sebenarnya cukup melihat pada traffic index atau indeks gabungan dari beberapa indikator yang ditentukan.

Dalam rangka membandingkan sejauh mana pencapaian pengelolaan kondisi kemacetan Jakarta pada era Ahok dan era Anies, maka kita perlu membandingkan data traffic index pada masing-masing tahun kepemimpinan keduanya. Disini saya akan menyajikan data dari Numbeo terkait kondisi Jakarta pada tahun 2015 dimana Ahok sedang menjabat dengan kondisi terkini di tahun 2020 dimana Anies masih bertugas.

Sumber : Diolah dari situs www.numbeo.com dan www.otosia.com
Sumber : Diolah dari situs www.numbeo.com dan www.otosia.com
Berdasarkan data tersebut maka kita bisa melihat sejauh mana capaian traffic index di era Ahok dan era Anies. Disini kita bisa melihat bahwa Ahok memang mengungguli Anies Baswedan terkait traffic index di ibukota Jakarta. Semakin besar nilai traffic index maka kondisinya adalah semakin buruk. 

Dengan nilai traffic index sebesar 224.24 penilaian publik yang terlihat dari survei indobarometer memang menunjukkan "fakta" yang sebenarnya. Lalu bagaimana dengan data dari TomTom Traffic Index? Dimana disana terlihat Anies terlihat membuat perbaikan dari tahun ke tahun terkait kondisi kemacetan di Jakarta? Ada beberapa kemungkinan. 

Pertama, data yang disajikan oleh Numbeo atau TomTom salah satunya salah. Karena Numbeo menginformasikan  traffic index Jakarta pada tahun 2015 berapa pada peringkat 17. Sedangkan yang terbaru Jakarta mengalami peningkatan peringkat ke posisi 14. Kemungkinan kedua, indikator yang dikapai oleh TomTom dalam menentukan traffic index bisa jadi berbeda dengan yang Numbeo gunakan. 

Dalam hal ini Numbeo menggunakan indikator-indikator seperti time index, time exp. Index, inefficiency index, dan CO2 emission index. Namun TomTom belum tentu menggunakan indikator serupa. Begitu halnya dengan survei indobarometer juga memberikan indikator tertentu dalam menilai persepsi publik terkait kinerja gubernur DKI Jakarta. 

Bukan tidak mungkin seandainya ada survei lain dilakukan dengan indikator yang berbeda maka akan memberikan hasil yang bertolak belakang. Bisa saja Anies yang dinilai berkinerja lebih baik. Ini hanya terkait persepsi dan juga tentang indikator apa yang dipakai.

Data traffic index Jakarta tahun 2015 | Sumber gambar : Disarikan dari laman www.otosia.com dengan sumber data www.numbeo.com
Data traffic index Jakarta tahun 2015 | Sumber gambar : Disarikan dari laman www.otosia.com dengan sumber data www.numbeo.com
Data traffic index Jakarta tahun 2019 - 2020 | Sumber gambar : Dicapture dari laman www.numbeo.com
Data traffic index Jakarta tahun 2019 - 2020 | Sumber gambar : Dicapture dari laman www.numbeo.com
Pada akhirnya kita membutuhkan parameter atau indikator yang benar-benar bisa disepakati bersama dan berlaku secara umum. Apabila tidak, maka akan selalu terjadi perbedaan persepsi. Tentu kita masih ingat kasus quick count pemilu presiden tahun 2014 dimana ada lembaga survei yang memenangkan Prabowo dan disisi lain ada juga lembaga survei yang memenangkan Jokowi. 

Pada akhirnya hasil perhitungan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menentukan pemenangnya. Jadi, selama masih ada banyak lembaga survei pun lembaga pusat data namun memiliki perbedaaan dalam penggunaan indikator maka selama itu pula kita semestinya tidak langsung percaya terhadap hasil publikasi mereka. 

Harus selalu ada kroscek untuk melihat sisi lain dari publikasi tersebut. Bagaimanapun juga data memang memiliki kekuatan untuk menilai sesuatu secara mutlak, akan tetapi kini data juga memiliki sisi lain yang bisa disetir sesuai kepentingan kelompok tertentu. Mari menjadi lebih cerdas agar tidak terjebak dalam politisasi data.

Salam hangat,

Agil S Habib

 

Refferensi :

[1]; [2]; [3]; [4] ; [5]; [6]; [7] ; [8]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun