Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

KPK Kaget dan ICW Dongkol terkait Grasi Napi Koruptor

27 November 2019   15:09 Diperbarui: 28 November 2019   07:16 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi KPK (sumber: Kompas/TOTO SIHONO)

Nama mantan Gubernur Riau Annas Maamun belakangan ramai diperbincangkan seiring "keistimewaan" yang ia dapatkan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru-baru ini. 

Annas Maamun, terpidana korupsi kasus suap alih fungsi lahan Provinsi Riau divonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bandung 6 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan, dan dalam tingkat kasasi hukumannya kembali diperberat menjadi 7 tahun penjara. 

Berdasarkan vonis tersebut seharusnya Annas Maamun baru bebas pada 3 Oktober 2021 nanti. Akan tetapi seiring grasi yang diberikan oleh Presiden Jokowi maka Annas pun akan bebas lebih cepat pada 3 Oktober 2020 mendatang.

Kebijakan pemberian grasi oleh Presiden Jokowi inipun sontak direspon dengan kekecewaan dan rasa dongkol oleh aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW). 

Menurut mereka Presiden Jokowi tidak memiliki komitmen dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Sebenarnya bukan kali ini saja kekecewaan terhadap penegakan korupsi pada era pemerintahan Presiden Jokowi dilontarkan. 

Pasca pidato politik Presiden Jokowi saat  pelantikan Presiden periode 2019-2024 bulan Oktober 2019 lalu, seorang peneliti Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah memberikan pernyataan bahwa Presiden Jokowi kehilangan komitmen dalam pemberantasan korupsi. 

Hal ini merujuk pada isi pidato presiden kala itu yang samasekali tidak menyinggung isu tentang korupsi.  

Masih terkait grasi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga mengaku kaget setelah mendengar informasi bahwa Presiden Jokowi menerima pengajuan grasi dari terpidana Annas Maamun. 

KPK yang sudah bersusah payah menuntaskan kasus hukum ini selama kurang lebih dua tahun di mana puncaknya adalah penangkapan yang mereka lakukan pada 25 September 2014, kini harus menerima kenyataan pahit bahwa hasil kerja keras mereka seperti sia-sia belaka. 

Pihak istana beranggapan bahwa pengajuan grasi Annas Maamun layak dikabulkan mengingat kondisi pemohon yang sudah uzur, sakit-sakitan, serta kondisi kesehatan yang menurun. Selain itu, Annas Maamun selaku pemohon grasi kini sudah berusia 78 tahun. 

Hal ini dinilai sudah sesuai dengan Permenkumham No 49 tahun 2019 tentang Tata Cara Permohonan Grasi. Atas dasar pertimbangan kemanusiaan inilah kemudian grasi diberikan oleh Presiden Jokowi. Apakah seorang koruptor memang layak mendapatkan pengampunan presiden?

Jika melihat efek kerugian yang ditimbulkan oleh para koruptor seharusnya tidak ada kelayakan untuk pengampunan hukuman. Para koruptor harus menerima konsekuensi dari kejahatan yang mereka lakukan. 

Kita berdalih dengan alasan kemanusiaan maka koruptor layak diampuni, namun pernahkah kita memikirkan nasib rakyat yang merasakan efek dari tindakan para koruptor itu? Hukuman bagi koruptor mestinya tidak pandang bulu. 

Annas Maamun | Sumber gambar: nasional.tempo.co
Annas Maamun | Sumber gambar: nasional.tempo.co
Jikalau para terpidana korupsi itu merasa "tidak nyaman" berada di dalam penjara dan kondisi mereka disana memburuk, maka itulah balasan yang harus mereka rasakan. Apabila dengan alasan kemanusiaan satu persatu napi koruptor diampuni presiden, maka apa jadinya penegakan hukum di negeri ini? 

Bukankah para koruptor itu seharusnya berpikir panjang atas konsekuensi tindakannya merampok hak rakyat? Setelah terbukti bersalah malah kini mereka "mengemis" kepada presiden untuk diampuni. Ironisnya, harapan napi koruptor itu pun dikabulkan. 

Padahal korupsi di negeri ini sudah terlalu kronis. Alasan kemanusiaan mungkin untuk sementara harus dikesampingkan terlebih dahulu hingga "populasi" koruptor menurun secara drastis. 

Mengatasnamakan kemanusiaan untuk seorang pelanggar hak-hak kemanusiaan sepertinya kurang tepat untuk dialamatkan kepada terpidana kasus korupsi. Namun apakah presiden sepakat dengan hal ini?

Salam hangat,
Agil S Habib

Refferensi: [1] ; [2]; [3] ; [4] ; [5] 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun