Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jejak Kanjeng Nabi dalam Bingkai Kepahlawanan dan Kepemimpinan

11 November 2019   09:04 Diperbarui: 11 November 2019   09:13 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Maulid Nabi Muhammad SAW | Ilustrasi gambar : islam.nu.or.id

Ada yang istimewa dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW 1441 Hijriah kali ini, yaitu hampir berbarengan dengan peringatan Hari Pahlawan Nasional Indonesia. Peringatan Maulid Nabi jatuh pada tanggal 12 Rabiul Awal 1441 H atau pada tanggal 9 November 2019 untuk kalender masehi. Sedangkan Hari Pahlawan sendiri diperingati tepat keesokan harinya di tanggal 10 November 2019. Apabila kita coba mengaitkan keteladanan dari dua peristiwa bersejarah ini, maka kita akan mendapati suatu pelajaran berharga tentang makna dari sebuah kepahlawanan serta kepempinan dalam figur manusia sempurna, Rasullullah Muhammad SAW.

Kelahiran Baginda Nabi Muhammad SAW memang patut untuk disambut dengan gembira, bahkan jauh setelah beliau wafat. Kita sebagai manusia yang hidup di era modern sekarang mungkin tidak berksempatan bersua beliau secara langsung dikala masih hidup. Akan tetapi, meski terpisah jarak ruang dan waktu yang teramat jauh bukan berarti hal itu membuat kita tidak bisa belajar dari diri beliau. Jejak perjalanan dan perjuangan Kanjeng Nabi menebarkan nilai-nilai kebaikan melalui Agama Islam perlu untuk kita simak dan renungkan dari waktu ke waktu. Betapa luar biasanya semangat beliau dalam berjuang mengajarkan akhlak terbaik kepada manusia-manusia yang telah sekian lama hidup dalam belenggu tradisi.

Tentunya bukan perkara mudah untuk merubah tatanan sosial yang diakui keberadaannya sejak puluhan bahkan ratusan tahun sebelumnya. Adalah tugas berat bagi Kanjeng Nabi untuk membawa serta orang-orang yang ada di sekitar beliau kala itu agar mengikuti ajaran mulia dari Sing Ilahi. Sebuah perjuangan yang membuat beliau harus berdarah-darah, dihina sedemikian rupa, hingga mendapatkan ancaman kehilangan nyawa. Namun semua itu tidak pernah sedikitpun membuat beliau goyah dan menyerah dalam menunaikan amanah besar dari Sang Maha Kuasa.

Sirah (perjalanan) Kanjeng Nabi memang hampir setiap tahun diperingati oleh umat muslim. Bukan semata tentang kelahiran beliau, namun juga tentang 63 tahun kisah hidup yang beliau miliki. Banyak dari para cendekiawan yang belajar tentang bagaimana kisah hidup beliau saat sebelum diangkat menjadi nabi dan rasul, ada yang belajar tentang kehidupan bisnis beliau, ada yang mengkaji tentang hubungan kekerabatan yang beliau miliki, hingga kisah perjuangan beliau melewati masa-masa sulit dikucilkan dan dibenci oleh golongan orang-orang yang tidak suka terhadap misi yang beliau emban. Dari segenap kisah beliau itu barangkali saat ini yang kita butuhkan guna menunjang kehidupan di masa ini adalah tentang arti penting kepahlawanan dan kepemimpinan. Mengapa kepemimpinan dan kepahlawanan?

Sudah cukup lama kita kehilangan kondusivitas bermasyarakat seiring konflik kepentingan yang terjadi di negeri ini, dimana puncaknya ditandai pada periode pilpres kemarin. Sesuatu yang didasari oleh fanastisme terhadap sosok pemimpin hingga berujung pada fanatisme sempit. Akibatnya adalah kelahiran kubu yang mana satu sama lain saling menghujat demi menunjukkan bahwa kelompoknya yang baik sedangkan kelompok lain adalah buruk. Belum lagi menyinggung kerusuhan seperti tragedi Wamena, kasus penembakan mahasiswa, hingga aksi rusuh demonstran yang seakan membuat kita bertanya-tanya ada apa gerangan dengan negeri ini?

Sepertinya tengah menjadi "kebiasaan" baru bangsa kita untuk mencari "musuh" yang bisa dijadikan sasaran hujatan, makian, kritik keras, atau sejenisnya. Sampai kita lupa bahwa musuh sebenarnya itu bukanlah saudara sebangsa kita sendiri. Mengapa bangsa ini terkesan seperti jalan ditempat? Karena para pemimpin kita salah orientasi. Baru saja presiden periode 2019 -- 2024 dilantik, sudah ramai dibahas siapa presiden yang akan kelak akan jumawa di pilpres 2024. Orientasi elit kita adalah bagaimana merengguk kekuasaan, bukan bagaimana membangun sebuah bangsa.

Jikalau orientasi pembangunan adalah yang utama, maka tidak perlu ada geger elit partai yang melakukan pendekatan tokoh atau survei siapa terkait tokoh selanjutnya pasca kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Keakuran berbangsa sepertinya adalah barang langka di negeri ini. Tentu kita masih ingat ketika Prabowo memutuskan bergabung bersama Pak Jokowi lalu muncul cibiran dari berbagai kalangan. Berlawanan salah, berkolaborasi juga salah. Apakah kita memang harus mencari musuh?

Jika hal ini adalah terkait kepahlawanan, hal itu memang "mensyaratkan" adanya musuh. Selayaknya kisah superhero, yang akan dianggap sebagai "hero" apabila mereka menghadi musuh-musuh pengancam. Avengers dianggap sebagai pahlawan karena melawan Thanos sang villain kejam. Para pahlawan bangsa ini pun menumpas musuh demi menggapai kemerdekaan. Barangkali hal itulah yang masih sering kita jumpai di negeri ini dimana beberapa kalangan cenderung menganalogikan orang-orang tertentu sebagai "musuh" publik.

Mereka yang berjuang melawan musuh adalah pahlawan. Barangkali kasus penusukan terhadap Pak Wiranto beberapa waktu lalu juga merupakan bagian dari "gerakan" kepahlawanan ini. Barangkali pernyataan Menag Fachrul Razi tentang pelarangan cadar juga bagian dari aksi menjadi pahlawan. Hanya saja apa yang kita lakukan selama ini ternyata belum sepenuhnya benar. Bisa jadi selama ini kita memilih musuh yang salah. Anggota masyarakat yang sampai rela bergabung dengan ISIS atau teroris karena beranggapan pemerintahnya adalah musuh. Atau bisa jadi sesama elit saling mendiskreditkan satu sama lain dan beranggapan mereka yang berpeda pandangan adalan musuh. Bahkan dalam beragama sekalipun masih saja ada orang-orang yang meyakini diri dan kelompok merekalah yang paling benar dan mengkafirkan yang lain. Jikalau memang ada "saudara" sebangsa yang layak dilabeli sebagai musuh, mereka adalah para koruptor yang menggerogoti uang rakyat. Para aphlawan akan lebih arif dan bijaksana dalam "memilih" musuhnya.

Pada dasarnya kepahlawanan bukan semata tentang menghadapi musuh, bersitegang, atau sejenisnya. Baginda Nabi Muhammad SAW selalu menjadikan peperangan sebagai opsi terkahir dalam masa perjuangan menyebarkan nilai-nilai mulia agama. Berdiskusi secara santun dan mengutamakan keteladanan akhlak adalah "senjata" utama dalam mengajak masyarakat kepada nilai-nilai kebaikan. Pendekatan seperti itulah yang membuat kepemimpinan beliau disegani hingga ke segala penjuru dunia. Sampai-sampai beliau berada pada ranking teratas manusia paling berpengaruh di dunia sebagaimana diakui oleh Michael Heart dalam bukunya. Ajaran Islam yang berasal dari pedalaman Arab bisa sampai ke Indonesia juga bukanlah sesuatu yang kebetulan. Hal itu bisa terjadi lantaran diteladankan oleh Kanjeng Nabi dalam rupa yang mulia.

Kepahlawanan bukan semata tentang konflik, perang, dan pertentangan. Kepahlawanan adalah tentang bagaimana kita mengajak orang-orang di sekitar untuk turut serta berbuat baik dan berbagi manfaat satu sama lain. Kepahlawanan adalah tentang bagaimana memberi keteladanan di tengah-tengah lingkungan yang miskin keteladanan. Kepahlawanan adalah tentang keberanian kita bersikap berbeda dari yang lain dengan keyakinan bahwa sikap itulah yang memang pantas untuk diperjuangkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun