Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Di Balik Fenomena Desa "Hantu", Sebuah Upaya Kecurangan atau Kelalaian Birokrasi?

7 November 2019   14:25 Diperbarui: 7 November 2019   14:32 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Desa Hantu | Sumber gambar: poskotanews.com

Belakangan ini memang tengah ramai diberitakan perihal keberadaan desa "hantu" yang tidak jelas keberadaannya namun ditengarai masih menikmati gelontoran dana desa. Hal ini baru diketahui belakangan setelah Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyampaikan keluhannya saat rapat komisi dengan anggota DPR beberapa waktu lalu. 

Fenomena desa hantu ini memang cukup mengkhawatirkan karena berpotensi membuang-buang uang rakyat secara percuma. Sejauh ini banyak yang menyebutkan bahwa desa hantu itu adalah bentukan dari orang-orang tidak bertanggung jawab untuk mengakali gelontoran dana desa yang jumlahnya hampir mencapai angkar 1 miliar rupiah. 

Namun apa sebenarnya yang terjadi dibalik keberadaan desa "fiktif" itu? Apakah desa hantu memang dengan sengaja dibentuk secara sistematis melalui manipulasi birokrasi ataukah karena ada kelalaian yang terabaikan seiring pemekaran wilayah yang terjadi di beberapa tempat serta kemungkinan hilangnya sebuah desa akibat bencana seperti tragedi lumpur lapindo namun tidak ditindaklanjuti proses administrasinya?

Desa-desa yang pada mulanya ada bisa "seketika" hilang seiring beberapa kondisi seperti pemekaran wilayah baru atau terkena bencana sehingga ditinggalkan penduduknya. Kondisi-kondisi tersebut seharusnya perlu diperhatikan oleh pihak-pihak terkait, seperti melakukan verifikasi ulang kondisi suatu desa. 

Ketika ada desa yang mengalami pemekaran, maka perlu ditinjau juga aspek-aspek administratifnya untuk penyesuaian. Begitu juga ketika suatu desa tidak lagi dihuni oleh penduduk maka perlu dilakukan update data administratif sehingga tidak dimanfaatkan oleh oknum-oknum tidak beratnggung jawab. 

Bagaimanapun juga, penyaluran dana desa didasarkan pada data-data administratif terkait keberadaan sebuah desa. Jikalau data tersebut salah, maka bisa dipastikan alokasi dana desa pun juga salah. Adakalanya desa "hantu" itu lahir karena kelalaian dari beberapa pihak. Untuk mengantisipasi hal ini maka perlu kiranya dilakukan verifikasi ulang secara rutin setiap tahun menjelang gelontoran dana desa itu diberikan.

Pemerintah memang harus mewaspadai kemungkinan lahirnya desa baru namun fiktif. Tetapi pemerintah  mesti mewaspadai segala bentuk kelalaian administratif yang juga sangat mungkin terjadi yang memungkinkan dimanfaatkan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab. Koordinasi antar kementerian harus ditingkatkan kualitasnya sehingga miskomunikasi bisa berkurang. Sungguh sangat disayangkan apabila kebocoran anggaran justru disebabkan oleh sistem administrasi yang tidak rapi.

Tidak ada Desa "Hantu"?
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) , Abdul Halim Iskandar, memberikan pernyataan berlawanan dengan apa yang disampaikan oleh Menkeu Sri Mulyani terkait keberadaan desa hantu atau desa fiktif. 

Menurut kakak kandung Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar ini, yang dimaksud dengan desa hantu itu sebenarnya hanyalah desa yang ditinggalkan penduduknya. Akan tetapi tidak ada dana yang mengalir ke sana. 

Pernyataan ini bertentangan dengan apa yang disampaikan oleh Menkeu perihal adanya desa fiktif yang menerima gelontoran dana desa. Siapa yang benar? Entahlah.

Polemik desa fiktif ini memang harus diurus tuntas karena berpotensi merguikan negara dan merampok uang rakyat. Pembenahan mesti dilakukan mulai dari mekanisme pencairan dana desa hingga verifikasi ulang desa-desa yang masuk daftar penerima. 

Dengan jumlah desa yang mencapai angka 70 ribu lebih sudah pasti bukan tugas mudah untuk melakukan pemantauan dan verifikasi. Namun apabila semua pihak terkait saling bekerjasama maka tidak ada yang sulit dilakukan. Lebih baik "berdarah-darah" diawal untuk memastikan kebenaran data desa daripada menyesal di akhir karena hilangnya uang dalam jumlah yang tidak sedikit. 

Mungkin penduduk desa yang mengetahui adanya desa dengan kondisi ditinggal para penduduknya perlu membuat laporan kepada aparat terkait sehingga bisa ditindaklanjuti segera. Pada akhirnya hal ini membutuhkan kepedulian kita bersama.

Salam hangat,

Agil S Habib

Refferensi: [1] ; [2] ; [3]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun