Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Perlukah Menghadirkan Kotak Kosong pada Pemilu Nanti?

28 Maret 2019   13:13 Diperbarui: 28 Maret 2019   13:30 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terlebih untuk maju sebagai calon presiden membutuhkan dukungan partai politik dengan total prosentase parlemen minimal 20% atau lebih. Para tokoh dengan popularitas kecil tidak akan dilirik oleh partai politik. Akibatnya, kontestasi menuju orang nomor satu Indonesia terasa kurang menarik. 

Bandingkan dengan pemilu 2004 yang lalu dimana waktu itu mempertarungkan lima pasang calon presiden dan wakil presiden. Saat itu belum ada lembaga survei yang mengerucutkan nama-nama kandidat sebagaimana saat ini. Persaingan saat itu begitu hidup.

Apakah hal ini menunjukkan bahwa keberadaan lembaga survei mengurangi kualitas berdemokrasi? Mungkin tidak. Bagaimanapun juga lembaga survei memiliki peranan penting dalam membangun demokrasi, tentu dengan catatan bahwa lembaga survei yang ada tidak sekadar menjadi alat politik beberapa golongan saja. 

Sebagai sebuah pesta demokrasi, pemilihan umum di tanggal 17 April 2019 nanti merupakan kesempatan bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk ikut bersuara menentukan nasib bangsa di masa mendatang. Pertanyaannya adalah apakah setiap anggota masyarakat yang sudah memiliki pilihannya masing-masing diharuskan hanya memilih satu dari sekian kandidat yang tersedia saja? 

Bagaimana seandainya seorang anggota masyarakat sudah memiliki kandidat tertentu akan tetapi kandidat tersebut tidak bisa mencalonkan diri untuk dipilih karena tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan? Barangkali hal inilah yang dipahami oleh sebagian orang yang memilih untuk golput atau abstain untuk memilih satu dari sekian kandidat yang ditawarkan. 

Jikalau para golput ini memang diharuskan datang ke TPS memberikan suaranya, maka mungkin pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus menyediakan satu kotak suara lagi sebagai wadah aspirasi untuk memilih kandidat lain yang mereka anggap pantas. Toh dengan memberikan hak suara bukankah itu berarti kita sudah tidak golput lagi? 

Terkadang kita harus memahami bahwa masih banyak dari masyarakat kita yang mengharapkan munculnya kandidat pemimpin baru pembawa perubahan atau tokoh-tokoh lama namun dengan membawa gagasan-gagasan baru. Tokoh-tokoh yang penuh gagasan pasti masih banyak bertebaran di luar sana. 

Kalaupun saat ini masyarakat kita dihadapkan pada keterbatasan sosok calon pemimpin bangsa, setidak-tidaknya para pemimpin yang ada haruslah menawarkan gagasan-gagasan baru yang menjanjikan lebih baik daripada sebelumnya. Semua pihak harus ikut berkaca terkait mengapa angka golput tinggi. 

Mengurangi angka golput bukanlah dengan memfatwakan haram golput dengan tujuan memaksa masyarakat datang menggunakan hak pilihnya. Kesadaran dirilah yang diperlukan. Mendesain pesta demokrasi agar semarak dan membangkitkan antusiame dalam memilih. 

Kreativitas sebagian masyarakat yang mengemas TPS-TPS menjadi terlihat menarik adalah salah satu cara yang jauh lebih efektif menggugah minat masyarakat dibandingkan memberi fatwa haram.  Sudah bukan lagi zamannya lagi menggerakkan seseorang menggunakan cara-cara yang memaksa. 

Terlibat dalam pesta demokrasi seperti pemilu memang semestinya disadari urgensinya oleh segenap masyarakat kita. Tapi kita harus menyadari bahwa ada sebagian dari anggota masyarakat kita yang perlu sedikit "dorongan" untuk dapat menyadari itu. Mungkin kita perlu belajar dari musisi yang menciptakan lagu ajakan datang ke TPS atau para warga yang mendesain kreatif TPS-nya sehingga mengundang minat warga untuk datang melihat kemudian memberikan hak pilihnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun