Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Planmaker99, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Jangan Sebut Dirimu Buruh

5 Maret 2019   08:49 Diperbarui: 5 Maret 2019   11:44 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Demo buruh (Sumber gambar : asset.kompas.com)

Menjadi pekerja pabrik barangkali merupakan dambaan sebagian orang karena beberapa keunggulan yang dimilikinya. Gaji bulanan, Tunjangan Hari Raya (THR), asuransi kesehatan, dan lain sebagainya. Meski belum tentu setiap perusahaan memberikan layanan tersebut kepada setiap pekerjanya. Namun setidaknya seorang pekerja pabrik sudah memiliki gambaran bahwa di akhir bulan nanti mereka akan memperoleh sejumlah penghasilan dengan nominal tertentu. 

Sebagian orang yang pekerjaannya tidak menentu di luar sana, mungkin masih harus terus memutar otak agar bisa memperoleh sejumlah uang sehingga bisa memastikan bahwa ia dan keluarganya bisa menyantap makanan di hari itu. Oleh karena adanya gambaran bahwa menjadi pekerja pabrik itu lebih save secara ekonomi, maka profesi ini tidak sedikit yang meminatinya.

Sebesar apapun sebuah perusahaan, orang-orang yang bekerja di sana tetaplah sebagai pekerja dengan rataan nilai penghasilan yang tidak bisa disebut luar biasa. Terlebih pekerja yang berada pada level terbawah organisasi, biasanya mereka hanya mendapatkan upah standar yang jumlahnya tidak jauh berbeda antara satu perusahaan dengan perusahaan lain. 

Upah Minimum Regional (UMR), Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), atau Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) adalah standar penghasilan yang setiap tahun mereka harapkan kenaikannya demi menambah besaran penghasilan yang mereka miliki. 

Dengan mengatasnamakan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) para pekerja pabrik berbondong-bondong setiap periode tertentu berunjuk rasa menuntut pemerintah agar memberikan standar penghasilan yang layak dan lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Sedangkan di sisi lain, pihak perusahaan pemberi kerja memiliki kepentingan terkait ongkos produksinya. Akibatnya terjadi tarik ulur kepentingan antara kedua belah pihak. 

Pekerja mengatasnamakan dirinya sebagai "buruh" dengan harapan mereka mendapatkan perhatian dan keberpihakan dari pemerintah supaya keinginan mereka memperoleh peningkatan jumlah penghasilkan bisa terwujud. "Buruh" menjadi lahan yang empuk untuk menyemai dukungan dari para pejabat publik yang tengah gencar berkampanye menuju suatu jabatan tertentu. 

Kontrak politik dibuat antara buruh dengan calon pejabat publik dengan komitmen bahwa nasib buruh kelak ketika sang pejabat benar-benar terpilih maka akan semakin membaik. Akan tetapi kenyataannya dari tahun ke tahun kondisi buruh tidak jauh berbeda dari sebelumnya.

Buruh sering didefinisikan sebagai pekerja kelas bawah dengan jenis pekerjaan berat, pekerjaan otot, pendidikan rendah, dan penghasilan standar. Buruh tani, buruh pabrik, dan buruh-buruh jenis lain pada dasarnya adalah jenis profesi mulia namun diasosiasikan sebagai pekerjaan yang tidak memiliki prestise. 

Jarang sekali orang yang membanggakan profesinya sebagai buruh, entah itu karena mereka secara pribadi menganggap profesinya memang tidak bisa dibanggakan atau mereka merasa rendah diri terhadap pekerjaan yang dijalaninya tersebut. Padahal setiap profesi yang halal adalah sesuatu yang seharusnya dibanggakan. Bukan membanggakan jenis profesinya, tapi memanggakan nilai ibadah yang dilakukan dari pekerjaannya itu. 

Apabila istilah "buruh" dikesankan sebagai profesi kelas bawah, maka alangkah lebih baik jikalau istilah tersebut tidak dipergunakan. Menggunakan istilah "pekerja" atau "pekarya" barangkali bisa membangun cara pandang yang lebih baik terhadap profesi "buruh". 

Definisi kata "buruh" sendiri adalah orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapatkan upah. Dengan kata lain, semua pekerja yang bekerja di suatu institusi, organisasi, lembaga, atau perusahaan dengan tujuan mendapatkan upah bisa disebut sebagai buruh. Meskipun mereka itu berada pada level supervisor, manager, kepala bagian, factory manager, atau direktur sekalipun selama semuanya bekerja pada orang lain dan dibayar maka mereka adalah buruh. Namun mengapa buruh lebih diidentikkan kepada pekerja kelas bawah selevel operator, packer, sopir, dan lain-lain? Sedangkan untuk mereka yang memiliki level supervisor keatas disebut sebagai profesional? Padahal kedua golongan ini sama-sama bekerja dan dibayar.

Diskriminasi makna kata "buruh" harus diluruskan kembali sehingga tidak terjadi dikotomi profesi, tidak terjadi pemisahan jenis profesi yang berpotensi memunculkan jurang pemisah pada setiap orang di masing-masing profesi. 

Apabila hari buruh sedunia didedikasikan untuk semua buruh di dunia, mengapa hanya pekerja kelas operator ke bawah yang berperan aktif turun ke jalan dan melakukan aksi simpatik? Sedangkan pekerja dengan level jabatan lebih tinggi masih duduk nyaman di dalam ruangan kerjanya? Bukankah ketika UMR atau UMK naik semua pekerja tersebut sama-sama merasakannya? Di sini terlihat jelas bahwa kata "buruh" sebenarnya telah menciptakan kesan memisahkan posisi tingkatan pekerja level bawah dengan pekerja level yang lebih tinggi.

Pekerja hendaknya dipandang sama untuk semua tingkatan posisi, tanpa diskriminasi, tanpa perbedaan perlakuan. Mungkin secara penghasilan mereka berbeda terkait tanggung jawab yang memang berbeda. Akan tetapi menjadikan pekerja level bawah sekadar sebagai objek kepentingan penguasa ataupun perusahaan tentu bukanlah tindakan yang bijaksana. 

Bagaimanapun juga, semua pekerja itu adalah rekan kita, mereka juga manusia yang bernafas seperti halnya kita bernafas, berfikir sebagai halnya kita berfikir, dan mengharapkan sesuatu seperti halnya kita berharap. 

Ketika mereka diperlakukan dengan tidak baik, apakah kita tidak merasakan ketidaknyamanan hati mereka? Ketika para pekerja selevel manajemen dalam beberapa bulan waktu pekerjanya mendapatkan ikatan sebagai pekerja tetap, mayoritas dari pekerja kelas bawah tadi hanya menjalani sebagai pekerja kontrak dalam waktu bertahun-tahun. 

Mungkin ada sebagian perusahaan yang menerapkan kebijakan semua pekerjanya sebagai karyawan kontrak, bukan karyawan tetap. Namun kondisi ini menunjukkan bahwa sebenarnya pekerja level bawah seringkali menjadi sasaran kebijakan menyiasati reduksi biasa produksi perusahaan. 

Dalam kenyataannya, yang lebih banyak mengalami turn over karyawan sebenarnya justru pada level manajemen ke atas. Sedangkan untuk level bawah barangkali lebih sedikit. Hal ini bisa jadi karena level manajemen merasa mereka memiliki skill yang lebih lengkap, pengetahuan yang lebih banyak, dan pendidikan yang lebih baik. Akhirnya mereka merasa lebih bebas memilih dan menentukan tempat untuk meniti karirnya. Sesuatu yang sangat bertolak belakang dengan para pekerja level bawah.

Pada akhirnya, pekerja kelas bawah hanya tetap menjadi orang yang tidak memiliki kebebasan dalam menentukan karirnya sebagai pekerja pabrik atau karyawan tingkat bawah. 

Sampai saat ini, mereka masih terus menjadi objek sasaran kepentingan pihak-pihak yang memiliki kekuatan dan kekuasaan. Sebagai manusia, tentu para pekerja ini mendambakan kehidupan yang lebih baik dan nyaman di kemudian hari. 

Pertanyaannya, kepada siapa mereka berharap? Minimal yang harus dimulai para pekerja ini dalam mencari kemapanan ekonomi pada masa mendatang adalah dengan meyakini bahwa profesi mereka bukanlah profesi sampah, bukanlah profesi rendah, dan bukan profesi ala kadarnya. 

Mereka harus berkeyakinan bahwa mereka memiliki peranan yang sama pentingnya dengan pekerja level atas dalam organisasi. Jangan melabeli diri sebagai "buruh" yang hanya bisa diperintah tanpa berfikir dan menentukan sikap.

Salam hangat,
Agil S Habib

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun