Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Planmaker; Esais; Impactfulwriter; Founder Growthmedia; Dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Think Different, Create Excellent

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Jika Bersalah, Haruskah Kita Mencari Pembenaran?

7 Februari 2019   13:45 Diperbarui: 8 Februari 2019   16:12 963
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar : psychologyconsultants.files.wordpress.com

Dalam suatu jalinan komunikasi, merupakan suatu hal yang biasa apabila terjadi kesalahpahaman satu sama lain. Di dunia kerja hal-hal seperti miskomunikasi bukanlah kejadian langka yang jarang ditemui, justru malah sebaliknya.

Terkait dengan situasi ini, sebenarnya ada hal yang disesalkan, yaitu kecenderungan untuk saling mempersalahkan satu sama lain. Layaknya sebuah miskomunikasi, biasanya menimbulkan sebuah efek yang tidak diinginkan.

Pada saat efek sudah mengemuka maka pada saat itulah konflik terjadi. Si A menyalahkan si B, si B menyalahkan si C, si C menyalahkan si D, si D balik menyalahkan si A, dan seterusnya.

Akibatnya bukan solusi penyelesaian masalah yang menjadi objek bahasan utama, tapi justru menunjuk siapa yang salah dan siapa yang benar.

Semangat yang diusung cenderung mengabaikan bagaimana agar diperoleh solusi penyelesaian terbaik, melainkan justru terfokus pada penentuan siapa kambing hitamnya. Tentu hal ini merupakan preseden buruk bagi keharmonisan sebuah tim.

Setiap kebenaran selalu diinginkan oleh siapapun kita. Sebaliknya, kesalahan selalu ingin dihindari. Namun, sesempurna apapun perencanaan kita akan senantiasa ada potensi salah. Nobody's perfect.

Terlebih ketika prosedur sudah dilakukan sebagaimana mestinya, tata cara pekerjaan sudah diikuti seperti ketentuan yang ada, dan informasi-informasi yang dibutuhkan sudah disampaikan kepada semua pihak yang berkepentingan, serta setiap aspek internal sudah dikerjakan seperti arahan yang ada, maka ketika masih terjadi suatu kesalahan bisa jadi hal itu karena ada faktor-faktor eksternal yang berjalan diluar kendali kita.

Memang tidak menutup kemungkinan bahwa kita bisa saja lengah dalam mengerjakan suatu pekerjaan dan melewatkan beberapa hal penting dari prosedur kerja kita.

Akan tetapi hal ini semestinya tidak menjadikan kita objek bulan-bulanan yang dipersalahkan dan diserang dari berbagai penjuru.

Jika kita memperhatikan kecenderungan alamiah manusia, dari seratus kali tudingan negatif yang diarahkan pada kita mungkin hanya satu saja yang benar-benar kita akui sebagai kesalahan kita pribadi. Selebihnya?

Naluriah sekali bagi kita untuk mempertahankan diri serta mengelak dari tuduhan-tuduhan negatif yang dialamatkan pada diri kita tersebut. Tindakan yang umum dilakukan ketika kita dianggap bersalah untuk suatu peristiwa tertentu, biasanya kita mencari pembenaran atas apa yang kita perbuat. Minimal sebagai bahan pembelaan bahwa kita tidak sepenuhnya menjadi pribadi yang bertanggung jawab total terhadap sebuah situasi.

Apakah hal ini tepat untuk dilakukan? Apakah tepat jika kita tetap mencari pembenaran terhadap kesalahan yang kita perbuat?

Saya kira kita mungkin sepakat bahwa mengakui kesalahan secara gentle merupakan sikap kesatria. Itulah langkah yang berani dan patut untuk diapresiasi. Hanya saja belum semua orang memiliki kemampuan serupa.

Gengsi, harga diri, persepsi, seringkali menjadi bahan pertimbangan terkait kita harus mengeluarkan statement pengakuan akan kesalahan atau tidak. Budaya saling mempersalahkan adalah satu hal yang secara tidak langsung memiliki peranan penting terhadap keengganan seseorang untuk bersikap kesatria mengakui kesalahannya. Budaya itu terbentuk sebagai bentuk upaya mengamankan diri.

Siapapun kita pasti memiliki kecenderungan untuk mendapatkan keamanan secara psikologis, baik itu menghindarkan diri dari kemarahan atasan, menghindarkan diri dari mendapat teguran, dan sejenisnya.

Ketika budaya saling tunjung hidung terkait satu kesalahan oleh satu orang ke orang lain, oleh satu tim kepada tim lain, dan seterusnya masih terus berlanjut maka kita harus bersiap-siap budaya harmoni kerja akan jauh kenyataan.

Lingkaran setan ini harus diputus melalui keberadaan sikap empati terhadap orang lain. Memang bukan perkara mudah untuk melakukannya, namun semua akan menjadi lebih sulit apabila kita tidak segera memulainya.

Periode tersulit untuk menciptakan budaya baru adalah saat di mana kita harus mengabaikan kebiasaan lama dan mulai beralih kepada kebiasaan baru. Ketika terjadi suatu kesalahan, kebiasaan lama melakukan langkah otomatis yaitu mempersalahkan pihak lain.

Hal ini harus diubah dengan pendekatan yang lebih bersahabat. Ketika terjadi kesalahan maka harus segera duduk bersama serta memahami detail permasalahannya dengan kepala dingin. Merumuskan bersama solusi masalah tanpa perlu menciptakan situasi serba tidak nyaman kepada orang yang melakukannya. Justru inilah waktu terbaik yang harus diberikan kepadanya untuk membuktikan diri bahwa ia bisa berbuat lebih baik.

Kesempatan untuk membuktian diri adalah cara yang lebih tepat daripada mempersalahkan sebagai upaya untuk menebus kesalahan yang sebelumnya dilakukan.

Dengan demikian, ketika seseorang melakukan kesalahan maka ia tidak perlu mencari-cari dalil pembenaran untuk kesalahan yang telah diperbuat. Justru ia bisa lebih termotivasi untuk menunjukkan kualitas terbaik dari dirinya.

Salam hangat,

Agil S Habib

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun