Generasi Z kini memasuki dunia kerja dengan karakteristik dan ekspektasi yang sangat berbeda dibandingkan generasi sebelumnya. Di tengah tekanan inflasi, ketidakstabilan ekonomi global, dan eksposur digital yang masif, kesejahteraan finansial (financial wellness) menjadi salah satu perhatian utama generasi ini. Namun, tantangan tersebut bukan hanya persoalan individu, melainkan juga menyentuh ranah manajerial yang lebih luas yakni bagaimana perusahaan, melalui pendekatan Strategic Human Resource Management (SHRM), merespons dinamika ini secara sistemik.
Konsep financial wellness mencakup kemampuan individu untuk mengelola keuangan pribadi secara efektif, merasa aman secara ekonomi, serta mampu memenuhi kebutuhan saat ini dan masa depan tanpa tekanan yang berlebihan. Bagi Gen Z, kesejahteraan finansial tidak hanya diukur dari nominal gaji, tetapi juga dari kemampuan untuk hidup selaras dengan nilai pribadi, menghindari stres karena utang, serta memiliki kendali terhadap keputusan keuangan.
Dalam Laporan Survei Literasi Keuangan OJK 2022, kelompok usia 18-25 tahun memiliki tingkat inklusi keuangan sebesar 87%, namun tingkat literasi finansial mereka masih tergolong rendah, yaitu hanya 39,9%. Ironisnya, mereka juga merupakan pengguna terbesar layanan buy now, pay later (BNPL) dan fintech lending. Sementara survei Deloitte 2024 menyebutkan bahwa lebih dari 60% Gen Z merasa khawatir terhadap masa depan keuangan mereka. Situasi ini menciptakan beban psikologis yang jika tidak ditangani, akan berdampak terhadap produktivitas dan loyalitas di tempat kerja.
Perspektif SHRM: Mengelola Karyawan sebagai Aset Strategis
Dalam kerangka Strategic Human Resource Management, sumber daya manusia diposisikan sebagai aset strategis organisasi yang dapat menciptakan keunggulan kompetitif berkelanjutan (sustainable competitive advantage). Oleh karena itu, kebijakan dan praktik HR tidak hanya bersifat administratif, tetapi harus selaras dengan strategi organisasi jangka panjang.
Menurut Wright dan McMahan (1992), SHRM adalah "pola keputusan dan tindakan sumber daya manusia yang saling berhubungan dan mempengaruhi kinerja organisasi." Maka ketika kesejahteraan finansial menjadi isu utama bagi tenaga kerja muda, organisasi tidak bisa mengabaikannya. Program financial wellness harus menjadi bagian dari human capital strategy, bukan sekadar inisiatif CSR atau insidental.
Contoh implementasinya antara lain:
- Skema gaji fleksibel (earned wage access) yang memungkinkan karyawan mengakses sebagian gaji sebelum tanggal jatuh tempo.
- Pelatihan literasi finansial, dengan pendekatan psikologis dan perilaku, bukan hanya teknis akuntansi.
- Program kesejahteraan karyawan yang terintegrasi, mencakup perencanaan pensiun, manajemen utang, hingga konseling keuangan.
- Benefit non-upah yang relevan, seperti subsidi keuangan pendidikan, pembiayaan kendaraan, atau bantuan KPR untuk karyawan muda.
Praktik-praktik tersebut sejalan dengan model High-Performance Work Systems (HPWS) yang merupakan salah satu pendekatan SHRM, di mana organisasi merancang sistem kerja untuk meningkatkan keterlibatan dan kinerja karyawan secara optimal. Dalam konteks Gen Z, HPWS dapat dikaitkan dengan pemberdayaan finansial sebagai fondasi keterlibatan emosional di tempat kerja.
Mengapa Ini Strategis?
Kesejahteraan finansial yang buruk dapat berujung pada stres, rendahnya motivasi, absensi tinggi, hingga turnover intention. Dalam riset yang dilakukan PwC (2023), 57% karyawan Gen Z menyatakan bahwa stres finansial berdampak langsung pada produktivitas kerja mereka. Ini artinya, mengabaikan aspek ini bukan hanya merugikan individu, tetapi juga merugikan perusahaan secara strategis.
Lebih dari itu, Gen Z adalah generasi yang cenderung mencari makna dan kejelasan nilai dari tempat kerja mereka. Perusahaan yang mampu menunjukkan kepedulian nyata terhadap kesejahteraan karyawannya, termasuk aspek finansial, akan lebih mampu menarik dan mempertahankan talenta muda berkualitas. Dalam bahasa SHRM, ini berarti perusahaan berhasil membangun employee value proposition (EVP) yang kuat dan relevan.