Mohon tunggu...
Agus Hendri
Agus Hendri Mohon Tunggu... Lainnya - Skill in the muisc, planting, class and beyond

Menyatukan kekuatan budaya daratan/pedalaman & lautan/pesisir, mjdi sebuah kekuatan yg mendasar utk semua kalangan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Motivasi Intrinsik Anak Kompeten

14 Februari 2018   14:45 Diperbarui: 14 Februari 2018   15:28 544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: scotch.vic.edu.au

Anak-anak merasa efektif dalam belajarnya bila menyelesaikan tugasnya tepat waktu dan hasilnya benar. Kalau pun tidak tepat waktu, tetapi tugas tetap diselesaikannya. Namun, hasilnya juga benar.

Anak yang efektif juga cenderung mencoba hal-hal baru dengan mencoba menyelesaikan tugas yang lebih menantang. Bila diberikan soal, jika tak bisa dalam pengerjaan pertama, Ia coba kedua dan ketiga. Namun, tetap berusaha mencari cara dan jawabannya. 

Anak yang efektif belajarnya juga kompeten (cakap mengambil keputusan) menggunakan nalarnya dalam menyelesaikan persoalan. Otaknya bisa jalan-jalan mengamati sesuatu walau ia duduk dalam kelas (imajinasinya kuat). Tidak hanya persoalan pelajaran, tetapi juga persoalan pekerjaan sehari-hari sesuai level umurnya. Ia kreatif menemukan cara agar pekerjaannya makin mudah dan mengasyikan.

Rajin mengerjakan dan menyesaikan tugas menjadi sebuah adiktif baginya. Ia pun membuat kerja-kerja baru yang baginya terasa menyenangkan sekaligus beri manfaat. Misalnya kebiasaaan membaca, menulis puisi, menggambar vignet dan sebagainya. Anak ini dikatakan efektif, yakni telah mampu melakukan motivasi Intrinsik dalam dirinya.

Namun, sebaliknya bagi anak-anak yang tidak efektif,  belum mampu memotivasi dirinya secara intrinsik. Semuanya serba ragu dan bingung memulai dari mana. Belum tahu cara belajar bahkan tak begitu menyadari manfaat segala tindakan positifnya. 

Baginya hari-hari adalah berdiam diri. Belum menyadari waktu adalah uang. Berat dan susah memulai pekerjaan walau dingatkan hingga 10 kali belum tentu dikerjakan. Belum menyadari  bahwa sebuah kebiasaan perlu dilatih. Setiap ada niat belajar dan keinginan memgerjakan tugas lambat actionnya, lebih suka  bermain dengan benda disekitarnya tanpa tujuan terlebih dahulu. 

Anak-anak seperti ini ketika di kelas ditandai dengan banyak kepura-puraan. Lambat memulai sambil asyik memainkan sesuatu, misalnya pena atau penggaris. Selalu 'dilecut' dulu agar mengeluarkan buku pelajaran dan alat tulisnya. Belum tahu apa yang perlu dicatat dari penjelasan gurunya. Saat mengalami kesulitan takut bertanya, disuruh bertanya tetap tak mau bertanya. Tetapi bisa dipancing dengan temannya yang selevel untuk mengakui bahwa ia belum mengerti, Ia mau mengakui, mau dijelaskan, asal ada kawan yang sama dengannya.

ANAK OTENTIK

Prestasi atau hasil kerja anak efektif (berlaku instrinsik) lebih bersifat otentik. Dikerjakan dari hasil pola pikir sendiri, memahami langkah dan proses, bahkan bisa menceritakan hasil belajarnya dengan baik pada orang lain tanpa dikurangi, dilebihkannya dengan cara dan perumpamaan agar pendengar makin faham.  

Mereka merasa kompeten dan percaya diri, baik ketika mengambil keputusan saat memulai sampai pada hasil pekerjaannya tanpa melibatkan teman atau bertanya pada guru. Hasil belajarmya adalah hasil temuan dan olah bangun  oleh konsep sendiri. Pandai mencari dan menggunakan literasi yang tersedia. Merekalah anak-anak yang autentik (otentik).

ANAK TIDAK OTENTIK

Ketidakotentikan tugas anak banyak kita ketemui. Saat teman-temannya mengumpulkan tugas, Ia juga mengumpulkan tugasnya. Kita senang, karena beranggapan dia telah mengerti. Tidak mau bertanya. Kata kita, pasti dia mengerti dan mengerjakan sendiri. Ternyata kita salah anggapan, hasil pekerjaannya ternyata tidak otentik. Hasil contekan atau kebaikan temannya tanpa penjelasan dan pemahaman. Ia mengumpul asal guru senang saja. Bisa memanipulasi guru berarti ia cerdas juga, kecerdasan dangkal  untuk aman sesaat.

Bila bukan hasil olah pikirnya, itulah yang menyebabkan mayoritas anak menjadi tak percaya diri bahkan rendah diri karena merasa gagal dalam jiwanya meski Ia berusaha dan berbuat, tetapi belum tentu baik.

BERBEDA HASIL

Hasil belajar secara otentik, nenghasilkan anak yang kompeten. Sebagai orang dewasa, kita tahu bila tidak ada pertanyaan, beranggapan anak memahami materi. Habisnya, mereka menunjukan mampu menyesaikan tugas. Ternyata hal ini tidak dapat mendefinisikan sebagai penentuan kompetensi setiap anak. Anak-anak masih suka menyembunyikan ketidakfahamannya kepada kita. Ini yang harus kita pastikan dari setiap anak.

Walau nampak tenang dan bisa oleh kita, anak tersebut sebenarnya kecewa mengetahui ia belum bisa. Kepura-puraan mengerti, lama-kelamaan akan mengarah pada penurunan kinerja anak dan guru. Anak makin susah memahami kerjaan selanjutnya, guru makin susah memberi pemahaman yang cepat dimengeri pada level berikutnya. Ingat kata Stephen Hacking, "Musuhnya ilmu pengetahuan itu bukan kebodohan, tapi ilusi (kepalsuan)."

Bila gejala dan keadaan ini terus dipertahankan anak maupun guru, itu sama saja artinya membiakkan persaingan tidak sehat, kecurangan, kecemburuan antar anak. Dan paling sering akibatnya adalah, saling menyerah (guru dan anak). "Terserahmulah, saya telah berusaha," itu kata kita.

PERBAIKAN PEMBENTUK KOMPETENSI

Kompetensi bukanlah istilah absolut. Saat kita membaik, kita menjadi lebih kompeten. Itulah yang perlu dikenali mana anak 'kepuraan', mana anak yang jujur, mana anak yang setengah mengerti, mana anak yang sudah betul-betul fasih. Dengan mengenal hal tersebut mendorong perbaikan akan menjadi terencana dan mudah. 

Seseorang hanya bisa mencapai status level tinggi terus bergerak naik (kompetensinya mumpuni) melalui berbagai perbaikan di tingkatannya dari waktu ke waktu. Secara berkelanjutan sampai ia dikatakan tuntas.

Siswa yang punya daya motivasi intrinsik menghargai pentingnya perbaikan pada pemahamannya pada materi. Bagaimana melakukan lebih banyak hal, bisa membantu orang lain (sosialnya tinggi), dan merasakan keberhasilan dalam menguasai pengetahuan baru dalam sebuah proses. Itu semua makin menyenangkan setiap langkahnya. Berhasil teman karena bantuannya, makin membangkitkan semangatnya, ini termasuk motivasi ekstrinsik berbasil Sosio emosional. Motivasi akibat pengaruh dari tindakan  orang lain yang berhubungan dengannya. Tujuan akhirnya adalah semata meningkatkan kompetensinya sendiri  namun juga bisa memberi efek pada orang lain. Iapun bangga atas pengakuan atas dirinya itu.

Dia sebagai pemotivasi senang, dari segala tindakan positifnya berakibat komptensinya makin kuat. Namun, ada  pengaruh negatif terhadap teman-temannya. Bantuan belajar yang diterima  tanpa proses dampaknya ke anak yang dibantu hanya sesaat, yaitu ketika siswa membawa pekerjaan yang mereka banggakan kepada guru mereka mendapatkan nilai bagus, namun di dalam hati temannya kecewa karena sejatinya ia belum bisa.

Sebaliknya kita harus memelihara rasa bangga pada hasil akhir yang dilakukan anak-anak otentik, dan memberikan umpan balik tentang bagaimana mereka dapat terus meningkatkan kinerjanya. Mempertahankan kesadaran belajar mandiri, walau hasilnya belum maksimal, tetapi otentik patut kita beri apresiasi. Namun, adakalanya kita memadamkan api kecil hanya karena ingin melihat api unggun yang besar (terlalu menuntut semua sempurna) ini juga perlu pertimbangan.

Bila mereka mampu mempertahankan gairah ingin belajar yang kuat baik dari dalam maupun dari luar dirinya (lingkungan belajarnya), berarti anak telah tumbuh motivasi intrinsik sekaligus motivasi ekstrinsik dalam dirinya. 

Pada akhirnya, apapun pekerjaan dan tugas yang diembankan selalu tuntas. Tugas diselesaikan level demi level kesulitan (seperti main game). Mereka Ke sekolah pergi mengejar prestasi bukan menjadikan sekolah tempat bermain. Tapi belajar sambil bermain, mencoba dan  melakukan, bekerja meningkatkan kompetensi sesuai jenjang dan umurnya. 

ANAK PUNYA KEKUATAN

Banyak yang percaya bahwa anak-anak itu pada dasarnya telah dibangun dengan ketahanan fisik yang tidak mudah lelah. Lihatlah ketika dia bermain dan berlarian. Dengan demikian, tidak ada patokan hari belajar buat anak anak harus 90 persen atau 50 persen. Berapapun persentasenya waktu belajar yang diberikan, bila anak itu telah punya motivasi instrinsik sekaligus ekstrinsik akan mampu ia selesaikan. Perlu kita sadari, kinerja setiap anak mungkin berbeda, tergantung kecepatan masing-masing dalam mengolah informasi menjadi pengetahuan. Dan kecepatan itu bisa mereka tingkatkan terus. 

Sekolah adalah kewajiban. Setiap siswa tapi harus  belajar itu pilihan. Siswa hanya bisa menemukan kesuksesan jika mereka mengerti peran aktif mereka; tidak pasif. Anak-anak tidak mungkin bisa mewujudkan mimpi jika hanya belajar asal-asalan tanpa sebuah motivasi yang kuat. Motivasi intrinsik dan ekstrinsik dalam dirinya. 

MOTIVASI INTRINSIK DAN PELAYANAN ANAK

Martin Luther King Jr berkata, "Setiap orang bisa menjadi hebat, karena setiap orang dapat melayani" - sebuah pemikiran yang mengenali dampak dan kekuatan melakukan (melayani) sesuatu bagi orang lain. Namun, pelayanan belajar kurang ditekankan oleh banyak sekolah. Siswa memperoleh kepuasan intrinsik yang kuat ketika membantu orang lain. Siswa yang sedang berjuang jadi pembaca yang baik,  lebih percaya diri lagi ketika ia kompeten, dan mampu pula mengajari temannya membaca. 

Siswa harus merasa bahwa sekolah tempatnya menuntut ilmu adalah miliknya. Ia juga harus merasa memiliki sekolah dan sekolah memilikinya. Hubungan rasa memiliki diperlukan peran sekolah, memberi mereka peran dalam menjadikan sekolah sebagai lingkungan yang positif, seperti berpartisipasi dalam patroli keselamatan di jalan raya, usaha kesehatan sekolah, mengurus OSIS, mengenal sampah (organik dan nonorganik dan daur ulang), menjaga kebersihan ruang publik, cara menghadapi intimidasi, bekerja sama dengan komite sekolah untuk memecahkan masalah yang berkaitan dengan kenakalan remaja dan sebagainya. Menjadikan mereka 'kontributor' untuk kebaikan sekolah dan penghuninya dengan cara yang positif membawa kepuasan intrinsik sekaligus ekstrinsik kepada siswa. Lagi-lagi itu akan meningkatkan rasa kompetensinya.

MENGUNCI KEKUATAN YANG DIMILIKI

Kompetensi didorong oleh rasa ingin tahu dan ketertarikan. Guru perlu mengasuh keduanya. Tapi seperti kita ketahui, pendidikan bukan kegiatan tersendiri; Ini adalah kegiatan tim. Jadi pendidik harus bekerja sama untuk mengajukan pertanyaan tentang di mana anak tertentu mengekspresikan minat, menunjukkan keingintahuan, dan pandai memilih kegiatan sesuai minat dan bakat. Di mana Ia akan mampu berprestasi di bidang yang diminatinya. 

Pencarian kompetensi (peminatan) di bidang apapun dapat menjadi adiktif. Manusia lebih banyak belajar dan menyerap dari pengulangan sesuatu hal yang baik. Dan ini merupakan komponen penting dalam peningkatan karakter dan kepemimpinan siswa. 

Mari kita bekerja untuk memastikan bahwa semua siswa memiliki motivasi Intrinsik dalam dirinya dan menciptakan suasana (kegiatan) untuk mendorong motivasi Ekstrinsik muncul dengan pelayanan. Bila demikian kompetensi anak pun meningkat. Pada akhirnya mereka tumbuh menjadi anak-anak efektif yang kompeten.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun