Fenomena #KaburAjaDulu dan Realitas Ketenagakerjaan Indonesia
“Pergi dulu, pikir belakangan?”
Mengapa Tagar #KaburAjaDulu Viral?
Akhir-akhir ini, linimasa media sosial, khususnya X (dulu Twitter), ramai dengan tagar #KaburAjaDulu. Ungkapan ini bukan sekadar candaan, tapi cerminan dari keresahan banyak anak muda Indonesia terhadap dunia kerja yang mereka hadapi: gaji minim, pekerjaan tidak sesuai bidang, dan tekanan hidup yang tak kunjung reda.
Bukan satu-dua yang merasa begini. Mulai dari fresh graduate hingga mereka yang sudah bertahun-tahun bekerja pun turut mempertimbangkan pilihan yang sama: "Apa mungkin kalau kerja di luar negeri, hidup bisa lebih baik?"
Apa Kata Statistik?
Sebelum kita ikut-ikutan "kabur", mari tengok kondisi nyata di tanah air berdasarkan data BPS terbaru (2025):
- Pertumbuhan ekonomi: 5,03% di 2024 (stabil, tapi belum spektakuler).
- Tingkat kemiskinan: 8,57% per September 2024 (turun, tapi tetap ada 24 juta orang miskin).
- Tingkat pengangguran terbuka (TPT): 4,76% per Februari 2025 (menurun).
- Rata-rata upah buruh: Rp3,09 juta per bulan.
Secara angka, semuanya terlihat membaik. Tapi realitas di lapangan berkata lain: lulusan S1 atau bahkan S2 banyak yang menjadi ojek online, kasir, hingga admin freelance. Ini pertanda jelas: ada mismatch antara pendidikan, keterampilan, dan lapangan kerja yang tersedia.
Sisi Pro: Kenapa Banyak yang Memilih "Kabur"?
1. Peluang Kerja Nyata di Luar Negeri
Negara seperti Jepang, Korea Selatan, Australia, hingga negara-negara Timur Tengah kini membuka pintu lebar bagi tenaga kerja Indonesia. Misalnya:
- Jepang: Program Specified Skilled Worker (SSW) untuk perawat lansia, manufaktur, konstruksi, dll.
- Korea Selatan: Program Employment Permit System (EPS).
- Australia: Program pekerja musiman di sektor pertanian.