Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Separuh Waktu (1)

10 Oktober 2012   05:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:00 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1349846071472444550

*

BARANGKALI SURYA MULAI TAKUT. Setiap hari ia berjalan di atas trotoar serupa kaca untuk kemudian duduk di barisan tertinggi meja di gedung menara. Dagunya selalu terangkat dan rambutnya selalu mengkilap. Ia kemudian tiba pada satu titik kekuasaan duniawinya akan menurun. Karirnya mulai terancam dengan banyak pemuda yang kecerdasannya dua kali lipat dari dirinya.

Surya duapuluh tahun lalu adalah pemuda brilian. Selepas madrasah ia hanya butuh dua tahun mengutak-atik keuangan seseorang hingga pada tahun berikutnya ia sudah berdiri di kakinya sendiri. Membangun perusahaan pengelola keuangan perusahaan lain. Ia merasa separuh waktu hidupnya dipakai hanya untuk mengumpulkan uang. Membiakkan duapuluh lima juta jadi senilai tiga setengah milyar. Kini di usia empatpuluh lima, di saat karyawannya mengikuti jejaknya, ia khawatir. Ia mengelus lengan kursinya dan bertanya kapan ia lengser dari sana. Ia takut menjadi seperti Muhammad Yunus yang diusir dari bank yang didirikannya.

Tapi waktu itu rasanya masih jauh, dan Surya merasa bisa menyelamatkan dirinya. Ia kemudian teringat nasib seorang temannya di seberang pulau. Sala namanya. Entah bagaimana nasib karibnya itu kini, ia teringat dan tiba-tiba kangen.

Pada akhirnya mudah saja ia terbang keesokan paginya menuju Pulau Buru. Tanah surga bagi yang terasing. Pesawat Gulfstream seri kelima itu berbelok pelan saat Surya melangkah dikawal asisten dan istrinya. Anak-anaknya sedang bersekolah dan menurut mereka tak harus setiap waktu mengantar sang ayah ke bandara. Tiap Surya naik ke burung besi ia terkenang masa-masanya dulu lompat ke atas dan turun dari angkot nomor 07 arah jalan Perintis Kemerdekaan.

Ada yang membuat Surya begitu menghormati Sala sejak dulu. Sala adalah guru bagi teman-temannya di madrasah. Dia adalah pengganti ustaz. Menguasai ilmu tajwid sampai falak, tapi enteng memberi dan tidak tamak. Menyandarkan kepalanya di jok kulit melihat barisan awan-awan, Surya teringat kisah kecil saat Sala bahkan berkelahi dengan tujuh preman kampung demi melindungi rantang berisi ketupat dan sedikit ikan asin yang mereka siapkan  sambut hari libur lebaran.

“Kau tak tahu seberapa besar kekuatan manusia yang diberikan Tuhan, Surya. Berdiri, jangan takut!” Suara itu terus terbayang. Untuk pertama kali dalam hidupnya, waktu itu Surya melihat Sala begitu marah. Marah bukan karena apa-apa, tapi karena sahabatnya berpikiran rendah.

“Mereka juga cuma manusia.” Bayang-bayang kalimat itu melantun lagi di telinga Surya. Suara Sala begitu lembut melebihi gurunya. Pandangannya yang ramah dan sikap tangannya yang lebuh sering menepuk punggung memberi banyak sekali harapan bagi siapapun yang mendengarnya. Surya merasa beruntung, karena diberikan lima tahun waktu untuk mengenal orang yang begitu memahami tujuan hidup. “Kita sama-sama ciptaan Tuhan, Surya! Kau adalah dirimu, yang disempurnakan dengan semua kekurangan. Orang-orang sama seperti kita, tak mau menghabiskan separuh waktu hidupnya untuk menjadi pihak yang kalah. Yang membedakan kekuatan seseorang adalah sikapnya terhadap perubahan.”

Kini suara Sala lebih rendah, syahdu, dan perlahan menghilang, saat cahaya mulai benderang.

**

Bandara Namlea lengang seperti biasa.

Lebih banyak pesawat perintis yang lalu lalang melewati menara setinggi duabelas meter. Di landasan sepanjang 750 meter itu G5 memutar pelan sebelum dua penumpangnya turun.

“Maaf telah membangunkan Anda, Pak.” Kata seorang perempuan muda berambut pirang merah dengan setelah blus hitam keabu-abuan, saat mereka baru saja turun dari tangga lipat. Di lengannya selalu terselip papan jepit berisi beberapa lembar kertas. Jadwal dan perubahan rencana semua tertuang di situ untuk satu nama.

“Tidak apa-apa, Syla. Terima kasih.” Surya membalas. “Saya tadi bermimpi tentang seseorang, dan sepertinya memang tidak berlanjut ….” kalimat itu dikatakan dengan senyuman simpati lebih pada diri sendiri.

“Seseorang … siapa, Pak?” Syla bertanya penuh harap. Perasaan yang diam-diam hanya mengurung diri di balik gaun integritas. Tapi pertanyaan itu tak pernah benar-benar terjawab. Surya malah mengerlingkan matanya dan langsung menjabat tangan seorang pejabat daerah yang sudah berdiri di lobi untuk mereka.

“Pulau Buru banyak berubah …” Surya berkomentar begitu saja ketika jari-jarinya menopang bibir dans sikunya merapat ke pintu. Pandangannya lurus saja melewati banyak sawah dan pohon kelapa yang berjejer di atas tanah yang dulunya pasir.

“Ya, semuanya membangun, Pak,” jawab Muis si penjemput. “Dulu memang Pulau Buru adalah penjara bagi ribuan orang, tapi kini, surga bagi sedikit orang yang memilih menetap di sini.” Ada keheningan sejenak ketika mobil SUV hitam itu melaju keluar dari jalan mulus aspal menuju sebuah desa di ujung tenggara. Kerikil-kerikil dan lubang tergenangi air membuat sopir harus hati-hati.

“Tidak mudah untuk hidup di tempat seperti ini."

Penjemput itu tersenyum setuju.

“Em, maaf. Tapi Apa Anda yakin akan menemui orang ini, Pak?”

“Hakul yakin. Dia kuanggap saudara sejak dulu, dan kini aku ingin meminta nasihat kepadanya.”

“Tapi … saya rasa Anda akan sia-sia saja mengunjungi Pak Sala.”

Kalimat itu membuat Surya terheran-heran.

**

Rumah beratap seng dengan enam tiang penopangnya setinggi satu meter. Berdiri di pinggir sawah dan bersinggungan dengan ujung saluran irigasi yang berbunyi riak tanpa henti. Jari-jari pohon kelapa menaunginya dari sengatan panas matahari siang. Tak ada bangunan lain di situ, dan sekeliling hanya ada hutan yang acak ditumbuhi pohon jati, palem, dan salak. Di belakangnya sejauh lebih dari empat hektar terhampar sawah siap panen. Tak nampak laut tapi aroma ombak masih bisa tercium dari kejauhan.

Syla mengikuti nalurinya untuk mencermati setiap bagian rumah demi kenyamanan atasannya. Tapi satu-satunya fakta yang didapatinya adalah tak ada satupun sambungan kabel listrik ke bangunan itu. Saat pintu diketuk beberapa kali oleh si penjemput dan tidak ada jawaban, Surya maju dan langsung meneriakkan sebuah kalimat yang menimbulkan reaksi gaduh dari dalam. Seperti piring seng berbenturan dengan gelas kaca dan sesuatu tumpah menembus sela papan sampai ke parit di bawah rumah.

Pintu terbuka. Dan Surya langsung terhenyak melihat sosok yang berdiri di depannya.

Masih mudah untuk mengenali Sala. Pundaknya sempit dan tubuhnya terus ringkih, meski keningnya menonjol menandakan kecerdasan luar biasa yang masih tersisa di dalam sana. Alisnya tipis namun tegas di kedua ujungnya, menghiasi cekungan mata yang tajam sebaris dengan bibir yang kini kehitaman entah karena usia atau tembakau. Kedua mata itu terbelalak sejenak, kemudian berubah lemas.

“Apa yang terjadi padamu, Sala?” Surya merapalkan dua tangannya ke lengan sahabatnya itu. Duapuluh tahun tidak berjumpa dan melihat perubahan seperti ini, ia nyaris tak percaya.

Sala yang dulunya rapi dan selalu suci, kini kumal dan seperti tak terurus. Tulang-tulangnya menonjol seperti kurang makan ditambah rambutnya yang tak tertata seperti dulu. Kata-katanya pun mulai tak jelas.

Orang yang kini tua itu tak membalas satupun kalimat tamunya. Mata Sala hanya menatap tajam seiring giginya bergemeletuk. Mungkin muak melihat iba yang ditunjukkan Surya, akhirnya ia mengangguk dan menunjuk dua orang lainnya, mengisyaratkan agar mereka tak ikut masuk. Tak berapa lama kemudian pintu ditutup. Surya ikut ke dalam sementara Syla ditemani si penjemput itu duduk di pagar serambi membiarkan angin berlalu berulang kali.

Surya bersimpuh dan hanya menatap. Pikirannya terus bertanya ada apa sebenarnya. Setelah dua gelas kembali ditegakkan untuk diisi air hangat, Sala ikut melipat lututnya kemudian tersenyum. Sisa kenangan masih bisa ia terima sebagai alasan untuk sedikit ramah.

“Maafkan aku, Surya. Tak seharusnya aku memandangimu seperti tadi. Siapa itu tadi, istrimu ya?”

Surya memajukan kepala.

“Hm? Maksudmu, Syla? Bukan, dia asistenku. Sekretaris. Hubungan kami sebatas pekerjaan, dan dia bekerja dengan sangat baik sejauh ini.”

“Tapi dia menyukaimu,” komentar Sala pelan sembari menyodorkan gelas di atas papan.

“Jangan bergurau. Aku sudah punya istri, dan keluarga kami sangat baik.”

Sala memaku pandangannya ke cahaya lampu minyak yang menerangi ruangan kecil itu, meraba-raba pikirannya sejenak. “Begitu … tapi kau terlalu berlebihan memujinya barusan. Jangan bohongi perasaan, Surya.”

Kali ini raut wajah Surya memerah, kata-katanya tak bisa keluar lagi. Jari-jarinya menegang. Di luar rumah itu, bunyi angin berdesir di telinga mengaburkan suara-suara. Hanya terdengar bisik-bisik dari dalam rumah. Syla mengoreksi beberapa catatannya di papan jepit dan menyadari penjemput itu sedari tadi terus memandanginya.

“Katakan padaku,” kata Surya kemudian. “Mengapa hidupmu bisa berubah?”

“Berubah bagaimana?”

Surya kemudian mengarahkan pandangannya ke sudut rumah, kepada jejeran belasan botol bening yang jelas adalah bekas minuman keras. Semuanya telah kosong tapi aroma sisanya tak bisa membohongi siapa-siapa. Bau sama yang telah diendus oleh ketiga tamu saat pintu baru saja dibuka tadi. Sala menggeleng sambil berdecak beberapa kali. Pikirannya seperti belum siap menerima pertanyaan seperti itu.

“Surya, saudaraku …” kata Sala menyulut rokoknya. Sejenak ia menyodorkan dari bungkusan tapi oleh Surya ditolak begitu saja. “Manusia adalah makhluk paling sempurna dan paling dilindungi oleh Tuhan. Aku pernah bilang itu padamu dulu …”

“Betul.”

Sala menghela napas. “Itu berlaku di sepanjang waktu, selama manusia itu hidup. Semua pilihan manusia, baik atau buruk, tak pernah bisa digugat kecuali oleh pemahaman manusia itu sendiri. Ia bertanggung jawab terhadap Tuhannya langsung, dan tak perlu digugat oleh manusia manapun.”

“Termasuk jika seseorang berubah ke arah yang lebih buruk?”

“Kau menyindirku.”

Surya tak membalas.

“Rasanya aku telah banyak melewati cobaan hidup, sejak dulu kehilangan orangtua, kemudian berhasil mengalahkan banyak orang di madrasah. Aku merasa hebat, aku … merasa tak terkalahkan.”

“Kau luar biasa waktu itu.”

“Tidak sepenuhnya benar, saudaraku.” Sala menatap dengan senyuman. Surya memiringkan kepalanya karena belum paham apa maksud perkataan barusan.

“Mengapa dulu kau tak pernah tanya mengapa kaulah satu-satunya temanku?”

“Entahlah.”

“Itulah kekuranganmu, saudaraku. Kau tak pernah kritis terhadap hal-hal yang menyenangkanmu. Kau selalu khawatir pada hanya hal-hal yang akan menjatuhkanmu. Kau akhirnya hanya melihat pada hal-hal yang berkilau, tanpa mau mengetahui lubang-lubang kecil.”

Surya terperanjat. Tiba-tiba ia ingat tujuannya kemari. Juga pertanyaan-pertanyaan yang menjadi buah kekhawatirannya selama beberapa hari.

“Tidak … Surya. Menurutku kehidupan tak pernah adil bagi manusia. Selama ini aku salah. Kupikir setelah menyendiri ke pulau ini dan mencari arti hidup seperti yang pernah terpaksa dilakukan oleh seribu lima ratus manusia Indonesia dulu, semuanya bisa jadi lebih mudah. Tapi tidak. Di sini … aku merasa sendirian. Kembali seperti dulu. Berjuang sendiri karena dianggap paling bisa. Tidak ada yang pernah menegurku di saat salah, semuanya memuji. Dan kau tahu, itu bisa lama-lama membunuhmu.”

Surya membasahi bibirnya.

“Sejak keluar dari madrasah aku mencari banyak pekerjaan, tapi semuanya menolak justru karena aku menguliahi mereka dengan macam-macam ayat yang membenarkan kehidupan. Kau tahu reaksi mereka? Mereka melempar kertas! Mereka bilang, hidup ini bukan sekadar kelimpahan ilmu, tapi juga kelaparan dan merasa kekurangan pengetahuan. Untuk pertama kalinya, saudaraku, aku merasa jadi orang paling bodoh sedunia. Karenanya, aku berdiam di rumah ini selama puluhan tahun, berusaha belajar semuanya dari nol. Apa yang sebenarnya kucari.”

Keheningan sejenak merapal ke tiap sisi papan yang mengurung mereka.

“Kau menyiksa diri.” Surya berkomentar begitu saja pada akhirnya.

“Aku mencari Tuhan sekali lagi.”

“Dengan meminum-minum ini dan menjauhi manusia?”

Untuk pertama kalinya, Surya melihat mata Sala begitu memancarkan amarah yang pecah. Melotot seperti haina di depan mangsanya yang melawan. Surya sempat merangsek mundur tapi akhirnya tenang.

“Pulang saja ke kotamu.”

Perbincangan itu menjadi sangat lambat karena mereka tak langsung saling balas perkataan. Lebih banyak mengamati dan berpikir apa yang sebenarnya terjadi pada persahabatan lama mereka yang kini berubah menjadi jurang dengan jembatan rapuh.

“Aku butuh bantuanmu. Aku … sebentar lagi akan jatuh miskin.”

Tapi Sala justru tertawa mendengar hal itu. “Dasar manusia … kau masih sama saja seperti dulu, Surya. Takut akan perubahan. Hidupmu tak pernah bisa terasa cukup bahkan saat kau berdiri di puncak dunia. Kau selalu cari tangga baru yang mengarah ke atas, tanpa menyiapkan bidang pendaratan yang empuk sebagai tempatmu jatuh. Pulang sana, aku tak bisa membantumu. Biarkan aku sendirian.”

Sala mulai melinting tembakaunya lagi, mendekat ke api dengan mulut yang melelehkan liur. Surya iba melihat itu, tapi ia kehabisan amunisi apalagi kata bujukan. Hingga akhirnya, ia bangkit mundur.

“Ikutlah denganku, Sala. Kita bisa membangun perusahaan baru. Aku masih percaya kau tak mau menghabiskan separuh waktumu dengan mengurung diri.”

Tak ada balasan.

Surya  membuka pintu dan membiarkan cahaya putih masuk menyinari bilik itu, meninggalkan Sala yang sibuk dengan rokok dan jenggot tebalnya. Duduk menegakkan lutut sambil melihat ke arah atap ketika mendengar sebuah benda berat diletakkan di atas papan.

“Aku masih percaya, bahwa kau adalah dirimu, yang disempurnakan dengan segala kekurangan, Sala.” Surya berkata lirih kemudian menutup pintu dari luar.

“Kau yang selalu bilang begitu padaku.”

Di dalam ruangan itu, Sala mencabut rokoknya. Pandangannya terus menatap pintu yang kini tertutup. Di kaki pintu, itu kini tergeletak sebuah rantang seng putih berisi ketupat.

==========

Ilustrasi: robertnash30.wordpress.com.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun