Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Pancasila Masih Tertanam di Desa

10 Mei 2011   01:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:54 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mengagumi Pancasila tak semata-mata hanya menghapalkan butir-butirnya. Demikian nasihat guru saya waktu SD. Saat ini dengan modernisasi sosial yang terjadi di mana-mana, ternyata masih menyisakan kaum marjinal. Tetap ada desa yang menaungi panasnya suhu udara kota, tetap ada desa yang mengirimkan air bersih dengan aliran-alirannya yang berujung kekeruhan dan limbah industri di muara kota. Ini Pancasila? iya.  Di desa, Pancasila juga masih tertanam di tanah warganya. Saat mengadakan perjalanan wisata singkat ke Gua Cerme di Kecamatan Imogiri, Bantul bulan Maret lalu, saya melihat hal unik yang menunjukkan saya bahwa betapa tertanamkannya sejak dulu Pancasila di tanah warga masyarakatnya. Masyarakat desa melalui kebiasaan-kebiasaan lama yang dibawa rezim pemerintahan terdahulu ternyata cukup telaten dalam membangun kreativitas warganya. Terbukti, beberapa sisa bangunan publik di dusun Srunggo tersebut sangat kental nuansa keindonesiaannya. Sebut saja tugu dan prasasti Pancasila yang tertanam hampir di setiap jalan masuk dusun. Selain itu, lubang-lubang bambu tertanam di beberapa titik pinggir jalan sebagai tempat menancapkan bendera. Ada juga bendera Merah Putih di salah satu sudut pos ronda desa. Semuanya identitas kebangsaan yang terselip di antara nilai-nilai kebijaksanaan lokal yang ada sejak dulu. Prasasti-prasasti Pancasila itu nampak sudah tua. Namun teknologi konstruksi sederhana masa itu membuat tulisan dan lambang-lambangnya masih terbaca karena dibentuk dengan huruf timbul. Salah satu bukti kecerdasan dan pemikiran yang mengharapkan sila-sila ini bisa bertahan dan dibaca hingga berpuluh-puluh tahun ke depan. Benar, ini hanya fisik. Beberapa identitas kebangsaan yang terselip di antara lumbung keseharian warga desa dalam  bentuk bangunan dan tanda-tanda peringatan. Akan tetapi, jika pikiran saya memaksakan untuk mengetahui apakah keindonesiaan masyarakatnya secara psikis masih terjaga, saya berani mengatakan "iya". Warga desa nampak hidup tenang, tak banyak mengeluh, "nrimo". Mereka memandikan sapi-sapinya di parit air jernih setiap pagi, lalu bergantian menjaga daerah wisata Gua Cerme mulai siang hingga sore harinya. Kebijaksanaan lokal yang saya rasakan sangat kental ketika beberapa kali saya ditunjukkan jalan menuju gua dengan nada bicara yang sungguh ramah. Bahkan ada beberapa orang seumuran yang rela mengantarkan saya hingga ke mulut gua. Ini sangat Indonesia. Dan saya yakin, siapapun  yang datang ke Gua Cerme, tak akan dibeda-bedakan pelayanan wisatanya. Orang Indonesia juga sudah pintar melihat peluang usaha. Memang sederhana nampaknya beberapa warung di depan mulut Gua Cerme. Aneka makanan ringan disediakan lengkap dengan pilihan minumannya. Didengan disambut senyum ramah Ibu-ibu pedagang di sana, lalu merasakan rasa haus setelah menyusuri jalan menanjak, maka sangatlah cocok menghilangkan dahaga dengan jajanan sederhana yang khas Indonesia ini. Nikmatnya lebih nikmat daripada segelas jus di kampus. Dalam pikiran, saya mengakui bahwa inilah Indonesia sebenarnya. Lengkap, melayani dengan hati, membenarkan dengan kesamaan identitas. Saya membayangkan bagaimana menjadi seorang wisatawan asing, dari Zimbabwe misalnya, lalu disuguhi pelayanan ramah seperti ini. Tidak ada sentimen, tidak ada iri. Hanya melayani lalu mensyukuri. Itulah mengapa saya meyakini bahwa di desa, Pancasila masih diamalkan warganya turun temurun, bahkan lebih daripadai masyarakat kota. Saya yakin di antara warga Desa Srunggo Imogiri ini banyak yang buta huruf, tidak pernah sekolah. Namun mereka mengamalkan Pancasila, disesuaikan dengan nilai-nilai lokal yang mereka percayai dari nenek moyang. Mereka tidak bisa membaca lima sila yang terukir di atas batu, namun tahu apa maknanya dengan perbuatan-perbuatan mereka setiap hari. Kaum muda-mudinya juga, menjaga mulut gua dan mengantarkan wisatawan menyusuri curamnya medan jalan menuju lokasi gua. Mereka antusias, dan tidak menjadi pengangguran. Saya selalu percaya bahwa semangat kerja orang desa terkadang lebih besar daripada orang kota. Di satu sisi, mereka melanjutkan hidup dengan tidak terlalu memikirkan pentingnya mengecat ulang tugu Pancasila di gerbang masuk desa, namun di sisi lain mereka sudah hidup dalam kebersamaan yang terbina sejak dulu, dengan dasar keyakinan terhadap Tuhan, kemanusiaan yang menjaga adab, kebersatuan masyarakat, pengaturan dan kepemimpinan desa yang terjalin erat, dan kemerataan penghidupan warga. Saya tak melihat ini sebagai bungkus teori, tapi realita yang menunjukkan kejujuran untuk hidup dan mengamalkan Pancasila, bahkan bagi seseorang yang tak bisa membedakan huruf. [caption id="attachment_106483" align="aligncenter" width="613" caption="Tugu prasasti Pancasila di jalan masuk Desa Srunggo, Imogiri, Bantul."][/caption] [caption id="attachment_106485" align="aligncenter" width="300" caption="Tugu Pancasila di jalan masuk Gua Cerme."][/caption] [caption id="attachment_106486" align="aligncenter" width="596" caption="Jalan menanjak menuju mulut gua. Ada papan penunjuk jalan sederhana."][/caption] [caption id="attachment_106487" align="aligncenter" width="598" caption="Pemandangan indah tanah Jogja di sepanjang jalan pulang dari desa Srunggo. Melapangkan pikiran dan perasaan."][/caption]


Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun