Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

KTP dan Baju Lebaran

16 Agustus 2012   21:12 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:39 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Hargo kelelahan.

Ia tak akan merasa terlalu lelah andai saja pekerjaannya dibayar. Tapi ini tidak. Sudah dua tembok tinggi ia cat dengan tangannya sendiri. Pindah dari tangga satu ke tangga lain sejak subuh sampai jam tiga. Malang nasib menimpanya. Tangganya berdiri kurang tegak, bergeser kemudian jatuh miring menimpa tali jemuran. Dua kaleng cat tumpah sia-sia, ditambah puluhan kain pakaian tetangga yang kotor tak bersisa. Akhirnya majikan memecatnya. Tanpa maaf apalagi bayaran.

Padahal besok lebaran. Dan Hargo menjanjikan sepotong baju koko untuk Aryo putranya. Batita yang masih ingusan di pelukan gendong sang istri. Uang di kantong cukup hanya untuk beli beras dan sebungkus ikan asin. Yang tidak boleh tidak dibawa pulang.

Jalan kaki hingga matahari beringsut turun. Di mana harus menemukan lima puluh ribu untuk pekerjaan yang satu-dua jam? Hargo melewati kantor demi kantor, toko demi toko. Tak ada yang butuh pekerja jam-jaman. Ada satu toko Cina yang mengecat dinding dalam tokonya, tapi Hargo urung menawarkan jasa. Takut jatuh lagi, karena kali ini tangganya aluminium berdiri di atas ubin yang licin. Tentu akan lebih sulit dari yang bambu di atas paving blok. Ada juga pedagang bakso yang butuh bantuan mendorong gerobaknya sejauh tiga ratus meter dari Gang Gundu sampai Jalan Mataraman, tapi Hargo tak berharap banyak uang dari yang itu. Membantu saja tanpa banyak bicara. Dan benar saja si pedagang bakso tak menawarkan imbalan sama sekali. Hargo pasrah.

“Uangnya buat beli apa sih?” tanya seorang tukang becak pada Hargo yang duduk termangu di trotoar. Mereka nampak senasib, jadi Hargo jawab saja sekenanya.

“Beli baju anakku. Dan urus selebihnya buat urus perpanjangan KTP.”

“Lho, bukannya urus KTP enggak bayar?”

Hargo menggeleng. “Yang ini bayar. Dua lima. Baru KTP diurus.”

Apa mau dikata. Tukang becak teman barunya itu paham sepaham-pahamnya. Ia juga sering melihat yang begitu.

“Ngamen saja,” usul si tukang becak.

Tapi Hargo tak mengiyakan. Tak juga menyanggah pendapat. Ia hanya berpikir dalam-dalam, antara debu dan kusutnya telapak kaki. Kalau mengamen, mengamen pakai apa? Tak ada alat apalagi pengalaman, coba mengamen di senja itu sama saja bentuknya dengan mengemis. Hargo tak pernah mengemis. Maunya berusaha atas rezeki. Itu ajaran ayahnya Kyai Mustofa. Ayah tiri yang lama meninggal.

“Heh, hari gini pilah-pilih kerjaan, susah aja hidupnya, Mas. Kalau mau gampang, merampok saja sana. Itu paling enggak ada usahanya. Atau menjambret, atau nyopet. Lebih ada usahanya to daripada mengemis. Pilih mana?”

Tukang becak berlalu. Loncengnya berdering beberapa kali sebelum mengayuh becak hilang di tikungan.

Matahari tak lagi kelihatan.

Hargo memikirkan dalam-dalam perkataan Dusmin tadi. Temannya si tukang becak. Benar juga katanya. Kalau mengemis artinya bekerja tanpa usaha, beda lagi dengan nyopet atau menjambret. Tentu ada usahanya. Mungkin itu cara Tuhan memberinya rezeki hari itu. Mungkin memang harus begitu caranya. Mungkin.

***

Remaja muda-mudi lalu lalang dan tertawa. Beberapa perempuan saling canda di jalan. Salah seorang di antara mereka jalan sendirian dan nampak sibuk dengan telepon genggamnya. Membiarkan tas menggantung lemas dan dompet terselip begitu saja di mulut kantong.

Dari kejauhan laki-laki itu mengintip. Semak-semak tempat yang cocok untuk bersatu dengan kegelapan gang. Masjid masih jauh, dan ia punya waktu cukup untuk beringsut pelan dari belakang. Pikirannya maju mundur. Niatnya tak pernah benar-benar bulat. Mencopet tak pernah mudah. Apalagi menjambret. Tangannya mengepal-ngepal. Mulutnya megap-megap. Kepalanya digelengkan cepat kemudian matanya memicing lalu terbuka. Akhirnya dengan satu lompatan, ia menumpahkan segenap keberaniannya. Nekat dalam artian sebenarnya.

Dompet diraih. Telepon genggam telah berpindah tangan.

Perempuan itu menjerit, meminta tolong sambil meloncat-loncat. Laki-laki penjambret kemudian lari. Pontang panting dan mengatur napas saat pandangannya perlahan buram. Kepalanya pusing karena belum makan. Sempoyongan di ujung gang.

Mendengar keributan dan teriakan minta tolong perempuan, seorang warga kemudian mendekat cepat dan mendapati penjambret itu berhenti merapat dinding. Panik dan kalah gesit, penjambret itu kalap dan melayangkan pukulan membabi buta. Kalah. Ia tersungkur dengan sakit luar biasa di pelipis dan rahangnya. Perutnya mulas, ia pingsan. Akhirnya ditolong ke pos ronda terdekat.

***

Perempuan muda itu berterima kasih. HP dan dompet kembali ke tangannya. Sejumlah imbalan diberikan kepada warga yang menolong. Ditolak tapi akhirnya berpindah tangan juga. Lima puluh ribu jumlahnya lumayan.

Warga itu melipat dan memasukkan lembaran biru itu ke saku kemeja tipisnya. Senyum terkembang di wajahnya. Ia lalu berjalan kaki kembali mengarah ke gang Gundu tempatnya berangkat. Ketemu Dusmin yang rupanya lagi tidur di atas becaknya.

Takbir melantun.

Hargo bersyukur, karena berhasil dapat lima puluh di saat terakhir. Dan lagi, karena ditambah dua puluh hasil kerja singkatnya mencuci mobil seseorang. Akan ada uang untuk dipakai besok. Bayar KTP dan beli baju lebaran.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun