Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Keputusan Dusmini

29 Agustus 2012   11:47 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:11 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (wartajatim.blogspot.com)

*

Baru tiga hari Dusmini bekerja sebagai penjaga palang pintu kereta api Munggur. Santai saja kerjanya. Tidak intens seperti mengetik-ngetik surat keterangan sakit yang dilakoninya di sebuah Puskesmas tahun-tahun kemarin. Di awal pelatihan ia hanya diminta mengenali cara kerja serangkaian alat pemberi isyarat lalu lintas. APILL, orang-orang menyebutnya. Terdiri dari alarm antargardu, radio, toll back, dan lonceng. Ia menyebut kumpulan alat itu sebagai “perangkat keramat”. Semuanya bisa saja tak keramat di mata laki-laki, tapi Dusmini perempuan. Hal-hal kecil bisa membingungkannya.

Begitu lampu tanda dari gardu sebelumnya menyala dan lonceng berbunyi, ia sudah harus menarik tuas yang langsung memicu portal di dua lajur atas rel itu turun. Sirene berbunyi dan rekaman suara terputar otomatis membahana melalui corong kecil di pojok atap. Tiap waktu kereta lewat, Dusmini selalu berdiri di pintu posnya, melihat sesak kendaraan berebut tempat paling depan ketika palang turun, dan berebut jalan begitu palang terbuka kembali. Ia menggeleng saja. Maklum pada pengendara motor atau becak.

Sesekali di kala senggang ia membersihkan alat-alat itu dari debu atau menonton dari televisi empat belas inci di sudut pos. Seperti waktu senja ini, ketika jamaah magrib berjalan pelan ke masjid. Saat baru saja merapatkan pantatnya ke kursi, ia tiba-tiba mendengar lonceng berbunyi. Kereta akan melintas. Dengan sigap ia menghapalkan kembali urutan pengaktivan alat. Portal turun.

Tapi ada yang aneh. Orang-orang berteriak di luar sana. Dusmini berlari ke arah pintu gardu dan apa yang dilihatnya membuat ia tercengang. Sebuah mobil bus mini berhenti di tengah rel. Sementara kedua palang sudah tertutup. Ia berlari ke arah pintu itu mengikuti nalurinya, tetapi apa daya ternyata perkiraan itu salah. Orang-orang berteriak dan mengatakan “naikkan palangnya!” Dusmini kembali ke pos. Kakinya terpeleset di antara kerikil-kerikil. Di belakang ia bisa mendengar anak perempuan menangis dan  berteriak. Pengemudi mobil itu panik, tak bisa berbuat apa-apa kecuali mencoba menyalakan kembali mesin mobilnya.

Bunyi terompet kereta terdengar makin dekat. Dusmini menarik tuas dan palang terbuka. Tapi mobil itu masih berhenti di tengah rel. Kereta api Prameks jurusan Jogja-Solo Balapan itu tinggal seratus meter.

“Maju, Pak! Maju!” teriak Dusmini kepada pemuda berkulit putih yang gemetaran memasukkan gigi ketika mesin  mobilnya kembali menyala.

“Ayo maju!” teriak Dusmini lagi. Sementara orang-orang yang sudah panik di luar pagar dan di beberapa pengendara motor di pinggir jalan berteriak sebaliknya. “Mundur saja! Mundur!”

“Maju dik!” teriak Dusmini. Ia sendiri panik, bunyi terompet dari kereta terdengar makin memekakkan telinga.

Masinis di mesin baja itu mulai membelalak mengeluarkan kepalanya lewat jendela. Tiga puluh meter di depan mobil itu berdetak-detak, bannya terlepas dari jepitan rel, kemudian melaju ke depan.

Dusmini menutup mata. Orang-orang berteriak. Lalu terdengar benturan keras.

Empat hari kemudian, penjaga pintu kereta api itu dipecat. Kakak beradik tewas terhempas bersama mobilnya. Dan saat keluarga dan publik belum bisa menerima kenyataan, Dusmini sudah percaya suratannya meringkuk di balik jeruji selama satu tahun empat bulan.

***

Bulan Agustus, Dusmini bebas.

Ia melangkahkan kakinya yang kurus keluar dari tanah lapas perempuan Marga Mulya di petang keemasan ketika para santri pulang di akhir pekan. Dua hari lagi lebaran, dan ia sudah tidak sabar membawakan setangkai buah apel yang terbungkus di dalam keranjang anyaman rotan buatannya. Lapas memberinya banyak hal, termasuk menghargai kehidupan secara lebih baik. Rambutnya pun kini dibiarkan terurai sepunggung. Hitam mengkilap sehabis keramas. Kulitnya tetap bersih meski gelap karena sengatan matahari dan air yang tak begitu bersih. Pipinya cekung pertanda kurang gizi. Tapi langkahnya ringan dan punggungnya agak membungkuk. Ia lupa berapa usianya kini, tapi ia ingat sebelum masuk penjara ia berulang tahun yang ketigapulu. Lama pemenjaraan tak pernah terhitung olehnya. Satu-satunya yang paling menyiksa adalah kesedihannya yang mendalam atas kejadian itu. Keputusan salah yang membuatnya menyesali hidupnya selama puluhan tahun sebelumnya. Dan pekerjaannya selama tiga hari sebelum kakak-beradik itu tewas.

Keluar dari penjara membaut Dusmini tak banyak bicara. Sehari-hari ia hanya meladeni tawaran beberapa keluarga untuk menjadi asisten rumah tangga. Pindah dari satu rumah ke rumah lainnya. Begitu sampai hampir satu tahun. Hingga suatu hari, ia tiba di rumah Keluarga Matias. Pria keturunan yang menikah dengan perempuan Jawa, ibu rumah tangga yang membawanya bekerja. Empat hari mencuci pakaian dan merawat rumah sampai kebun dan hewan-hewan peliharaan, Dusmini merasa terhibur. Ia betah dan meminta bekerja lebih lama. Matias adalah orang pemurah, dan ia pun dipekerjakan tetap dengan gaji tiga ratus ribu per minggu.

Hingga sebuah keberanian membuat Dusmini memegang kembali dadanya.

Ruangan itu kecil, berada di bawah tangga dan sengaja dibuat sebagai ruang rahasia yang hanya digunakan keluarga itu di akhir pekan untuk sembahyang. Dusmini mengintip tanpa sengaja ketika melihat pintu tidak terkunci. Betapa terkejutnya ia, ketika melihat dua foto terbingkai yang tergantung bersama bunga di atas barisan dupa-dupa.

Dusmini menjerit dan meminta maaf. Karena Matias dan istrinya sudah berdiri di belakangnya.

“Itu anak kami, Ronald dan Elis. Mereka meninggal hampir tiga tahun lalu.”

Dusmini terperanjat untuk kesekian kali. Rupa anak itu, kacamata yang dikenakan Ronald, kaus putihnya yang tipis, serta boneka jerapah yang dipegang Elis. Semuanya persis terlihat di sore nahas ketika mobil itu berhenti di tengah rel.

Dusmini menunduk. Kemudian jatuh berlutut sambil menangis. Ia tak tahan mengingat kembali kesalahannya. Urat-urat kepala di keningnya mencuat saat kulitnya memerah. Keringatnya merembes keluar dan matanya sembab. “Ampuni hamba, ampuni hamba …” tangisnya.

Tapi Matias dan Istrinya mengangkat pembantu itu. Memapahnya dengan telapak tangan di kedua lengan Dusmini. Istri Matias coba meredakan kesedihan dengan mengelus-ngelus lengan dusmini. “Tidak apa-apa.”

Saat tangis itu mulai reda, akhirnya Dusmini diceritakan hal yang sulit ia percaya.

“Kami tahu kaulah yang bertugas di pos perlintasan itu, Dus,” kata Matias dengan senyumannya yang ringan.

Istrinya mengangguk. “Karena itulah kemarin saya pekerjakan kau di rumah ini. Biar kita bisa saling menyemangati dari kesedihan di masa lalu,” sambungnya. Kalung mutiara putih itu bersinar tapi tak mengalahkan pancaran ketulusan dari sepasang matanya. “Sudahlah, Dusmini. Ini suratan Tuhan. Kita manusia hanya berusaha dan bekerja. Sore itu Ronald memang bawa mobil lari tanpa sepengetahuan kami. Satu-satunya penyesalan kami adalah karena memarahinya lewat telepon sewaktu ia sudah mencapai rel kereta. Kami tak tahu, bahwa mereka terjebak. Kami masih terhubung telepon sampai akhirnya kecelakaan itu terjadi. Ini bukan salahmu. Keputusanmu meminta mereka maju juga karena Tuhan. Manusia tak bisa membatasi egonya, tapi manusia selalu diberi kesempatan untuk lebih baik. Sudahlah. Hibur dirimu. Bekerjalah lebih baik.”

Mata istri Matias berkaca-kaca, tapi perempuan itu jauh lebih tegar. Dipeluknya Dusmini untuk saling meredakan kesedihan. Pembantu itu tetap saja menangis dan memohon ampun entah pada siapa.

***

Tapi ujian bagi Dusmini tak sampai di situ.

Mulai akrab dengan keluarga Matias yang mengubah hidup dan cara berpikirnya tentang hubungan manusia-manusia dan hubungan ketuhanan, ia mulai menikmati hidupnya. Pagi ini pun ia berangkat kerja dengan senyuman. Bersepeda melalui Kotabaru lalu berbelok ke arah timur melalui Balai Yasa. Matahari melukis langit menjadi biru turkis ketika burung-burung berkicau dari dahan ke dahan beberapa meter di atas genteng.

Kemudian Dusmini mengerem sepedanya tiba-tiba. Sandalnya hampir putus karena tertahan di aspal. Terompet kereta api terdengar lagi. Dan ia tahu betul apa itu. Lonceng-lonceng berdering dan orang-orang berteriak.

Dusmini mendekat, melepar sepedanya ke bahu jalan kemudian berlari meninggalkan tasnya di atas aspal. Apa yang dilihatnya seperti déjà vu.

Mobil bus mini hitam itu berhenti di tengah rel. Dusmini mengedip-ngedipkan matanya. Pikirannya bekerja tiba-tiba cepat, meski pendengarannya mulai kabur. Penglihatannya mulai membingungkan. Cahaya pagi itu cenderung gelap dan membuatnya berkunang-kunang. Kenangan itu kembali  begitu rapat sampai-sampai ia bisa mendengar teriakan Ronald dan Elis di telinganya.

Tapi kemudian Dusmini menggeleng-gelengkan kepalanya. Kesadarannya kembali. Di seberang sana ia melihat petugas penjaga pos perlintasan berdiri sambil melayang-layangkan lengannya. Lelaki paruh baya dengan kumis tebalnya yang bergerak-gerak ketika ia berteriak.

“Mundur … mundur!” teriak petugas itu.

Dusmini seperti melihat dirinya di tempat petugas itu. Berteriak-teriak memberi arahan kepada pengemudi yang panik di belakang setir.

“Mundur, Pak!” teriak petugas itu lagi. Sementara Dusmini mengepalkan tangannya. Dengan memercayai nalurinya, ia teringat perkataan Matias untuk maju dan melupakan semua yang telah lalu. “Keputusanmu itu bukan tanpa alasan, Dus. Beranilah karena hati. Lalu putuskan.” Nasihat sederhana dari ayah Ronald itu suatu hari.

Dusmini berlari beberapa langkah dan melewati palang. Di arah barat sana ia melihat kereta mendekat. Kemudian dengan sekuat tenaganya ia berlari ke arah kanan mobil, berusaha menarik perhatian sampai pengemudi itu melihat kedua matanya.

“Pak. Tenang. Coba nyalakan mesin.”

Mesin menyala. Tapi pengemudi itu masih panik. Ia berkomat-kamit sementara istri dan dua anaknya di belakang memasang muka bingung. Mereka balita dan tak tahu apa yang terjadi. Dusmini tersenyum kepada pengemudi, lalu menggerak-gerakkan tangannya memberi isyarat.

“Pak, Sekarang, masukkan gigi satu,” perintahnya dengan nada tenang. Ketenangan seperti itu ternyata berhasil. Pengemudi itu dengan lancar memasukkan gigi kendaraannya. Ia mengangguk lalu menancap gas. Ban berputar di penampang rel.

Sementara mobil itu berusaha lepas dari bantalan, petugas penjaga perlintasa berlari dan mendorong Dusmini.

“Apa yang kau lakukan! Ini bahaya. Mbak, mundur!”

Dusmini terjatuh ke kerikil.

Tiga puluh meter di belakang mereka, masinis kereta sudah mengeluarkan kepalanya dan mengangkat tangan melambai kencang. Rel berdesing dan mesin baja itu mendekat. Petugas pos berlari cepat kembali ke pintu jaganya setelah mendorong Dusmini yang telah terlempar ke sisi lain.

Mobil bergerak. Dan kereta melintas. Orang-orang berteriak.

***

Dusmini tak kuasa membuka matanya. Dunia ini seperti pengulangan, pikirnya. Mungkin karena itu bentuknya bulat sepreti lingkaran dalam anyaman-anyaman rotan yang ia rajut tiap hari di balik tembok penjara. Kehidupan adalah soal sebab-akibat, begitu yang diajarkan padanya. Meski kita senantiasa berusaha mengambil keputusan yang sepertinya adalah bisikan Tuhan, tak selalu hasilnya menjadi yang diinginkan, meski tetaplah adalah jalan Tuhan.

Di atas kerikil itu, Dusmini menangis.

Kereta melintas seperti lama sekali. Tapi ketika ujung belakang kereta itu lepas dan akhirnya  menghilang di kejauhan, ia sadar sesuatu. Keputusan Tuhan terhadapnya kali ini berbeda. Orang-orang bertepuk tangan dan sejenak lalu ia masih ingat terdengar bunyi besi beradu dan ban berderit.

Lalu ia merasakan lengannya diangkat. Tubuhnya dipapah. Punggungnya ditepuk-tepuk dan orang-orang berteriak syukur. Mobil itu berhasil lolos.

Di pintu pos perlintasan, petugas jaga berkumis itu menggeleng sambil tersenyum. Dengan penuh kekalahan dan pengakuan ia akhirnya bertepuk tangan, mengangguk tanda terima kasih saat cahaya matahari mengilapkan kumisnya.

Dusmini tak berhenti disalami pagi itu. Bahkan, sekeluarga yang tadi di mobil bus mini hitam, mengajaknya makan malam di rumah mereka yang tak jauh dari Puskesmas tempat Dusmini dulu bekerja.

Dusmini, perempuan mantan penjaga perlintasan kereta api itu, akhirnya percaya. Bahwa keputusannya di masa lalu tak selalu bisa menjadikan keputusannya hari ini salah. Dan untuk itu, ia berterima kasih kepada Tuhan.

Selesai.

*Untuk semua petugas jaga pos perlintasan kereta api.

Ilustrasi: wartajatim.blogspot.com.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun