Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kasus Sekolah Ryan dan Alya (6)

19 April 2012   16:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:24 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13345472051020446037

(Sebelumnya ....) Reza mengetuk tiga kali kemudian berdiri sambil memegang tangannya. Tentu saja ada keraguan di dalam hatinya karena ia harus melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya. Terlebih lagi, ia harus melakukan itu kepada orang yang ia anggap sahabat. Tak mudah membesarkan hati untuk melakukan sedikit pengorbanan, asalkan kebenaran terungkap. Nasihat Adam yang masih ingat itulah menjadi serbuh mesiu untuk lontaran proyektilnya sampai ia sudah berada di ambang pintu rumah Hartono, satu jam kemudian. Tiga kali mengetuk dan tidak ada jawaban. Di jalan depan, sudah terparkir sebuah mobil minivan perak yang tidak terkunci. Kaca yang dari luar nampak buram itu ternyata menjadi lensa yang baik bagi Adam yang menopang dagunya dengan tangan di kursi penumpang. Di sampingnya, Alina sibuk mengutak-atik telepon genggamnya. Pintu itu dibuka juga pada akhirnya, sesaat sebelum Reza benar-benar menyerah. Lantai yang disusun dari pecahan-pecahan kayu itu nampak sejuk ditumbuhi lumut halus di beberapa sudutnya. Saat tuan rumah akhirnya keluar, Reza mengangguk dan tersenyum. Rupanya nyonya rumah begitu ramah dan langsung menyapanya mempersilakan masuk. Reza sejekan melihat ke arah jendela mobil lalu akhirnya menolak dengan halus. "Saya hanya ingin bicara dengan bapak sebentar. Bagaimana keadaannya?" Lalu dari dalam rumah keluar Hartono dengan langkah tertatih. Melihat sahabatnya itu datang, ia langsung memegang bagian dadanya dan terbatuk beberapa kali. Reza maklum dan lalu menyalami tuan rumah itu penuh hormat. Setelah dipersilakan masuk, sang tamu itu menggerak-gerakkan kunci mobil yang ada di tangannya kemudian melihat ke arah jendela mobil sekali lagi. Di dalam mobil, Alina menyenggol lengan Adam yang kemudian tersadar. Tapi detektif itu mengisyaratkan agar mereka menunggu beberapa detik sebelum bertindak. Teh hangat disuguhkan. Rumah itu nampak sepi meski memang sebenarnya pengaturan tata letak ruang tamunya cukup lapang. Hanya ada enam kursi yang terbuat dari kayu pilihan berukir khas Jepara. Sebuah tangga melengkung yang juga terbuat dari kayu, menanjak landai dan cukup lebar hingga ke lantai dua yang berada nyaris di atas tempat tamu itu duduk. Ditambah sebuah lampu gantung peninggalan Majapahit yang diisi empat bohlam lilin berwarna putih. Tuan rumah duduk di kursi bersandaran landai yang sepertinya sangat privat. "Terima kasih, Reza. Sudah mau kemari. Tadi katanya kamu ke rumah sakit ya? Reza mengangguk kemudian menyeruput teh dari meja. Ia hanya tersenyum menutupi kegugupannya. "Saya baru saja keluar siang ini, baru sekitar dua jam yang lalu. Rencananya saya mau ke sekolah sekarang, cuma karena Pak Reza datang, saya bisa tunda dulu." Reza memohon maaf sekaligus berterima kasih. Hartono orang yang bertutur sopan. Nada suaranya stabil lebih disebabkan oleh kepalanya yang mulai botak di bagian depan. Orang-orang yang sepintas dinilai sebagai pemikir keras biasanya tak terlalu berapi-api saat bicara. Giginya putih teratur dan kumis tipisnya seperti menegaskan jiwa kelakiannya meski badannya agak ringkih. Kemeja tipis yang tidak dikancing lengkap dan celana panjang kain kasar berwarna pasir seperti sudah sepadan dengan seragam bekerjanya, meski itu adalah pakaian sehari-hari di rumah. "Oh, dengar-dengar Ryan dan Alya sudah ditemukan pagi ini ya?" "Iya, betul Pak. Tadi pagi. Habibi yang menemukan, katanya." Reza menjawab dengan menyebutkan nama petugas kebersihan sekolah. "O... syukurlah. Karena sejujurnya, tadi malam itu. Saya juga agak salah. Mestinya tidak melibatkan kedua anak itu dalam permainan kecil saya." "Permainan kecil apa ya, Pak?" Reza yang terkejut kemudian memburu dengan pertanyaan. Hartono tertawa seperti menepis rasa heran sahabatnya itu. "Hanya tipuan kecil. Sebetulnya untuk mengerjai Annisa si ketua kelas. Hari ini dia ulang tahun. Ryan dan Alya itu yang jadi umpan." Kemudian terdengar langkah berat dari arah pintu. Disusul bunyi hak sepatu yang berdetak beraturan. Terdengar pula suara tombol ditekan dari balik kain. "Benarkah itu hanya tipuan kecil, Pak Hartono?" Suara itu mengejutkan tuan rumah. Dalam beberapa detik Adam sudah berada di depan mereka, berdiri sambil memasukkan dua tangannya ke saku celana. Reza lalu menyodorkan sebuah telepon pintar kepada Adam, yang lalu dimasukkan ke tas oleh Alina. "Siapa kalian?" tanya tuan rumah. Adam lalu mengeluarkan tangannya dan menyodorkan kepada Hartono, namun tak bersambut. Saat menarik tangannya kembali ke dalam saku celana, ia tersenyum dan berkata, "Sepertinya Anda begitu defensif, Pak Hartono. Sudah sembuh?" Hartono masih terheran-heran. Ia merasa seperti diserbu secara tiba-tiba dengan keadaan yang tidak menyenangkan. Di rumahnya, ia seperti dikurung di dalam sangkar yang membuat gatal seluruh badan. "Apa maksudnya ini? Tentu saja saya sudah sembuh. Siapa kalian?" Ia lalu bangkit. "Pak Reza, apa-apaan ini?" Reza berusaha menjelaskan namun Adam mencegahnya. Investigator itu kemudian menahan pundak Hartono dan memintanya untuk duduk kembali. Dari arah dapur juga sudah berjalan cepat nyonya rumah yang siap dengan telepon genggam di tangannya. "Anda belum perlu menelepon polisi, Bu," kata Adam sambil tersenyum. "Saya Adam Yafrizal, investigator pribadi. Ini Alina istri, mantan istri saya. Kami di sini hanya ingin bertanya soal menghilangnya dua siswa SMAN 1 Depok dalam acara lepas tahun tadi malam. Yang, secara menarik, bersamaan dengan pingsannya Pak Hartono di dalam kelas. Apakah dada Anda baik-baik saja, Pak?" Adam lalu menunjuk ke arah Hartono yang seperti diserang tak berhenti. Tuan rumah itu kembali memegang dadanya. "Sakit dada tidak akan berimbas pada mulut berbusa, Pak. Anda bisa tanyakan kepada semua dokter. Busa yang keluar dari mulut itu berasal dari dua, sistem pencernaan dan sistem pengeluaran. Lambung usus, ataukah hati pankreas. Dada Anda baik-baik saja." Adam menebak sambil tersenyum. Ia kemudian menunjuk foto bergantung di dinding belakang tuan rumah itu menatap tajam. Foto dengan sosok gadis muda yang mengenakan jas putih dan stetoskop. "Anda bisa tanyakan itu kepada putri Anda. Saya kira dia lebih tahu." Lalu Hartono nampak lemas. Tangannya tak lagi di dada. Kini ia terjatuh di kursi dan pandangannya terjatuh melihat bidang meja kaca, seperti tak melihat siapa-siapa. "Anda ini seperti detektif, Pak Adam. Dengan santainya bisa menebak semuanya." Hartono berkata lirih. Suasana menjadi lebih tenang sesaat. Nyonya rumah itu pun rupanya sudah lupa menekan nomor polisi lewat telepon genggamnya. Rasa penasaran dan tanda tanya besar terhadap apa yang dilihatnya dan apa yang sesungguhnya terjadi lebih menarik perhatiannya. Ia kemudian mengambil posisi di kursi dekat pintu menuju ruang keluarga. Tuan rumah itu tersenyum. Adam yang sejenak sudah duduk di sofa lainnya melihat dengan waspada. Semua hal bisa terjadi tiba-tiba, dan ia tak mau kelengahan mengalahkannya. Hartono nampak lemah dari luar, namun tangannya tak bisa berhenti bergerak. Gelang kayu yang terlilit di pergelangan kanan itu selalu menarik perhatian. Sama seperti kalung berwarna emas yang melingkar di lehernya. "Saya memang berpura-pura pingsan .... Saya akui." Hartono lalu menjelaskan dengan tenang. "Tapi tetap saja, Pak Adam, Pak Reza. Anda tidak bisa menjerat saya dalam hal apapun. Kejadiannya sudah lewat. Kalaupun Anda merekam pengakuan saya ini dan para guru di sekolam mendengarnya. Mereka akan maklum dan malah tertawa, karena saya berhasil mengerjai mereka dengan telak." Tuan rumah itu tertawa penuh kemenangan. Sementara di sampingnya, Reza sudah menggeram dengan telapak tangan mengepal. Adam yang menyaksikan perubahan sikap itu lalu berdeham. "Kita semua di sini memang bisa tenang, saya yakin itu. Pak Reza pasti kecewa karena Anda melibatkan anaknya dalam permainan konyol yang mereka tidak sadari. Tapi ...," katanya lagi. "Apa yang sesungguhnya Anda lakukan atas sahabat Anda ini, sungguh keterlaluan. Sesuatu yang sulit dipercaya, sebuah alasan yang tak bisa diterima oleh akal sehat. Dan Anda ternyata benar melakukannya." "Alasan lain? Saya tidak mengerti maksud Anda. Sudahlah. Anda jangan macam-macam. Saya sudah mengakui permainan kecil saya dan saya mengakui telah melibatkan Ryan dan Alya. Tapi tuduhan Anda terkait alasan tersembunyi itu terlalu melebih-lebihkan!" Adam melawan bentakan itu dengan senyuman. Kedua tangannya ditopang menutupi bibirnya. Ia menunduk sejenak kemudian mengangkat wajah sambil berkata, "Anda melakukan ini, tidak ada kaitannya sama sekali dengan sekolah, ketua kelas, atau apapun." Hartono terhentak. "Bahkan Ryan dan Alya hanya pion, agar mereka ditemukan dalam keadaan yang kurang mengenakkan di dalam toilet, dan agar Pak Reza,  orang tua Alya, dan juga sahabat Anda, ini, malu di depan guru. Saya yakin, setelah rencana Anda ini berhasil, Anda akan menyebarkan cerita-cerita yang menurut Anda seru ini, kepada tetangga. Dalam lingkungan yang seperti sekarang, sangat mudah membalikkan nama baik seseorang, bahkan dengan memanfaatkan nama anaknya di sekolah." Reza seketika berdiri. "Apa! Jadi benar?" Tapi Hartono menggeleng sambil tertawa. Tawanya lepas sampai terdengar seisi rumah. Ia lalu memegang perut saat ia nyaris lebih mirip seperti orang menangis daripada tertawa. Melihat reaksi yang aneh itu, Reza mengatur napasnya. Adam berusaha terus menenangkan keduanya, sementara Alina hanya bersiaga jika sewaktu-waktu keadaan berubah. "Anda bisa mengelak di hadapan kami, Pak Hartono. " Adam menyerang lagi dengan pernyataan yang kini lebih tertata. "Tapi tidak di depan guru-guru, dan di depan kedua anak itu. Saya yakin Anda tidak akan berani melihat wajah Ryan dan Alya jika Anda dihadapkan pada situasi yang sama sekali lagi. "Situasi yang sama bagaimana? Anda mau memperpanjang perkara?" "Hanya situasi yang sama. Situasi persis bagaimana trik kecil Anda bekerja dari awal sampai akhir. Bagaimana Anda menghilangkan kedua anak itu dari dalam kelas, dan bagaimana mereka bisa menjadi tumbal atas rencana jahat Anda. Itu, kalau Anda masih tidak percaya kami." "Tentu saja saya tidak percaya. Sudah saya katakan semua yang perlu saya katakan dan akui. Tidak ada lagi. Kalau perlu, saya akan bersaksi di depan kedua anak itu, dan di depan wakil kepala sekolah!" "Baguslah!" Adam berdiri sambil menepuk tangannya. Ia memancarkan wajah kemenangan karena sebagain rencananya sudah berhasil. Hartono hanya bisa melihat tamunya itu bersorak ketika ia sendiri merasa telah ceplos mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya ia katakan. "Memang beginilah keadilan, Pak Hartono. Dengan menghormati martabat Anda sebagai laki-laki. Dan, sebagai kepala rumah tangga yang bertanggung jawab atas istri dan anak perempuan yang cantik, Saya terima tantangan Anda untuk membuktikan Anda tidak bersalah." Hartono komat-kamit seperti mengumpat kepada dirinya sendiri, sementara istrinya hanya menggeleng dan menyampaikan dorongan. "Jam 18 sore ini. Di ruangan XIB, SMAN 1 Depok. Persis di tempat Anda terakhir kali dibawa dengan ambulan. Di sanalah kita akan buktikan, teori milik siapa yang benar-benar bisa diterima." Adam lalu menarik lengan Reza lalu mengangguk kepada nyonya rumah. "Baiklah, karena janji telah dibuat. Semoga Pak Hartono cukup jantan untuk menepatinya. Kami akan menunggu tepat di sana untuk Anda. Dan bila perlu, Anda siapkan bala bantuan siapapun yang menurut Anda bisa menyelamatkan pendapat Anda atas semua ini. Kami permisi dulu, selamat siang." Rumah itu ditinggalkan dalam keheningan yang bercampur emosi. Burung-burung dalam sangkar yang menggantung di halaman depan bahkan tak berani menyahut ketika Reza melintas keluar dan sejurus kemudian mobil itu menjauh kembali ke lalu lintas kota. Hartono saling pandang dengan istrinya. Sesuatu yang besar, harus dibuktikan dengan cara yang paling berani. (Selanjutnya ...)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun