Mohon tunggu...
Fandi Sido
Fandi Sido Mohon Tunggu... swasta/hobi -

Humaniora dan Fiksiana mestinya dua hal yang bergumul, bercinta, dan kawin. | @FandiSido

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kasus Sekolah Ryan dan Alya (2)

17 April 2012   03:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:32 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13345472051020446037

(Sebelumnya ....)

Selama di sepeda motornya beberapa kali ia melirik kaca spion. Seperti ada yang membuntuti namun tak terlihat secara pasti. Perasaan sering kali memang datang tiba-tiba mengikuti naluri yang membisikkan ada sesuatu.

Adam mempercepat langkahnya ketika mendekati sekolah itu. SMAN 1 Depok ternyata tidak semegah pikirannya. Cukup luas memang, tapi naungan dua pohon mangga di dekat gerbang utama sekolah itu membuyarkan kesan rapi dalam sekejap. Kekuatan kompleks berbiaya cukup mahal itu diselamatkan oleh kubah masjid kecil yang nampak menyembul dari sela-sela atap bangunan laboratorium. Barulah ketika ia melihat dari jauh seorang petugas satpam yang tersenyum sambil memegang gerbang siap membukakan untuknya, ia merasa lebih baik. Belum sempat ia memasuki garis ambang, ia sudah dikejutkan dengan suara panggilan dari belakang. Panggilan itu, lama sekali tak ia dengar. Ia berhenti seketika. Perasaannya tidak enak, namun bibirnya tiba-tiba tersenyum, mengatur napas, kemudian berbalik menyambut seseorang itu.

Alina ….”

Adam mengguratkan senyuman kering. Sepintas sulit ditebak perasaan yang sebenarnya terlukis di dalam hatinya. Perempuan itu berdiri tegak sambil tangan kanannya menggerak-gerakkan tali tas jinjing yang memantulkan cahaya matahari pagi. Celana panjang rapi sewarna mahoni membuat sosok itu nampak lebih tinggi dan membangkitkan kekuasaan kekaisaran yang telah lama mati suri. Bibirnya juga melipat seperti sepasang kekasih dengan matanya yang menyorot tajam. Adam tak bisa menahan senyum melihat sosok yang seperti tiba-tiba menyesakkan ruang pikirannya hingga tak tersisa itu. Ia seperti merasakan angin tiba-tiba datang kemudian menggiling debu-debu serta daun-daun basah masuk ke rongga tenggorokan sehingga tak bisa bicara.

"Kamu lupa?" kata Alina.

Adam tak membalas pertanyaan itu dengan jawaban verbal, melainkan mengernyitkan dahi dan pandangannya meraba-raba ubun-ubun perempuan yang datang tiba-tiba itu. Ia telusuri dengan setengah kagum dan setengah takut setiap seluk beluk tubuh Alina. Tak berkedip, tak tersenyum lagi.

"Adam!"

Pria itu tersentak. Tubuhnya sontak tegak seperti baru saja mendapatkan kembali rohnya.

"Ya? Ah .... Itu .... Iya."

"Iya apa!" Pertanyaan kedua itu lebih gesit. Beberapa logam ringan yang menempel di tas itu berdenting menghasilkan bunyi yang menakutkan. Sementara satpam penjaga gerbang merapikan topinya karena merasakan dirinya tiba-tiba berada di dalam arena pertarungan gladiator dengan seekor domba kecil.

Setelah diam beberapa detik dan angin berhembus lebih lembut, akhirnya Adam mengangkat telunjuk. Seperti bohlam ide tiba-tiba tertelan masuk ke otaknya. Alina mengangkat kedua tangannya ke pinggang, menunggu.

"Sky Dining?" Adam menebak sekenanya. Ia mengambil jawaban yang ia rasa paling aman. Sebuah makan malam di atap gedung tinggi menghadap ke Stasiun Lempuyangan selalu menjadi alat canggih baginya dalam melunakkan hati seseorang.

Tapi Alina justru lemas. Tangannya jatuh dan tali tas hampir terlepas. "Tidak ada harapan," lirihnya kepada diri sendiri. Adam menurunkan telunjuknya, justru merasakan akan ada badai yang lebih besar, bahkan mungkin petir  yang meraung-raung. Sebuah keheningan atau tanda menyerah dari Alina bukanlah pertanda baik, berdasarkan banyak pengalamannya.

Alina melangkah duluan ke dalam sekolah, melewati satpam dengan bibir pucat tanpa sepatah sapaanpun, lalu menyuruh sopirnya yang menunggu di samping mobil SUV dekat jalan untuk pulang. Adam yang baru bisa membalikkan badan setelah perempuan itu lewat malah harus menyadari kelemahannya di depan seorang perempuan. Yang, membuat satpam terheran-heran. Petugas jaga itu sempat menimbang-nimbang apakah benar ini investigator hebat yang dikabarkan akan mendatangi sekolah itu.

"Alina. Tunggu. Mau apa kamu kemari?"

Lalu perempuan itu menghentikan langkahnya juga. Kerikil-kerikil dan beberapa batu kecil bulat di jalan setapak sekolah itu tiba-tiba bergeming. Namun energi besar melingkupi sekelilingnya. Adam membayangkan hal aneh, ketika matanya melihat batu-batu kecil itu mulai melayang dengan bara api yang membakarnya. Kemudian ketika Alina membalik badan untuk kedua kalinya, barulah Adam mendapatkan kejelasan yang meruntuhkan otaknya hingga ke dasar kaki.

"Kamu lupa tanggal pernikahan kita! Keterlaluan!"

Adam tak bisa berkata apa-apa. Ia melihat ke arah empat guru yang menyambutnya, namun ia tak bisa tersenyum, justru berusaha menggamat tangan Alina yang lagi-lagi lepas dengan mudah dan kuatnya.

"Maaf. Tapi kukira ...."

"Kamu kira apa? Kamu kira .... kalau kita sudah bercerai, kamu bisa lepas begitu saja? Kamu pikir aku akan melupakan semuanya? Tidak. Enak saja!"

Adam memegangi kepalanya. "Kita bisa bicarakan di tempatku nanti, setelah ini. Jangan di sini ya, sayang ...."

Alina menggeleng sambil berbisik. "Enak saja sayang!" kemudian dalam hati ia menggerutu. "Bisa-bisanya ia lupa. Padahal tahun lalu masih ingat, entah apa yang terjadi padanya setahun terakhir. Atau mungkin justru ia lebih ingat tanggal perceraian? Sungguh terlalu. Seperti pengangguran saja ...." Lantas dalam langkahnya perempuan itu menggeleng-geleng sendiri, membuat heran semua orang yang memperhatikannya.

"Alina. Alina. Bisa kita bicara sebentar?"

Adam mengangguk hormat kepada para guru dan petinggi sekolah ketika tiba-tiba menarik tangan mantan istrinya itu ke tanah kosong di antara dua gedung kelas. Beberapa siswa yang sedang rehat belajar juga mengintip dengan penasaran. Beberapa di antara mereka berpikir ada tim pengawas, sebagian lain mengira ada perkelahian antarkelas, sementara beberapa siswa menyeletuk bahwa yang datang hanyalah penjual kaos kaki yang berdebat soal harga dengan guru matematika.

"Alina. Aku minta maaf. Harusnya aku ingat."

Perempuan itu melipat bibirnya sembari memeluk dada. Ia kini tak bicara. Di mata laki-laki, sikap seperti inilah yang paling membutuhkan waktu banyak agar perempuan kembali normal, atau minimal, mau berbicara.

"Aku diminta kemari oleh Pak Reza," kata mantan suami itu akhirnya menjelaskan. "... tetangga kontrakan yang orangnya baik sekali itu. Anaknya, Alya, siswi di sini, menghilang sejak semalam. Hilang secara misterius. Sementara seorang guru ada yang nyaris meninggal di ruang kelas yang sebelah itu. Aku diminta datang menyelidiki kehilangan Alya, dan mungkin, bisa sedikit membantu masalah yang terjadi di sekolah ini. Ini, soal anak seseorang, Alina. Alya sangat penting bagi Pak Reza itulah kenapa ..." Kata-kata Adam berhenti di situ. Tangannya terlepas dari lengan mantan istrinya ketika ia seperti berpikir sendiri.

"Itulah kenapa aku tak bisa membiarkan sesuatu terjadi kepada anak seseorang. Aku pernah menangani kasus kematian seorang anak perempuan dan penyesalan mendalam yang dialami ayahnya. Aku tidak ingin itu terjadi lagi." Ia terdiam lagi selama beberapa detik. "Lagipula ...., aku baru ingin belajar memahami rasa menjadi seorang ayah. Sesuatu yang belum pernah aku rasakan."

Mereka berdua kemudian hening. Alina mengangkat wajahnya ketika bibirnya sudah lebih rileks. Ia juga menurunkan kedua lengan kemudian balik memegang tangan Adam.

"Oh Adam ..., please jangan mulai lagi."

"Aku minta maaf. Seharusnya aku bisa menjagamu lebih baik dulu."

Alina menggeleng. Para guru yang memperhatikan dibuat terheran-heran oleh pertemuan yang tak disangka itu. Dua guru perempuan yang mengenakan kerudung rapat nampak lebih bisa mengerti, ketika seorang guru yang mengenakan kopiah justru memilih pergi.

"Sekarang, mungkin memang waktu yang tepat kamu berada di sini. Kalau kamu tidak keberatan, aku janji bakal selesaikan kasus ini hari ini juga, kemudian kita bisa pergi berdua sampai malam,' kata Adam mantap. Sedikit senyuman berhasil ia tangkap dari sudut bibir Alina. Pertanda baik.

"Baiklah! Bapak-bapak dan Ibu-ibu. Saya di sini untuk membantu kalian. Kita harus bisa menemukan Alya pagi ini. Kemudian menyelesaikan masalah di sekolah ini." Adam sontak mengubah gaya bicaranya menjadi berapi-api. Alina hanya bisa menggeleng mengingat betapa mudahnya mantan suaminya itu membalik pikiran juga perasaannya.

Adam kembali mengangkat senyuman khasnya. Namun, tiga guru yang berdiri di dekat lapangan voli itu justru terheran-heran melihat laki-laki paruh baya yang menepuk-nepukkan tangannya itu.

"Maaf, Pak," kata salah seorang guru perempuan yang kelihatan paling muda.

"Sebetulnya, Alya sudah kami temukan. Begitu pula Ryan." Guru itu menaruh tangannya dalam posisi saling memijit. Wajahnya menunduk seperti merasa tidak enak mengatakan hal itu.

"Apa?" Adam terkejut. Alina sama herannya ketika mereka kemudian saling memandang.

(Selanjutnya ...)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun