Suatu pagi, atasan saya mengirim sebuah video pendek ke grup WhatsApp, inti dari isi video tersebut adalah kita harus bersyukur punya pekerjaan apapun itu, sebab orang lain juga ingin di posisi kita. Tapi, saya malah bingung, kenapa kita harus bersyukur dengan pekerjaan yang dimiliki tetapi tetap pasrah ketika diperlakukan tidak adil dan dieksploitasi.
Biar saya ceritakan dulu, di tempat kerja saya, pabrik air mineral dalam kemasan yang ada manis-manisnya, karyawan dituntut untuk lembur di tanggal merah dan hari Minggu. Karena kekurangan karyawan, bahkan untuk minta libur di hari Minggu pun harus izin terlebih dahulu, padahal itu adalah hak karyawan yang tertera dalam kontrak. UU Ketenagakerjaan juga menyebutkan, sekurang-kurangnya karyawan diberi hak libur atau istirahat satu hari dalam sepekan.
Jika hak libur pun harus dirampas, apa yang patut kita syukuri? Boleh lah kita bersyukur bahwa tidak menjadi seorang pengangguran, tapi jika kita terus dieksploitasi seperti itu, bagaimana kita bisa menikmati hasil kerja kita? Bagi saya, kata bersyukur itu seolah menjadi pembenaran atas sistem kerja yang amburadul di zaman sekarang.
Suatu ketika, saya meminta izin untuk libur di hari Minggu dan Senin, sebab Seninnya itu ada tanggal merah, Hari Raya Waisak. Jelas, hari Minggu adalah hal karyawan, sementara Senin boleh lah masuk buat lembur. Kalau libur mingguan merupakan hak, kenapa kita harus meminta izin untuk mendapatkan hak itu? Lagi-lagi saya kebingungan, sebab atasan saya kebingungan apakah harus mengizinkan saya atau tidak.
Manusia bekerja tidak hanya mencari uang, tetapi juga mencari makna dari kehidupan itu sendiri. Salah satunya adalah mengaktualisasikan diri sendiri dalam suatu bidang yang digelutinnya, setelahnya ya menjadi masyarakat pada umumnya. Di luar jam kerja, karyawan mungkin bisa berkuliah, ikut sertifikasi, atau sekadar menikmati kopi di hari Minggu. Jika hak-hak itu dirampas hanya karena ada uang lembur, rasanya hidup itu jadi terlalu dangkal kalau cuma dimaknai dengan uang lembur.
Rasa syukur yang dipanjatkan, bukan berarti harus membungkam rasa lelah, kecewa, atau marah. Saya yakin, para karyawan juga ada yang merasakan hal-hal tersebut ketika bekerja. Tidak sedikit juga yang mencibir atasannya di belakang, tetapi di depan tetap tunduk dan jadi yes man. Menurut saya itu yang menjadi akar ketoxican di dunia kerja. Penuh keterpaksaan.
Para pegawai yang merasa tereksploitasi dan diperlakukan tidak adil harusnya tetap menjaga kesadarannya sebagai manusia. Kita boleh merasa capek, tidak kuat, dan tetap bersyukur dengan cara masing-masing. Ada yang terus bertahan, menjaga harga diri, atau mencari jalan keluar untuk hidup yang lebih tenang dan sehat.
Kalau perusahaan sudah keterlaluan, misalnya menahan dan memotong gaji secara serampangan, memaksa lembur sepihak, tidak memberi tunjangan yang maksimal, menutut lebih banyak daripada memberi, itu sama dengan karyawan diperlakukan layaknya AI. Kalau AI salah kita bisa bebas memarahinya dan dia tetap bekerja sesuai apa yang kita inginkan, tidak merasa lelah, dan tidak memiliki perasaan. Kalau sudah begitu, disebut apa kita ini?
Bagi kalian para pekerja muda yang sedang struggling menghadapi dunia kerja yang keras, tetaplah jaga harga diri sebagai manusia. Jangan biarkan para kapital ini memperlakukan kalian lebih kasar daripada memperlakukan hewan peliharaan. Kalau sudah begini, memperlakukan anjing pun bisa lebih manusiawi daripada memperlakukan manusia itu sendiri. Sebab, pekerja dibayar atas pekerjaan yang dilakukan, bukan perasaan yang dikorbankan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI