Pemerintah ternyata pusing sendiri dan terlihat panik menangani Covid-19. Hingga saat ini tidak ada yang bisa memastikan kapan Covid-19 akan hengkang dari Indonesia. Masyarakat dihinggapi ketakutan dan ketidakpastian.
Malapetaka ini terjadi akibat sikap pemerintah yang terlalu menganggap remeh Covid-19. Pemerintah begitu percaya diri bahwa Covid-19 tidak akan masuk ke Tanah Air. Namun, begitu virus mematikan itu benar-benar masuk, pemerintah tidak siap mengantisipasinya. Akibatnya, Covid-19 menyebar begitu cepat.
Ketidaksiapan dalam menghadapi Covid-19 menyebabkan kebijakan pemerintah menjadi tidak fokus, lamban, sering berubah-ubah, dan cenderung plin-plan. Jokowi tidak berani mengambil kebijakan lockdown, karena butuh dana besar. Pemerintah tidak punya duit untuk memberi makan rakyat.
Akhirnya, dibuatlah jalan tengah melalui keputusan yang "nanggung". Dimulai dengan kebijakan social distancing atau jaga jarak, lalu phisycal distancing, kemudian Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Awalnya masyarakat diimbau tidak mudik, lalu berubah menjadi dibolehkan, namun diralat lagi. Mudik dilarang. Antara Menkes dan Menhub beda kebijakan. Menkes melarang ojek online (ojol) mengangkut penumpang. Sebaliknya, Menhub justru membolehkan.
PSBB pun tidak berlaku serempak. Bergantung pada kebutuhan masing-masing provinsi. Jika dirasa perlu, Gubernur bisa mengajukan permohonan pemberlakuan PSBB kepada Menteri Kesehatan.
Dengan PSBB, berbagai aktivitas se
rba dibatasi. Masyarakat diimbau untuk dirumah saja. Masyarakat dilarang mudik. Moda transportasi---selain sektor-sektor yang dikecualikan--dihentikan. Kebijakan PSBB ini pun memberikan konsekuensi yang signifikan. Perekonomian terpuruk, PHK di mana-mana.
Pada Kamis, 7 Mei 2020, Presiden Joko Widodo kembali membuat pernyataan yang membingungkan. Dia bilang "Kita harus hidup berdamai dengan Covid-19 untuk beberapa waktu ke depan."
Apa yang dimaksud Jokowi dengan "berdamai"? Maksudnya adalah, selama wabah masih terus ada, masyarakat diminta untuk tetap disiplin mematuhi protokol kesehatan. Masyarakat dipersilakan beraktivitas secara terbatas, tetapi harus disiplin dalam mematuhi protokol kesehatan. Artinya, masyarakat harus tetap bisa produktif di tengah pandemi Covid-19.
Dengan menggunakan diksi "berdamai", Jokowi  sepertinya memberi sinyal akan adanya pelonggaran PSBB. Dan ternyata benar. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengumumkan bahwa mulai 7 Mei 2020 semua moda angkutan, udara, kereta api, laut, bus, dapat kembali beroperasi dengan tetap menaati protokol kesehatan.
Pembukaan moda transportasi ini bersifat sporadis dan tanpa perhitungan. Buktinya, di bandara Soekarno-Hatta terjadi penumpukan penumpang karena ribetnya birokrasi bagi calon penumpang yang akan terbang. Banyak persyaratan yang harus dipenuhi, seperti harus ada surat tugas, harus ada keterangan bebas Covid-19, dan harus mengisi beberapa lembar formulir.
Pelonggaran PSBB makin kentara setelah pada Senin, 11 Mei 2020, Kepala BNPB yang juga Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Doni Monardo menginformasikan bahwa pemerintah mempersilahkan masyarakat berusia 45 tahun ke bawah untuk beraktivitas kembali. Tujuannya adalah, agar ada peningkatan aktivitas sosial dan ekonomi. Perusahaan juga bisa kembali beroperasi, sehingga diharapkan dapat meredam terjadinya PHK.
Mengapa hanya kelompok 45 tahun ke bawah yang diberikan kesempatan untuk beraktivitas kembali? Karena mereka dianggap memiliki kerentanan yang rendah terhadap Covid-19. Kalaupun terpapar virus, kelompok ini tidak gampang jatuh sakit. Kelompok ini, secara fisik sehat, mereka punya mobilitas yang tinggi. Kalaupun terpapar, mereka belum tentu sakit.
Sejumlah keputusan yang diambil dalam beberapa hari terakhir itu menunjukkan betapa gundahnya pemerintah dalam menangani Covid-19. Pemerintah benar-benar menghadapi persoalan yang teramat sangat dilematis. Seperti makan buah simalakama. Apakah ini tanda-tanda bahwa pemerintah sudah putus asa dalam menangani pandemi virus Corona di Tanah Air?