Mohon tunggu...
afri meldam
afri meldam Mohon Tunggu... Freelancer - penyuka jengkol, ikan segar, dan rempah

Lahir di sebuah desa kecil di pedalaman Sumatra. Menghabiskan masa kanak-kanak dengan mandi di sungai dan bermain lumpur di sawah. Mempunyai ikatan dengan ikan-ikan. Kini tinggal di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Tidore dan Aroma Cengkeh

7 November 2017   16:27 Diperbarui: 7 November 2017   16:31 1214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Soa-sio, Tidore, Maluku Utara/dokumentasi pribadi

Dari pelabuhan Bastiong di Ternate,saya menyebrang menggunakan kapal kayu menuju Tidore. Meski harus berbagi ruang dengan sepeda motor,saya lebih memilih kapal kayu ini karena ingin mendapatkan pengalaman yang lebih unik: duduk di ujung geladak; bercengkrama dengan penumpang lain; dan menikmati semilir angin negeri kepulauan.

Panas terik khas Maluku sudah tidak diragukan lagi. Tapi apa yang terhampar di hadapan saya sungguh membayar semuanya. Selain penorama ikonik pulau Maitara dan Tidore yang diabadikan dalam lembaran uang seribu rupiah,perjalanan singkat juga menghadirkan pesona bahari yang ciamik: sampan-sampan nelayan, burung laut yang berseliweran; dan kebisingan khas orang-orang pulau. Saya membayangkan, ratusan tahun yang lalu jalur penyebrangan ini tentu ramai sekali dengan kapal-kapal pengangkut cengkeh dan pala.

Romantisme sejarah memantik imaji saya untuk berkelana lebih jauh.

Suara bedil dan dentuman meriam tentu saja menjadi bagian dari sejarah pala dan cengkeh. Bahwa rempah-rempah dan darah seolah menjadi satu paket cerita yang harus dinukilkan. Pun tentang perseteruan antar kerajaan-kerajaan di kepulauan Maluku untuk menjadi penguasa tunggal penjualan pala dan cengkeh.

Begitu sampai di pelabuhan Tidore,saya dijemput oleh bapak Falilah,yang mengantar saya berkeliling pulau Tidore dengan sepeda motornya. Dari beliau saya mendengar sisi lain tentang sejarah kesultanan Tidore.

Cengkeh dan pala masih menjadi komoditi andalan di Tidore sampai hari ini. Di sepanjang jalan menuju pusat kota Tidore Kepulauan,berjejer tikar dan terpal yang digunakan untuk menjemur cengkeh. Lalu lintas kendaraan di kota Tidore memang sepi,sehingga sisi jalan yang "diserobot" untuk menjemur cengkeh tidak jadi masalah sama sekali.

Hampir setengah jam perjalanan dengan sepeda motor,kami akhirnya sampai di Soa-sio,pusat "kota" Tidore,yang menjadi basis Kesultanan Tidore. Di sinilah kita bisa menjumpai Kedaton (kediaman sultan),masjid-masjid kerajaan,dan benteng-benteng peninggalan Portugis. Jika Ternate terkenal dengan kemasyuran Sultan Baabullah,maka di Tidore ada Sultan Nuku.

Sultan Nuku dikenang dengan penuh puja-puji oleh masyarakat Tidore. Kebesaran sang sultan terus harum sampai hari ini. Saya tentu saja pernah membaca versi sejarah lain mengenai Kesultanan Tidore,namun sebagai seorang pengunjung yang baik,saya hanya bertanya tentang kenapa Tidore,Ternate,Bacan dan Jailolo yang bersaudara pernah terpecah belah pada masa kedatangan imperium Eropa. Pak Faalilah hanya menjawab singkat: "Orang Eropa licik,Mas."

Di Soa-sio saya sebenarnya ingin menunaikan solat Zuhur di Sigi Kolano (masjid Sultan),tapi ternyata gerbangnya ditutup. Kami lalu melipir sebentar ke kompelks Kedaton di arah belakang masjid,yang ternyata juga sedang tidak dibuka - entah karena alasan apa. Saya juga tidak terlalu tertarik,mengingat bangunan Kedaton sudah tidak dalam bentuk aslinya lagi. Atapnya saja berwarna biru - entah atas pertimbangan apa.

Tidore adalah Kota Sejuta Masjid. Di setiap dua ratus meter Anda akan menjumpai sebuah masjid,dengan berbagai bentuk dan ukuran. Namun yang paling umum adalah masjid dengan bentuk atap bertumpuk dengan puncak lancip; tempat berwudhu di bagian samping depan masjid; dan sebuah gapura dengan arsitektur yang hampir menyerupai bagunan masjid. Gapura menjadi titik awal jejeran anak tangga menuju ruang masjid.

Saya solat di salah satu masjid itu. Saya lupa namanya. Posisi bangunannya cukup tinggi,dengan beberapa anak tangga. Saya mengambil wudhu dari sebuah bak pualam di depan masjid,lalu menunaikan solat. Sendirian. Sementara Pak Faalilah menunggu di luar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun