Mohon tunggu...
Sitha Afril
Sitha Afril Mohon Tunggu... Freelancer - Student of Master Degree - Diponegoro University

Saya hanya seorang pembelajar yang terkadang "absurd" dalam menyikapi fenomena di sekitar. Jadi, jangan terkejut jika tulisan-tulisan saya pun "absurd", he-he!

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Sebuah Catatan dari "Korban SNMPTN" untuk Pejuang PTN

1 Januari 2022   23:56 Diperbarui: 3 Januari 2022   13:45 977
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi SNMPTN (sumber: KOMPAS via kompas.com)

Sejak masuk bulan dua belas, linimasa berbagai media sosial telah dihiasi oleh takarir yang mengandung semangat dan harapan para pejuang PTN 2022. 

Lumrah, sebab, hampir di setiap penghujung tahun adalah waktu yang paling dinanti para siswa kelas XII untuk memastikan status "kepantasan", dalam seleksi masuk perguruan tinggi jalur undangan atau yang lebih dikenal dengan istilah SNMPTN. 

Jalur yang dibebankan pada nilai rapor dan prestasi penunjang ini tentu banyak diminati oleh kalangan pelajar karena berbagai keuntungan yang cukup menggiurkan. 

Sebagai salah satu penerima kesempatan berkuliah dari jalur SNMPTN dan berhasil merebut satu kursi di PTN bergengsi, saya tidak akan menyoroti "keuntungan" yang saya terima karena jujur, di tahun 2014 saya merasa "sial" saat dinyatakan lolos dalam seleksi tersebut.

Namun, sebelum saya menceritakan pengalaman tersebut dalam tulisan ini, saya akan menekankan bahwa pada dasarnya "untung" dan "rugi" dari setiap hal yang kita terima adalah penilaian yang subjektif. 


Bisa jadi, orang lain menganggap bahwa diterima di jalur SNMPTN adalah sebuah kebanggaan yang dilimpahi berbagai keuntungan. 

Namun, tidak sedikit juga yang merasa sial karena salah jurusan, salah universitas, dan berbagai alasan yang bergantung pada preferensi masing-masing. 

Jadi, tidak ada yang salah dari setiap anggapan atau penilaian seseorang terhadap takdir yang diterimanya karena, setiap orang bebas memberikan justifikasi terhadap apapun dari sudut pandanganya masing-masing.

Kembali pada topik SNMPTN yang pasti akan menjadi penghias linimasa untuk beberapa bulan ke depan, maka saya akan memulai cerita ini dari "harapan" saya yang ingin menjadi seorang engineer. 

Lebih tepatnya seorang ahli di bidang wilayah dan tata kota karena saya pun tercatat sebagai siswa di jurusan IPA saat SMA. Jadi, bukan hal yang aneh jika saya berkeinginan untuk masuk ke fakultas teknik di salah satu PTN terbaik Indonesia. 

Sebab, program studi yang saya incar linier dengan jurusan yang saya tekuni. Namun, takdir berkata lain. Ketika saya melihat warna hijau di laman pengumuman, hati saya hancur. 

Bukan berarti saya tidak bersyukur karena hijau tanda lolos, tapi, tertulis dengan jelas di laman tersebut bahwa saya diterima di pilihan kedua.

Lemas, bingung, sedih, semua bercampur jadi satu. Saya kesulitan merangkai kata untuk menjelaskan pada keluarga soal hasil dari pengumuman tersebut karena hampir seluruhnya berharap saya masuk di fakultas teknik. 

Benar saja, ketika saya sampai rumah dan bilang dengan jujur bahwa saya diterima di jurusan Sastra Indonesia, semua hanya menyambut dengan diam. Bukan kecewa, keluarga hanya turut merayakan kebingungan yang saya rasakan. 

Pasalnya, saya diterima di bidang kesusastraan murni, bukan pendidikan. Jadi, wajar jika kami semua bingung menyikapi hasil yang (awalnya) saya anggap sebagai sebuah kesialan.

Ya, saya menganggap kesempatan tersebut sebagai hal yang sial karena "mau-tidak mau", saya harus tetap daftar ulang karena konon, imbas dari siswa yang tidak mengambil kesempatan tersebut akan memasukkan sekolahnya dalam daftar hitam. 

Artinya, bersedia atau tidak, saya harus rela menjadi "tumbal" dari sistem yang mengancam status sekolah saya sendiri.

***

ilustrasi pribadi
ilustrasi pribadi

Singkat cerita, awal masuk kuliah saya benar-benar kesulitan beradaptasi karena 2 tahun saya dicekoki materi saintek dan kini harus berjibaku dengan ilmu kebahasaan yang asing. Tepat di pertengahan semester ganjil, saya hampir menyerah dan keluarga pun pasrah. 

Padahal saya sudah mencoba untuk mencari pelarian dengan mengikuti berbagai kegiatan mahasiswa. Hasil tetap zonk. Saya belum bisa menemukan kenyamanan dan ketenangan sampai tiba masa UAS, hingga akhirnya yudisium.

Tidak ada ekspektasi tinggi, saya pasrah karena selama perkuliahan berlangsung, saya pun mengikuti sebagaimana kewajiban yang harus saya jalani. Saya kehilangan jiwa kompetitif yang dulu terpelihara baik. 

Uniknya, saat semua nilai keluar, kartu hasil studi (KHS) menampilkan angka 3,8 dan seketika Mama saya berkata, "kok bisa?" dengan intonasi keterkejutan yang luar biasa.

Yaaaaa, jangankan orang tua dan keluarga, saya sendiri pun terheran-heran. Tidak berhenti di situ, saat masuk semester genap (II), saya pun mempersiapkan diri untuk ikut SBMPTN agar bisa kembali memperjuangkan prodi impian. 

Namun, lagi-lagi takdir berkata lain. Seraya alam dan Tuhan bersinergi untuk tidak mengizinkan saya ikut ujian karena jadwal yang berbarengan dengan agenda lain yang tidak dapat ditinggalkan.

Sedih? Jelas! Patah? Tentu!

Namun, dari alur yang pelik itu saya tersadar, pada akhirnya saya harus belajar menerima. Iya, perlahan saya belajar untuk menerima kenyataan bahwa apa yang saya terima di waktu itu adalah sebaik-baiknya jalan dari Tuhan. 

Saya yang sebelumnya menghardik Sang Maha Sutradara dengan bombardir pertanyaan berdiksi "mengapa", perlahan terfokus pada kata "bagaimana" agar bisa tetap melanjutkan perjalanan.

Akhirnya kini, saya paham kenapa Tuhan menempatkan saya di jurusan Sastra Indonesia. Iya, saya jadi mengerti bahwa Tuhan lebih memahami apa yang terbaik dan apa yang paling tepat. 

Sebab, setelah saya jalani, passion saya ada di bidang sosial humaniora. Saya baru bisa menyadari semua itu setelah berhasil melewati berbagai tantangan dari setiap kesempatan yang saya "trabas" dengan senjata kalimat, "Tuhan yang pimpin!"

Saya berhasil menjadi Mawapres Utama di Fakultas Ilmu Budaya (2017), terpilih menjadi juara di berbagai kompetisi, lulus dalam 3 tahun 10 bulan dengan predikat Cumlaude, dan sekarang tercatat sebagai mahasiswa aktif di jurusan Magister Ilmu Susastra. 

Kalau dirunut ulang, sepertinya berbagai pencapaian yang saya terima adalah sebuah kemustahilan bagi seorang mahasiswa yang notabene salah jurusan. Namun, kembali lagi, ketika kita berani abai pada kata "mengapa" dan tetap fokus pada "bagaimana", maka semua akan baik-baik saja.

Klise, ya?

Tapi, memang begitulah adanya. Saya adalah tumbal dari isu "blacklist" yang entah hoaks atau memang kenyataan dalam sistem SNMPTN 2014. 

Saya adalah orang yang sempat berpikir tertima sial, namun kini tersadar bahwa saya adalah seseorang yang terpilih untuk menjadi saksi dari kebaikan Tuhan melalui kerumitan alur hidup.

Intinya, tetap berfokus pada hal yang baik. Optimis itu harus, tapi jangan ambis! Berharap seperlunya, berusaha sekuatnya dan terima sepenuhnya! Sebab, apa yang kita rencanakan tidak selalu beriringan dengan apa yang Tuhan rancangkan. 

Namun, apa yang Tuhan rancangkan sudah pasti menjadi ketetapan terbaik bagi setiap manusia yang berani menerima ujian dengan jiwa ksatria.

Semangat para pejuang PTN!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun