Mohon tunggu...
Asep Fikri Nur Arif
Asep Fikri Nur Arif Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Kesejahteraan Sosial Fisip Unpad

Sedang belajar menulis, menganalisis, dan memecahkan permasalahan di masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Money

Akhir Pandemi Corona, Awal Perang Kita

11 Mei 2020   14:39 Diperbarui: 11 Mei 2020   14:47 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Unpredictable, tiba-tiba saja dunia ini digegerkan dengan penemuan virus baru yang dikatakan mirip dengan Virus SARS seperti dikutip dari CNN dan Aljazeera terdeteksi pertama kali di Wuhan, Tiongkok pada 31 Desember 2019, bahkan kasus yang identik sebelumnya dilaporkan sudah terjadi sejak pertengahan Desember2019. Seminggu kemudian pada 7 Januari 2020, virus tersebut diidentifikasi sebagai virus baru yang disebut dengan Virus Covid-19 oleh WHO. Virus ini awalnya berasal dari hewan, kemudian menular cepat antarmanusia melalui droplet. Dengan cepat virus ini menyebar ke seluruh dunia hingga ke Indonesia yang dikonfirmasi oleh Presiden Joko Widodo dan Menkes Terawan pada 2 Maret 2020 lalu.

Memang bukan hanya kita saja, karena pandemi virus corona yang ganas ini sudah meluas kurang lebih ke-213 negara (data 8 April 2020) dan berpotensi jumlahnya bertambah. Banyak perdebatan tentang bagaimana cara pemerintah Indonesia menangani hal ini, ada yang pro namun ada juga yang kontra. Dalam kesempatan kali ini kita harus benar-benar menganalisis dan melihat dengan jelas permasalahan apa yang seharusnya menjadi prioritas bersama dan masalah mana yang bisa dikesampingkan terlebih dahulu.

Dua aspek yang menjadi permasalahan utama disamping masalah kesehatan yang diakibatkan oleh virus corona ini adalah aspek sosial dan ekonomi. Seperti yang dikatakan oleh Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dalam podcast yang diterbitkan oleh Deddy Corbuzier "Masalah kesehatan berkepanjangan akan menghasilkan masalah ekonomi, seperti stock market dan nilai tukar juga mengganggu aktivitas yang berimbas terhadap pendapatan masyarakat. Jika economic impact tidak terkendali nantinya akan menimbulkan social problem."

Mari kita perjelas terlebih dahulu, atas nama kemanusiaan sudah semestinya kita bersepakat bahwa satu nyawa manusia lebih berharga dari nilai ekonomi sebesar apapun. Seperti yang dikatakan presiden Ghana, Nana Akufo-Addo yang menggugah rasa kemanusiaan kita "Kami tahu cara menghidupkan ekonomi, yang kami tidak tahu adalah cara menghidupkan kembali manusia." Dalam hal ini saya menyayangkan masih ada saja pejabat negeri ini yang menganggap bahwa korban belum mencapai jumlah 500 yang mana terhitung masih sedikit, walau pada konteksnya dibandingkan dengan Amerika Serikat. Bukankah seharusnya kita mengambil pembanding yang lebih baik agar semakin termotivasi? Korea atau Vietnam misalnya.

Hal ini bukan berarti ekonomi tidak penting sama sekali. Namun mari kita lihat dengan sudut pandang lebih luas, jika semakin banyak yang meninggal karena virus dan keadaan negara menjadi kacau apakah investor mau melanjutkan investasinya di Indonesia? Apakah tingkat kepercayaan mereka masih tetap? Saya kira kepercayaan negara lain dimasa akan datang untuk bekerjasama dengan Indonesia salah satunya tergantung dari bagaimana cara kita menyikapi pandemi ini. Kita harus rela untuk mengorbankan sektor ekonomi selama 2-3 atau paling lama 6 bulan di awal wabah ini untuk nantinya dapat recovery dengan cepat seperti yang dilakukan Tiongkok melalui pemerintah Wuhan.

Seperti pemaparan yang dijelaskan oleh Rizal Ramli dalam acara ILC pada hari Selasa 21 April 2020 lalu, "Jika respon kita untuk penanganan corona cepat dan tepat maka masa recovery kita juga akan cepat, hanya akan membutuhkan sekitar 3-6 bulan saja. Tetapi karena self-denial yang terjadi di antara para petinggi bangsa ini di awal masa pandemi, kita telah kehilangan 2,5 bulan berharga (Januari - Maret pertengahan) untuk melakukan upaya preventif, maka masa recovery kita diprediksi akan melambat diangka 12 - 18 bulan."

Berbagai indikator makro ekonomi seperti trade balance, current account, dan primary balance bahkan sebelum ada corona ini kita sudah menunjukkan bahwa kita sedang berada di ambang krisis, tetapi kenapa seolah-olah baik-baik saja? Alasannya karena di-pumping dengan pinjaman luar negeri. Faktanya kita mengalami pukulan yang cukup telak di bidang ekonomi ini, bahkan beberapa pekan lalu nilai tukar rupiah terhadap dolar mendekati angka Rp20.000,00.

Pada sektor mikro, masalah-masalah yang muncul adalah banyaknya PHK yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia, para pekerja harian seperti ojek online, pedagang asongan di jalanan dan sekolahan, tukang bangunan, dan banyak sektor pekerjaan masyarakat lain yang terganggu bahkan benar-benar lumpuh dikarenakan kebijakan physical distancing hingga PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar ) yang membatasi mobilitas hingga akhirnya berimbas kepada pendapatan masyarakat. Dari kesehatan meluas kepada sektor ekonomi, lantas stimulus apa yang diberikan pemerintah untuk merespon keadaan ekonomi masyarakat?

Dalam wawancara di Kompas TV Mentri Sosial RI, Juliari Batubara mengatakan pemerintah menyiapkan dana Rp405 Triliun dengan beberapa rincian seperti 110 Triliun untuk program pekerja sosial, peningkatan jumlah keluarga dan jumlah dana bantuan penerima PKH, kemudian pemberian sembako kepada 20 juta keluarga, peluncuran program kartu prakerja, diskon listrik bagi sebagian pelanggan PLN, hingga pengurangan kredit bunga bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Jika dilihat dari pemaparan data di atas, sepertinya pemerintah pusat sudah melakukan upaya maksimal. Namun apakah implementasinya sudah maksimal dan presisi di lapangan?

Selalu saja ada oknum yang memanfaatkan kesempatan untuk mengambil keuntungan dan memperkaya diri bahkan dalam keadaan seperti ini. Pemberian bantuan yang sudah dialokasikan oleh pemerintah nyatanya masih banyak yang presisi dan tepat sampai kepada masyarakat yang membutuhkan, terjadi kolusi dan korupsi sepanjang perjalanan anggaran dari pusat ke daerah, bahkan masih ada saja kesalahan dalam pembagian sembako dan jumlah tidak sesuai untuk bantuan tunai. 

Cara yang dilakukan pemerintah nampaknya kurang tepat seharusnya mereka menyalurkan secara langsung bantuan kepada warga melalui platform Bank BRI yang luas dan tersedia di seluruh Indonesia, setidaknya untuk mengurangi "potongan" sana-sini.

Dampak sosial yang disebabkan oleh fenomena ini adalah warga yang benar-benar membutuhkan tidak kebagian, lalu ada beberapa akibat yang ditimbulkan karena salah sasaran bantuan ini. Satu, meningkatnya angka kriminalitas. Sepekan terakhir saja sudah banyak saya lihat, banyak warga yang bekerja sebagai pegawai di bengkel, pemulung, hingga pedagang harian yang terpaksa mencuri beras, telur, atau ayam hanya untuk menyambung hidup. 

Lebi mirisnya lagi, ada warga yang sampai meinggal karena kelaparan di daerah Serang, Banten pada masa karantina ini. Walaupun memang di banyak daerah di Indonesia banyak warga yang saling membantu dengan membuka donasi dan lain sebagainya. Setidaknya hal-hal seperti ini dapat dihindari jika pemberian langsung diberikan dari pusat kepada penerima.

Kedua, stres yang berisiko dialami oleh tenaga medis, polisi, hingga masyarakat yang diharuskan diam di rumah saja. Adaptasi tidaklah mudah bagi setiap orang. Dokter, perawat dan polisi yang diharuskan berada di garis depan tentu berisiko mengalami tekanan psikologis karena harus berhadapan dengan pasien secara langsung. Begitu pula masyarakat yang harus menyesuaikan dirinya membatasi diri dengan berdiam diri di rumah.

Ketiga, banyak yang akan kehilangan pekerjaan PHK di mana-mana, dibarengi dengan krisis ekonomi yang semakin mengancam. Rasanya semakin bertubi-tubi saja dampak corona memukul kita dengan keras.

Peranan pekerja sosial pada masa pandemi ini sangat penting, saya kira sama pentingya dengan dokter, kita dapat membantu memberikan advokasi kepada masyarakat yang layak menerima bantuan untuk mendapatkan hak mereka. 

Tidak perlu besar dulu skalanya, mulai saja dari daerah tempat anda tinggal, bantu tetangga-tetangga anda yang membutuhkan, saling bahu-membahu satu sama lain. Kemudian, kita dapat menjadi "teman" bagi mereka yang berisiko tinggi terdampak stres akibat menjadi garda depan penganan corona, berikan support, semangat, dan motivasi agar semua dapat tetap menjalankan tugasnya masing-masing. 

Terakhir, kita bisa mengadakan pelatihan skill entah itu bertani, beternak maupun skill dalam penggunaan software komputer. Ya, memang sudah ada kartu prakerja. Tapi tidak ada salahnya bukan jika kita membantu mereka yang tidak terjangkau? Hal ini saya kira dapat memberikan secercah harapan bagi teman-teman yang terkena PHK di perusahaan tempatnya bekerja.

Bahaya laten yang akan menerjang kita di kemudian hari rasanya sama ganasnya dengan virus itu sendiri. Kemiskinan, pengangguran, dan tekanan psikologis jangka panjang di antaranya merupakan bahaya yang sedang mengintai kita di masa depan nanti.

Mari lakukan upaya preventif untuk menghadapinya dari sekarang agar tidak sengsara di kemudian hari. Belajar dari kesalahan adalah cara terbaik untuk menjadi lebih baik. Jangan sampai menganggap remeh dan mempermainkan lagi, efektifkan waktu yang kita miliki, efektifkan langkah-langkah yang diambil, fokus dan serius. Setidaknya setelah semua ini berakhir saya berharap bangsa kita mampu menjadi jauh lebih baik dan terintegrasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun