Berlagu dengan syair tentang sepi yang  kian menyesakkan dada, goresan bernari tiada henti menyusun diksi yang indah. Jangan bertanya mengapa setiap syair hanya bersenandungkan rindu, kecewa, sakit, luka, bahkan kesepian, karena aku pun bosan dengan kalimat yang tak luput dari hidup yang seolah dunia hanyalah tentang kesuraman. Lirik lagu bun, hidup berjalan seperti bajingan semakin membuat jiwaku kalut menyamai setiap kisah dan menggoreskan luka di atas kertas putih.
        Lautan biru yang terbentang luas di depan mata selalu beriuh seolah meneriaki air mata serta tatapan kosong yang mungkin lautan pun bosan menyaksikan. Penantian kapal berlalu lalang masih belum memberikan harapan. Lautan itu masih belum memberikan salah satu ciptaan tuhan yang turut berlabuh melewati pulau-pulau indah menuju Sulawesi Tenggara...
 Apakah udara  yang akan membawanya padaku?
            Sial, kertas itu sudah penuh dengan harapan yang kosong dan tiada berujung. Sejak pembukaan sampai ujung kertas masih saja tentang harapan dan luka. Tak ingin menunggu, namun ketakutan selalu menyergapku di kala kendaraan beroda dua-ku melaju dengan cepat melewati hutan-hutan hampir di setiap harinya. Kapan ketakutan ini hilang? Aku bosan mendengar orang-orang membisikkan pujian sebagai gadis pemberani.
            Lihat saja, bagaimana pohon-pohon rindang di sepanjang jalan bernari ke kanan dan ke kiri hanya untuk menghibur saat lelehan air mata siap meluncur dan dihapuskan oleh angin yang berhembus menerpa pipiku, ah apakah mungkin ia menyuruhku untuk tetap kuat?.Â
            Bolehkah hati manja ini berbahagia sedikit? Bolehkan laut membawakan seseorang padaku saat ini? Helaan nafas yang Panjang untuk kesekian kalinya memberikan rasa sabar mengingat dunia ini punya tuhan. Lantas kapan dan siapa yang membawakan seseorang untukku? Udarakah? Lautan? Atau daratan?.
            Penantian panjang di tepi laut hanya memberikan ketenangan tanpa hasil apapun. Hari, bulan, bahkan tahunpun berlalu dan laut mulai berhenti untuk beriuh, pohon-pohon rindang itu sudah tak bernari hingga angin yang berhembus sudah tak perduli apakah air mataku telah membanjiri kota besar ini, pada akhirnya Lelah menjadi titik untuk tidak lagi berharap.Â
Semakin berhenti berharap angin mulai memberikan hembusan lembutnya, langit mulai terlihat cantik dimataku. Sementara laut? Rasanya aku hanya akan memperburuk suasana hati untuk melihat laut yang pernah menjadi penenang untukku.
            Rupanya bukan laut yang membawakanku seseorang, lantas saja mereka hanya beriuh dan muak dengan keberadaanku yang hanya menjadi penyendiri di tepian pantai. Lantas saja ombak itu bergulung keras menuju ke arahku seolah mengusirku dan mengatakan "Disini bukan tempat harapanmu terwujud". Tetapi langit selalu mengajakku untuk terus bercengkrama dengannya, awan-awan putih dengan bentuk yang berbeda seolah seperti itu udara dan langit bersatu untuk menghiburku. Sekali lagi bukan laut yang membawakanku seseorang, rupanya udara membawakan sebuah pesawat dan mendarat lalu mempersilahkan pangeranku untuk bertemu denganku. Iyah, bertemu denganku. Lantas saja laut tak seramah itu padaku, karena udara pula yang membawaku pergi bersama menuju pulau lain, meninggalkan pulau yang telah berulang kali memupuskan harapan.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI