Mohon tunggu...
Afif Mutashim Rizqullah
Afif Mutashim Rizqullah Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Simple

Selanjutnya

Tutup

Film

Hukuman Ketidakadilan terhadap Rasisme pada Film Just Mercy (2019)

5 Januari 2023   00:45 Diperbarui: 5 Januari 2023   00:47 677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Film Just Mercy adalah film kisah nyata di Amerika yang rilis pada tahun 2019 dan disutradai oleh Destin Daniel Cretton. Film ini masih relavan sampai saat ini seperti setelah kampanye Black Live Matter kian keras karena serangkaian penembakan polisi terhadap warga kulit hitam di Amerika. Jadi dalam film ini menceritakan perjuangan seorang pengacara probono, bernama Bryan Stevenson, dari kelulusannya dari fakultas hukum Harvard dalam memperjuangkan keadilan terutama bagi warga kulit hitam yang terancam hukuman mati tanpa proses keadilan yang jelas.

Pengacara muda Bryan Stevenson duduk di ruang sidang. Dia tengah membela Johnny yang hampir dijatuhi hukuman mati atas tuduhan membunuh seorang perempuan berusia 18 tahun. Bryan yang mendapat gelar hukumnya dari Harvard memperjuangkan hidup Johnny. Sebab, ada bukti yang membuktikan dia tidak bersalah. Putra Walter, John juga berdiri dan memohon kepada hakim untuk tidak membuat vonis yang salah.

Setelah itu drama hukum tersebut berdasarkan kisah nyata pembelaan pengacara Stevenson terhadap Johnny. Sosok Johnny yang berasal dari keturunan Afrika-Amerika dituding membunuh perempuan kulit putih. Dan akhirnya pengacara itu bertekad akan melakukan apa saja untuk menyelamatkan hidup Walter.
Dalam perjalanan memperjuangkan kesetaraan di Amerika Serikat, Just Mercy juga pembawa penonton dalam petualangan emosional mulai dari awal kebingungan awal film kemudian menangis karena kisah sangat membuat sakit hati, dan setelah itu ditutup dengan harapan di akhir. Sebuah film Just Mercy ini penting untuk waktu kita tentang ketidakadilan ras dan kekejaman yang merupakan sistem keadilan kriminal Amerika Serikat dan sangat bergerak dan kuat.

Pada konsep terhadap sosiologi komunikasi, dalam fenomena film ini mengajarkan untuk para penonton dalam suatu media. Film Just Mercy ini khalayak dapat dilihat dari orang-orang menonton di bioskop atau streaming film, bisa kita lihat dengan memahami dan pandangan suatu menanggapi yang terjadi pada rasisme dan diskriminasi terhadap hukuman ketidakadilan ras di Amerika pada tahun 1989.

Fenomena-fenomena dalam film kisah nyata ini juga bisa dilihat orang-orang yang ingin menanggapi pendapatan dari film Just Mercy dengan respons positif dan negatif. Banyak terpengaruh orang-orang setelah nonton Just Mercy ingin mengetahui tentang hukuman ketidakadilan ras itu.

Minoritas dan mayoritas dalam film Just Mercy dapat dari pesan moral yang begitu kuat terkait ketidakadilan pada ras kulit hitam di Amerika Serikat. Meskipun jalan ceritanya cukup lambat dikarenakan ada banyak kasus sampingan yang diceritakan, serta menceritakan latar belakang terkait Walter dan Bryan, namun kamu tetap bisa menikmatinya dengan fokus, sehingga mampu mengambil pesan yang terkandung di dalamnya.

Dengan menonton film ini, kini kita tahu bahwa ketidakadilan ras kulit hitam di Amerika masih menjadi suatu permasalahan. Beruntungnya, saat itu Walter bertemu dengan Bryan, sehingga mampu memperjuangkan haknya agar terbebas dari hukuman yang tak adil.

Menambahkan elemen fiksi bisa berbahaya, seperti yang disarankan oleh kritik yang sering bahwa sutradara atau penulis "memanusiakan" penjahat, itulah sebabnya ini merupakan ujian seni yang berat. Sebaliknya, kehormatan dan rasa hormat yang diberikan kepada para pahlawan seperti Stevenson sering menghalangi perjuangan hidup mereka sehari-hari dan konflik dalam kehidupan batin mereka yang mereka atasi dalam pencarian keadilan yang setia. Pada bagian-bagian cerita juga berisiko mengalami distorsi yang parah, seperti karakterisasi aneh Clint Eastwood terhadap jurnalis Kathy Scruggs (Olivia Wilde) dalam “Richard Jewell”. Namun justru dengan menghadapi risiko seperti itu secara bertanggung jawab dan bijaksana dan mengatasinya untuk menciptakan drama yang lebih luas dan lebih kompleks film yang kuat dan vital seperti "Just Mercy" dapat bergerak ke garis depan wacana politik Amerika.

Terhadap pada budaya populer di film Just Mercy yaitu terutama rasisme, terjadi di film ini dengan adanya hakim ketidakadilan terhadap warga kulit hitam yang tidak seharusnya dapat hukuman mati ketika mereka tidak bersalah.

Kekuatan terbesar Just Mercy sebagai sebuah film adalah kisah aslinya, dan sang sutradara Cretton memilih untuk tetap fokus pada plotnya. Film ini disusun seperti prosedur langsung, dengan semua ketukan yang biasa. Tetapi karena cerita Walter McMillian menjadi yang paling mudah dijual kepada penonton, seseorang seperti Richardson yang memang melakukan kejahatan berakhir sebagai cerita sampingan, meskipun diceritakan dan diwujudkan dengan kuat oleh Morgan. 

Hukuman mati berakar pada praktik hukuman mati tanpa pengadilan, dan ada banyak sekali argumen, baik praktis maupun filosofis, mengapa orang yang tidak bersalah tetap tidak boleh dieksekusi oleh negara. Dan itu seharusnya penting bagi semua orang yang peduli tentang masyarakat yang adil. Tidak setiap orang mengenal seseorang yang secara pribadi tersentuh oleh hukuman mati. Tetapi mengubah cara berpikir kita tentang hukuman mati akan mengubah cara berpikir kita tentang tujuan sistem peradilan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun