Mohon tunggu...
Afifah Dwi Andita
Afifah Dwi Andita Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dua Sisi Bumi Wali: Antara Spiritualitas dan Realitas Ekonomi Kota Tuban

15 April 2025   23:20 Diperbarui: 15 April 2025   22:00 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tuban merupakan sebuah kota pesisir di Jawa Timur yang menyimpan cerita yang unik bahkan kontradiktif. Di satu sisi, Tuban dikenal sebagai "Bumi Wali" yang mengarah pada adanya makam dari Sunan Bonang yang merupakan salah satu tokoh penyebar islam di Pulau Jawa yaitu walisongo. Namun disisi lain, Tuban juga kerap kali dijuluki sebagai "Kota Toak". Hal tersebut merujuk pada maraknya industri minuman fermentasi tradisional (Toak) yang telah menjadi budaya masyarakat dan berlangsung selama bertahun-tahun lamanya. Dualitas ini menciptakan dinamika sosial-ekonomi yang kompleks bagi kota Tuban. Meskipun berasal dari dua sisi yang berbeda tetapi sama-sama berkontribusi besar terhadap kemajuan ekonomi lokal masyarakat Tuban. 

Sebutan Bumi Wali sangat erat kaitannya dengan wisata religi yang ada di Tuban yaitu makam Sunan Bonang yang terletak di pusat kota. Wisata religi makam Sunan Bonang tidak hanya menjadi tempat destinasi spiritual tetapi juga sebagai penggerak ekonomi lokal yang cukup signifikan. Setiap tahun, banyak peziarah dari berbagai kota yang datang untuk berziarah ke makam salah satu tokoh walisongo ini yang kemudian menciptakan peluang ekonomi yang besar bagi masyarakat sekitar khususnya di Kelurahan Kutorejo. Masyarakat sekitar memanfaatkan kunjungan peziarah dengan membuka berbagai usaha seperti warung makan, toko pakaian, toko aksesoris, toko oleh-oleh khas Tuban. Terdapat juga pedagang kaki lima yang berjualan dengan gerobak di sekitar trotoar, biasanya mereka menjual jajanan seperti gorengan, es legen, dan masih banyak lagi. Selain usaha di sektor perdagangan banyak pula yang menawarkan jasa misalnya penyediaan penginapan murah.  

Dalam pengelolaan wisata religi Sunan Bonang, masyarakat setempat terlibat langsung dalam pengembangan dan pengelolaan kawasan wisata tersebut. Hal seperti ini tentu saja dapat memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan ekonomi, seperti pengelolaan parkir, jasa transportasi, dan penyediaan fasilitas bagi peziarah. Dengan demikian, wisata religi ini tidak hanya memperkuat identitas spiritual kota Tuban sebagai "Bumi Wali", tetapi juga menjadi pilar penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal melalui pemberdayaan ekonomi. 

Selain itu, yang turut menjadi penyokong dalam kegiatan perekonomian di Tuban lainnya adalah adanya home industri toak. Toak merupakan minuman tradisional hasil fermentasi dari nira siwalan yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Tuban sejak lama. Bukan hanya sekedar minuman toak juga dianggap sebagai identitas budaya serta sumber penghidupan bagi banyak keluarga di wilayah ini. Alih-alih dianggap sebagai minuman keras warga Tuban menganggap toak sebagai obat. 

Sejarah dan eksistensi home industri toak mulai berkembang pesat di Tuban sejak tahun 1990-an, terutama di Kecamatan Semanding. Faktor utama yang menjadi pendorong adalah kondisi ekonomi masyarakat yang relatif rendah karena keterbatasan keterampilan kerja. Produksi toak ini kemudian muncul sebagai solusi karena prosesnya yang sederhana, bahan baku yang melimpah, modal yang terjangkau, tidak memerlukan banyak tenaga kerja, dan permintaan pasar yang cenderung stabil. Dengan biaya produksi yang kecil dan harga jual yang tinggi kemudian dapat memberikan mereka keuntungan yang besar dan mampu memperbaiki keadaan ekonomi keluarga. 

Di Kabupaten Tuban, peredaran minuman tradisional toak berlangsung cukup bebas. Masyarakat setempat tidak merasa khawatir saat menjual atau mengkonsumsi toak bahkan di ruang publik seperti pinggir jalan. Hal ini terjadi karena Pemerintah Kabupaten Tuban tidak memasukkan toak dalam kategori minuman keras yang diatur dalam Peraturan Daerah. Karena toak bukan merupakan jenis minuman keras yang kadar alkoholnya sudah ditentukan. Kadar alkohol dalam toak berbeda-beda tergantung pohon siwalan dan proses fermentasinya. Akibat dari bebasnya penjualan industri rumahan toak terus berkembang pesat dan memiliki ruang yang luas dalam proses pemasarannya. Pemberian ruang untuk pemasaran toak ini tentunya menimbulkan berbagai reaksi dari pemerintah, masyarakat hingga tokoh agama karena dapat dianggap dapat mencoreng identitas Tuban sebagai "Bumi Wali". Banyak pihak yang mendukung agar toak diklasifikasikan sebagai minuman keras dengan peredaran yang diawasi secara ketat. Namun hal itu tentu saja ditentang oleh para produsen dan konsumen toak karena dianggap merugikan karena mereka telah lama menggantungkan hidup dari produksi dan penjualan toak. Mereka khawatir akan kehilangan sumber nafkah utama bagi keluarganya jika peredaran tuak benar-benar dihentikan. 

Dengan memperhatikan tingkat kesejahteraan masyarakat yang terus meningkat dari hasil pengelola home industri, pemerintah Tuban memutuskan untuk mempertahankan home industri toak. Seiring berjalannya waktu, home industri tidak hanya sebagai tempat untuk produksi saja tetapi juga banyak home industri yang sekaligus membuka warung toak guna menambah pendapatan. 

Dengan dua kegiatan ekonomi yang saling bertentangan antara sektor perdagangan melalui wisata religi dan home industri toak, dapat dilihat bahwa terdapat dinamika sosial-ekonomi yang kompleks di dalam masyarakat, di mana nilai-nilai budaya, kepentingan ekonomi, dan identitas lokal saling berinteraksi dan terkadang berbenturan. Wisata religi mendorong modernisasi dan citra religius yang lebih tertata, sementara home industri toak mempertahankan warisan lokal yang kerap dianggap bertentangan dengan norma-norma agama. 

Kegiatan perekonomian di Tuban menunjukkan potret unik dari keberagaman dan dinamika sosial yang hidup di tengah masyarakat. Di satu sisi, wisata religi Sunan Bonang menjadi motor penggerak ekonomi yang mendorong perkembangan sektor formal, menciptakan lapangan kerja, serta memperkuat identitas religius kota. Di sisi lain, keberadaan home industri toak mencerminkan kekuatan ekonomi rakyat yang berakar dari tradisi lokal dan diwariskan secara turun-temurun, meskipun kerap dianggap bertentangan dengan nilai-nilai religi dominan. Pertentangan ini bukan semata-mata bentuk konflik, melainkan cerminan dari proses negosiasi sosial dan identitas kultural masyarakat Tuban yang terus berlangsung. 

REFERENSI : 

Irawan, A. (2020). Home Industri Tuak di Kecamatan Semanding Kabupaten Tuban Tahun 1990-2015. AVATARA, e-Journal Pendidikan Sejarah. Vol. 2(1)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun