Dalam kehidupan yang serba kadang-kadang ini, kita sebagai manusia memiliki keharusan untuk senantiasa merefleksi diri masing-masing. Sering kali, kita dihadapkan pada situasi di mana harus memilih antara bersikap jujur atau memanipulasi keadaan demi keuntungan pribadi. Tokoh Sengkuni dari dunia pewayangan Jawa, yang dikenal licik dan penuh tipu muslihat, menjadi metafora yang tepat untuk menggambarkan kecenderungan kehidupan manusia dari masa ke masa. Esai ini akan membahas mengapa sifat "Sengkuni" muncul dalam diri kita, bagaimana hal ini memengaruhi hubungan sosial, dan apa yang bisa kita lakukan untuk menguranginya.
Mengapa Kita Cenderung Menjadi "Sengkuni"?
Sifat licik dan manipulatif dalam diri manusia tidak muncul begitu saja. Ada beberapa faktor yang memengaruhi kecenderungan ini. Pertama, tekanan sosial dan ekonomi sering kali memaksa individu untuk menyengkunikan diri  demi bertahan hidup. Misalnya, dalam dunia kerja yang kompetitif, seseorang mungkin merasa perlu untuk memanipulasi rekan kerja atau atasan demi mendapatkan promosi atau menghindari pemecatan.
Kedua, faktor psikologis juga berperan besar. Menurut teori psikologi sosial, manusia memiliki kecenderungan untuk memaksimalkan keuntungan pribadi dan meminimalkan kerugian. Hal ini dikenal sebagai "self-serving bias," di mana kita cenderung melihat situasi dari sudut pandang yang menguntungkan diri sendiri, bahkan jika itu berarti merugikan orang lain.
Dampak Sifat "Sengkuni" dalam Hubungan Sosial
Sifat manipulatif tidak hanya merugikan orang lain, tetapi juga merusak hubungan sosial dan kepercayaan. Dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Universitas Harvard, ditemukan bahwa kepercayaan adalah fondasi utama dari hubungan sosial yang sehat. Ketika kepercayaan ini rusak karena perilaku licik, hubungan tersebut menjadi rapuh dan rentan terhadap konflik.
Contoh nyata dari hal ini dapat dilihat dalam dunia politik, di mana manipulasi dan kecurangan sering kali digunakan untuk mencapai kekuasaan. Kasus korupsi yang marak di Indonesia adalah bukti nyata bagaimana sifat "Sengkuni" dapat merusak tatanan sosial dan ekonomi suatu negara. Korupsi tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Bagaimana Mengurangi Sifat "Sengkuni" dalam Diri Kita?
Mengurangi sifat manipulatif dalam diri kita memerlukan kesadaran dan usaha yang konsisten. Pertama, kita perlu melakukan introspeksi diri secara berkala. Menanyakan pada diri sendiri apakah tindakan yang kita lakukan merugikan orang lain atau tidak adalah langkah awal yang penting.
Kedua, pendidikan moral dan etika harus ditekankan sejak dini. Sekolah dan keluarga memainkan peran penting dalam membentuk karakter individu. Dengan menanamkan nilai-nilai kejujuran dan integritas sejak kecil, kita dapat mengurangi kecenderungan untuk bertindak curang.
Ketiga, menciptakan lingkungan yang mendukung perilaku jujur juga sangat penting. Dalam dunia kerja, misalnya, perusahaan dapat menerapkan sistem reward and punishment yang adil untuk mendorong perilaku etis di antara karyawan.
Kesimpulan
Sifat "Sengkuni" dalam diri kita adalah cerminan dari tekanan sosial, ekonomi, dan psikologis yang kita hadapi sehari-hari. Meskipun sifat ini mungkin memberikan keuntungan jangka pendek, dampak jangka panjangnya sangat merugikan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Dengan melakukan introspeksi, menekankan pendidikan moral, dan menciptakan lingkungan yang mendukung, kita dapat mengurangi kecenderungan untuk bertindak licik dan manipulatif.
Pada akhirnya, pertanyaan "Emang siapa yang tidak Sengkuni?" mengajak kita semua untuk merenung dan berusaha menjadi pribadi yang lebih baik. Karena hanya dengan kesadaran dan usaha kolektif, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih jujur dan adil.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI