Mohon tunggu...
Afif Sholahudin
Afif Sholahudin Mohon Tunggu... Murid dan Guru Kehidupan

See What Everyone Saw, But Did Not Think About What Other People Think

Selanjutnya

Tutup

Money

Mendudukkan Perspektif Fiqh Muamalah di Era Kapitalisme Global

26 Februari 2017   10:04 Diperbarui: 26 Februari 2017   10:19 1761
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://cholidudin.wordpress.com

Lantas bagaimana caranya kita menghilangkan riba dari kehidupan? Pastinya sangat sulit. Kita bisa mencoba dua solusi. Pertama, solusi parsial berupa pengalihan aktivitas riba pada aktivitas lain yang bisa menjauhkan kita dari bisnis penjerat riba. Kedua, solusi sistemik berupa larangan riba pada aspek aturan bernegara.

Riba yang sering digunakan oleh masyarakat Indonesia adalah riba perbankan. Di mata masyarakat, segala aktivitas bisnis seolah tidak bisa lepas dari perbankan, terutama fasilitas kredit yang banyak menarik minat para nasabah dengan jebakan riba. Cara pandang seperti ini yang harus diluruskan, karena Islam melarang sesuatu dengan memberikan solusi penyelesaian. Firman Allah SWT, “..Dan aku telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..” (QS. Al Baqarah: 275). Islam sudah mengatur jual beli yang halal untuk terhindar dari yang haram, kalau yang halal masih banyak cara kenapa harus pilih yang haram?

Islam mengajarkan Syirkah (perkongsian). Bisa kita cari teman untuk modal bisnis bersama. Kalau modal diberikan oleh kedua belah pihak dinamakan musyarakah, kalau salah satu pihak memberikan modal dan satu pihak lain yang mengelola dinamakan mudharabah. Dalam hal pinjam meminjam dinamakan ‘Ariyah, kalau dalam gadai dinamakan Rahn. Dalam Syirkah pun ada berbagai bentuk, demikian jelas islam menjelaskan agar setiap transaksi bisnis jelas dan tidak menyalahi syariat. Tapi ingat, para sahabat mempraktekkan ini tanpa terlibat dengan bank. Apakah hal itu mustahil bagi kita? Tentu tidak. Bisnis tidak harus berkaitan dengan fungsi bank sebagai penyalur dana, karena masih banyak teman sesama muslim yang harus dialirkan hartanya kepada muslim yang lain. Inilah yang ditekankan oleh Allah SWT dalam larangannya: “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah..” (QS. Al-Baqarah: 276)

Kalau saja sedekah sudah menjadi kesuburan di tengah-tengah masyarakat, maka mudah bagi kita menghilangkan aktivitas riba. Sulitnya memunculkan kepedulian sesama muslim untuk saling berbagi dan membantu saudaranya menjadi kendala utama banyak orang berlari kepada bank. Ditambah meningkatnya budaya konsumerisme masyarakat sehingga bank melihat hal ini sebagai peluang dalam pelaksanaan pembiayaannya. Karenanya, kepedulian sosial ekonomi sesama muslim harus digalakkan. Seperti usaha leasing berbasis riba yang sedang marak, bisa diatasi dengan membeli tunai atau meminta teman membeli barangnya secara tunai dan menjualnya kepada kita secara kredit, lalu mulai angsuran kepada teman kita dengan model kredit tanpa riba. Praktik ini rupanya pernah saya temui dan sudah dijalankan oleh beberapa kalangan.

Kurangnya kepedulian masyarakat harus disupport pemerintah yang memegang kebijakan. Mereka yang berusaha untuk terhindar dari riba rupanya kesulitan, bahkan sekedar untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal pun harus berakad dengan KPR berbentuk riba. Belum membahas berbagai jenis riba yang prakteknya bermacam-macam bentuknya. Ambil contoh bank syariah, meskipun mengalami kemajuan yang harus diapresiasi namun tetap mereka mereka masih menginduk kepada perbankan ribawi. Penerapan islam dalam ekonomi rupanya tidak cukup individu, tapi aspek regulasi yang butuh peran penguasa di sana. Jika tidak maka berbagai kendala akan terus muncul karena problem utama yang belum diselesaikan. Landasan hukum pemerintah yang berkiblat ke barat bagusnya dikaji ulang, pasalnya keadaan buruk terus menimpa Indonesia dikala Islam mulai ditinggalkan. Seharusnya pemerintah bisa bersikap cermat menilai masalah dan solusi dari kacamata Islam, bukankah pemerintah ingin yang terbaik? Tidak ada yang terbaik selain daripada Islam.

Muhamad Afif Sholahudin | Bandung


[1] ‘Atha bin Khalil, Ushul Fiqh, Bogor, Pustaka Thariqul Izzah, 2000, hlm. 1

[2] Rachmat Syafe’i, Fiqh Muamalah, Bandung, Pustaka Setia Bandung, 2000, hlm. 15-16

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun