Mohon tunggu...
Afif Auliya Nurani
Afif Auliya Nurani Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Semakin kita merasa harus bisa, kita harus semakin bisa merasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengintip "Momongisasi" Ala Ibu N-2 Kota Malang

3 November 2016   07:46 Diperbarui: 3 November 2016   19:17 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bagi warga kota Malang, tentu hampir seluruhnya mengetahui sosok Ibu Wakil Walikota Malang, yakni Ibu Endang Taqqiyati (51 tahun) namanya. Beberapa waktu yang lalu, beliau sempat menjadi perbincangan di media viral karena sudah bertahun-tahun jejeg menggeluti profesinya sebagai ibu kantin di asrama putri UIN Maulana Malik Ibrahim Malang walaupun status sosialnya kini telah berubah drastis dari sebelumnya. Di tengah kesibukannya berjualan makanan, mendampingi suami dalam beberapa pertemuan, menghadiri berbagai pengajian maupun undangan, dan sebagai wakil ketua PKK Kota Malang, ada ketertarikan tersendiri terkait bagaimana kehidupan keluarga beliau terutama dalam hal mengasuh anak-anaknya. Karena menurut beberapa media massa yang pernah saya baca, keluarga beliau patut dijadikan teladan sebab kehidupannya selalu bergelimang dengan kesederhanaan. Dan juga ketika saya makan di kantin ibu Endang dulu, saya melihat sendiri anak-anaknya ikut membantu berjualan bahkan bersih-bersih tanpa ada rasa malu maupun gengsi. Subhanallah. Oke langsung saja kita intip yuk bagaimana momong ala-ala ibu nomor dua di Kota Malang tercintah ini.

Berdasarkan uraian dari beliau dari wawancara tanggal 16 Oktober 2016 lalu, momong (pengasuhan dalam bahasa Jawa) adalah sebuah kegiatan untuk merawat, mendidik, dan membesarkan anak dengan sepenuh hati dan sebaik-baiknya. Sebab anak adalah amanah dari Allah SWT yang terlahir dalam keadaan fitrah atau suci. Jika Sokrates berkata bahwa anak bagaikan selembar kertas putih bersih yang dapat diisi apa saja sesuai dengan keinginan orangtua, bagi ibu Endang memiliki anak bagaikan memiliki mutiara-mutiara berkilau yang harus dijaga sebaik mungkin agar tidak sampai kusam, tergores, pecah, apalagi hilang. Dan hingga kini beliau telah dianugerahi 4 mutiara hebat dari Allah SWT, 3 laki-laki dan 1 perempuan. Seluruh anaknya pernah menuntut ilmu di pondok pesantren ternama di Indonesia. 

Dalam mengasuh “mutiara-mutiara”nya, beliau menanamkan prinsip hidup dengan sederhana. Meski suaminya adalah orang nomor dua di kota Malang, Ibu Endang selalu memberi teladan untuk tetap bergaya hidup sederhana kepada anak-anaknya. Contoh kecilnya, beliau selalu berpergian dengan menggunakan sepeda motor sendiri meskipun mobil beserta sopirnya sudah tersedia 24 jam untuk mengantar beliau ke manapun. Dan dengan menyandang status sebagai istri walikota Malang, beliau tetap istiqomah berjualan nasi di kantin sebagai profesi yang sudah digelutinya sejak tahun 2007. Bahkan yang mengesankan, beliau tidak pernah mempekerjakan pembantu dalam mengurus rumah tangga maupun mengasuh anak. 

Sejak dulu, beliau tidak rela jika “tangan orang lain masuk ke mulut anaknya”, maksudnya beliau akan nelangsa jika tidak mengurus anaknya dengan tangan sendiri. Ketika Pak Sutiadji, suami beliau, mengusulkan untuk mempekerjakan pembantu, beliau menolak dan berkata, “buat apa? Kunci surga kok diberikan ke orang lain”. Subhanallah.

Ibu Endang juga sangat memprioritaskan pendidikan agama kepada anak-anaknya. Karena bagi beliau, jika agama seseorang sudah baik, maka urusan lain juga akan mengikuti. Termasuk dengan aqidah dan akhlak, beliau membiasakan seluruh anggota keluarga untuk tidak segan dalam berbicara 3 hal, yaitu minta maaf, minta tolong, dan terimakasih. 

Selain itu, Ibu Endang sekeluarga telah bermufakat bahwa hp harus disimpan dalam kamar ketika sedang berkumpul di meja makan, di ruang tv, dan di manapun. Dan setiap tutur kata yang diucapkan kepada anak-anaknya sangat diperhatikan. Beliau menggunakan bahasa Indonesia yang baik walaupun anak-anaknya merespon dengan bahasa Krama Inggil (bahasa Jawa dalam tingkatan paling sopan), mungkin karena bawaan dari Pondok. Yang menjadi unik dari beliau adalah, dalam meminta tolong beliau memancing anak-anaknya dengan pertanyaan “Siapa yang mau kunci surga?”, kemudian anak-anaknya berebutan untuk membantu. 

Demikianlah, menurut beliau mengasuh itu sesungguhnya untuk mempersiapkan penerus agama di masa mendatang. Namun nyatanya yang terjadi di masyarakat Indonesia, jaman dahulu orangtua mengasuh anak semata-mata agar bisa bertahan hidup dan melanjutkan hidupnya. Sedangkan orangtua di era “kekinian” rata-rata mengasuh anak hanya semata-mata untuk dibanggakan dan meningkatkan derajat sosialnya. Sehingga, anak dipaksa untuk terus belajar dan menjadi “yang terbaik”. Padahal yang tersebut tidak sejalan dengan teori-teori perkembangan anak.

Dalam rangka mendidik agama, Ibu Endang memberi sebuah ultimatum kepada anak-anaknya bahwa : setelah lulus dari Sekolah Dasar, seluruhnya harus melanjutkan studi ke Pondok. Meski begitu, anak-anaknya tetap diberi kesempatan untuk memilih sesuai keinginannya. Jika ditinjau secara teoritis, maka metode pengasuhan yang dilakukan Ibu Endang adalah metode demokratis. Yang terpenting, agama tidak lepas dari genggaman anak-anaknya. Bahkan beliau sama sekali tidak mempermasalahkan prestasi akademik dan pendidikan formal anak-anaknya. Karena pada hakikatnya, akademika tidak dibawa ke akhirat nanti.

Demikianlah uraian singkat tentang gaya pengasuhan Ibu Wakil Walikota Malang kepada 4 buah hatinya. Sebenarnya masih banyak hal yang beliau ungkapkan kepada saya namun belum tertulis di artikel ini, tentang doa-doa yang selalu ditujukan kepada anaknya, cerita-cerita lucu keluarganya, dan termasuk juga tips-tips cari jodoh hahaha, ciyus lho. In sya Allaah akan saya bahas di lain waktu ya, karena sekarang lagi buntu, biasaaa perempuan. Untuk itu laki-laki harus lebih perasa ya, sebab perempuan tidak bisa dipaksa bersuara eh apasih *gajelas deng*. Oke bye semoga bermanfaat dan menginspirasi :) 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun