Mohon tunggu...
Afif Auliya Nurani
Afif Auliya Nurani Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Semakin kita merasa harus bisa, kita harus semakin bisa merasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ada Apa dengan Calistung?

26 Maret 2016   17:02 Diperbarui: 26 Maret 2016   17:02 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di sekitar kita, banyak ditemui anak berusia 2 tahun yang sudah diajarkan calistung (membaca, menulis, dan berhitung) oleh orangtuanya. Sehingga pada usia sekolah baik di taman kanak-kanak maupun dalam pendidikan anak usia dini, anak sudah mampu menguasai calistung bahkan melampaui teman-teman sebayanya. Hal ini secara kasat mata memang bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan, malah terkadang menjadi kebanggaan orangtua. Lalu, apa masalahnya?

Sebenarnya, dalam konsep psikologi perkembangan anak, usia balita (1-5 tahun) merupakan masa seorang anak untuk memaksimalkan perkembangan moral, kreativitas, bahasa, dan interaksi sosial. Pada usia tersebut, kompetensi yang seharusnya ditempuh anak adalah hal-hal yang mendasar seperti belajar mengenal Tuhannya, belajar berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya, berimajinasi, belajar mewarnai, menyimak cerita dan dongeng, dan kegiatan-kegiatan ringan semacamnya. Sedangkan untuk kematangan kognitif, usia yang tepat adalah 6-7 tahun, yakni ketika anak duduk di bangku sekolah dasar. Namun yang terjadi di lapangan tidaklah demikian. Dan hal inilah yang sering dilalaikan oleh orangtua.

Mengajarkan hal yang bersifat akademik dengan kadar berat, terumata materi calistung pada usia balita adalah hal yang kurang tepat. Karena menurut teori-teori psikologi, balita belum siap secara perkembangannya untuk dituntut menguasai materi tersebut. Memang pada kenyataannya otak anak bisa saja menguasai calistung secara prematur, tapi secara perkembangan dia belum siap. Mengerahkan kinerja otak kiri secara maksimal pada anak usia dini merupakan kegiatan yang terlalu melelahkan secara batiniah. Selain itu, akan menimbulkan akibat yang fatal ketika anak tidak mampu totalitas dalam mengembangkannya. Misalnya seperti terganggunya pengembangan kemampuan otak kanan, merusak pola bermain anak, menjadikan anak sulit mengontrol emosinya, dan lain-lain.

Bahkan dalam beberapa kasus, ke-prematur-an calistung menyebabkan semangat belajar anak menurun saat menginjak ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Padahal tahun-tahun sebelumnya akademitas anak tidak bermasalah, justru malah sangat berprestasi di masa sebelumnya. Setelah ditelaah lebih lanjut, rupanya yang menjadi penyebab yakni kelelahan dalam diri anak yang selalu dituntut untuk sibuk dengan segala materi membaca, menulis, dan berhitung sejak usia balita yang dibarengi dengan kurang terpenuhinya kebutuhan bermain. Dari sini kita dapat mengetahui bahwa istilah “masa kecil kurang bahagia” memang benar-benar ada, terutama bagi orang-orang yang mengalami kasus ini.

Jadi, perlu diingat bahwa melatih suatu aspek jiwa pada anak usia dini harus memperhatikan perkembangan aspek jiwa yang lainnya, jangan sampai merusak aspek jiwa yang lain. Karena apabila ada aspek kebutuhan anak yang tidak terpenuhi maka kebutuhan tersebut akan timbul kembali pada beberapa waktu mendatang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun