Dalam era globalisasi yang semakin terintegrasi, arah kebijakan ekonomi negara-negara besar seperti Amerika Serikat memiliki pengaruh signifikan terhadap stabilitas dan dinamika perekonomian global. Keputusan-keputusan ekonomi dari Washington tidak hanya berdampak pada sekutu-sekutunya, tetapi juga membawa konsekuensi terhadap negara-negara berkembang yang sistem ekonominya masih rentan terhadap perubahan eksternal. Indonesia sebagai negara berkembang dengan ketergantungan tinggi pada ekspor, investasi asing, dan dinamika nilai tukar global, tentu tidak bisa mengabaikan setiap perubahan arah kebijakan dari negara adidaya tersebut.
Belakangan ini, perhatian global kembali tertuju pada Donald Trump, mantan Presiden AS yang kini mencalonkan diri kembali dalam pemilihan presiden mendatang. Trump dikenal sebagai sosok yang mengedepankan ekonomi nasionalistik, dengan kebijakan yang kerap memprioritaskan industri dalam negeri dan memberlakukan hambatan perdagangan terhadap mitra dagang luar negeri. Retorika yang sama kini kembali terdengar dalam kampanye terbarunya, di mana ia mengusulkan peningkatan tarif impor secara besar-besaran untuk melindungi produk-produk dalam negeri. Pendekatan seperti ini memicu kekhawatiran di kalangan pelaku pasar dan pemerintah di berbagai negara, karena dapat memicu konflik dagang dan merusak sistem perdagangan multilateral yang selama ini menjadi fondasi stabilitas ekonomi global.
Kebijakan ekonomi Donald Trump yang menekankan pada proteksionisme membawa konsekuensi langsung terhadap dinamika perdagangan internasional. Penerapan tarif impor yang tinggi terhadap berbagai produk asing, termasuk dari Indonesia, menimbulkan hambatan serius bagi pelaku usaha ekspor nasional. Produk-produk unggulan Indonesia yang sebelumnya kompetitif di pasar Amerika kini harus bersaing dengan beban biaya tambahan, yang secara otomatis mengurangi daya saingnya. INDEF (Institute for Development of Economics and Finance) mencatat bahwa kebijakan tarif semacam ini berpotensi memangkas nilai ekspor Indonesia ke Amerika Serikat hingga sebesar 28,3 persen. Angka tersebut tentu menjadi sinyal peringatan bagi sektor industri dan manufaktur, terutama yang bergantung pada ekspor sebagai penggerak utama produksi dan pertumbuhan.
Ketergantungan Indonesia terhadap pasar luar negeri, khususnya negara-negara besar seperti AS, membuat perekonomian domestik rentan terhadap fluktuasi kebijakan global. Ketika akses pasar menyempit karena tarif tinggi, kapasitas produksi bisa menurun, tenaga kerja bisa terancam, dan pendapatan negara dari ekspor pun akan berkurang. Dampaknya bisa menjalar ke sektor lain, termasuk pengurangan investasi dalam negeri dan tekanan terhadap pendapatan masyarakat. Dalam kondisi seperti ini, risiko stagnasi ekonomi menjadi semakin nyata, terutama ketika permintaan dari pasar domestik belum cukup kuat untuk menutupi penurunan ekspor.
Selain menekan sektor perdagangan, efek lanjutan dari kebijakan Trump juga dirasakan dalam bentuk gejolak pada nilai tukar rupiah. Pada bulan April 2025, nilai tukar rupiah sempat anjlok hingga menyentuh level Rp16.970 per dolar AS --- angka terlemah dalam beberapa tahun terakhir. Melemahnya nilai tukar ini membawa konsekuensi serius terhadap perekonomian nasional, khususnya dalam konteks biaya impor. Industri-industri manufaktur yang masih sangat bergantung pada bahan baku impor kini menghadapi kenaikan harga produksi, yang pada gilirannya akan memicu inflasi dan memperburuk daya beli masyarakat.
Situasi ini menjadi lebih kompleks ketika kita meninjau dampaknya terhadap sektor keuangan. Ketidakpastian yang disebabkan oleh kebijakan luar negeri Amerika membuat investor global cenderung mengambil sikap wait and see, bahkan menarik modalnya dari pasar negara berkembang seperti Indonesia. Akibatnya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan yang cukup signifikan. Arus modal keluar (capital outflow) ini menandakan bahwa pelaku pasar menilai risiko ekonomi Indonesia meningkat. Sementara itu, instrumen investasi yang dianggap lebih aman seperti emas mengalami lonjakan permintaan, yang menegaskan adanya kecenderungan flight to safety di tengah kondisi yang tidak menentu.
Menurut estimasi INDEF, dampak akumulatif dari kebijakan proteksionis yang dilontarkan oleh Trump dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,05 persen. Sekilas, angka ini memang tampak kecil, namun dalam konteks pemulihan pascapandemi COVID-19 dan disrupsi energi global, penurunan ini cukup berarti. Apalagi jika tren ini terus berlangsung dan disertai dengan kebijakan-kebijakan lanjutan yang semakin agresif dari AS, maka tekanan terhadap ekonomi Indonesia bisa menjadi lebih dalam dan sistemik.
Dalam menghadapi tekanan global yang kian meningkat akibat kecenderungan proteksionis Amerika Serikat di bawah pengaruh Donald Trump, pemerintah Indonesia tidak memilih jalur konfrontatif, melainkan menempuh pendekatan yang lebih diplomatis, strategis, dan terukur. Alih-alih membalas kebijakan tarif tinggi dengan langkah serupa yang dapat memperuncing ketegangan, Indonesia berupaya menjaga hubungan bilateral yang kondusif dengan AS. Pendekatan ini menunjukkan kematangan diplomasi ekonomi Indonesia dalam memahami bahwa Amerika Serikat masih menjadi salah satu mitra dagang dan sumber investasi asing langsung (FDI) terbesar. Eskalasi ketegangan dalam bentuk perang dagang tidak hanya akan merugikan perdagangan kedua negara, tetapi juga dapat menurunkan kepercayaan investor internasional terhadap stabilitas ekonomi Indonesia.
Sebagai upaya mitigatif, pemerintah mendorong strategi diversifikasi pasar ekspor agar tidak terlalu bergantung pada satu negara atau wilayah tertentu. Diversifikasi ini dilakukan dengan mengalihkan fokus ekspor ke pasar non-tradisional seperti negara-negara di kawasan Asia Selatan, Timur Tengah, dan Afrika. Berbagai perjanjian dagang bilateral dan regional pun terus dikembangkan guna membuka akses pasar baru dan menurunkan tarif ekspor Indonesia ke negara-negara mitra. Salah satu upaya signifikan adalah partisipasi aktif Indonesia dalam skema Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), sebuah kesepakatan perdagangan bebas terbesar di dunia yang mencakup lebih dari 2,2 miliar penduduk dan menyumbang sekitar 30% PDB global. Lewat RCEP, Indonesia berharap dapat memperkuat jaringan dagangnya di kawasan Asia-Pasifik dan mengurangi ketergantungan terhadap pasar Amerika.
Di tingkat domestik, pemerintah juga mempercepat agenda industrialisasi melalui kebijakan hilirisasi sektor sumber daya alam. Langkah ini tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan nilai tambah produk ekspor Indonesia, tetapi juga untuk mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah yang rentan terhadap fluktuasi harga global. Komoditas unggulan seperti nikel, bauksit, dan kelapa sawit mulai diarahkan ke proses industri lanjutan agar dapat diekspor dalam bentuk barang jadi atau setengah jadi, yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi. Kebijakan ini juga diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja baru, memperluas basis industri nasional, serta memperkuat struktur ekonomi dalam negeri secara keseluruhan.
Pemberdayaan sektor ekonomi mikro juga menjadi perhatian utama pemerintah. Melalui dukungan terhadap koperasi, pelaku UMKM, serta percepatan transformasi digital, Indonesia berupaya memperkuat ketahanan ekonomi domestik dari akar rumput. Pemerintah menyediakan insentif fiskal, pelatihan, dan akses pembiayaan bagi pelaku usaha kecil agar mereka dapat bersaing di pasar digital yang kini tumbuh pesat. Inisiatif ini bukan hanya bertujuan menjaga konsumsi domestik sebagai pilar pertumbuhan saat ekspor melemah, tetapi juga mempersiapkan pelaku UMKM untuk masuk dalam rantai pasok global melalui pemanfaatan teknologi dan inovasi.