Mohon tunggu...
Affandi Ismail
Affandi Ismail Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Ternyata menulis itu asyik.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Braga Stone dari Orchard dan Pengemis di Masjid Sultan: Catatan dari Singapura (4)

14 Maret 2012   07:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:04 598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


[caption id="attachment_168550" align="alignnone" width="640" caption="Pemandangan Kota Singapura"][/caption]

Singapura merupakan salah satu negara yang memiliki GDP per kapita tertinggi di dunia. Menurut data terakhir dari “Department of Statistics Singapore” atau Biro Pusat Statistik nya Negri Paman Lee ini, GDP per kapita Singapura pada tahun 2011 bahkan telah mencapai lebih dari 61 ribu Singapore Dollar atau sekitar 49 Ribu US Dollar.Ini merupakan angka yang tertinggi di ASEAN, bahkan mengalahkan negri mini kaya minyak Brunei Darussalam. Bandingkan dengan Indonesia yang masih berkisar di angka 4 ribu US Dollar saja .

Dengan berbekal pengetahuan ini, maka sekilas kita akan melihat kemakmuran dimana-mana. Negri ini tampak begitu mengesankan. Begitu mendarat di Bandara Changi, kita akan sampai di salah satu bandara terbesar dan termewah di dunia yang sudah berkali-kali memenangkan penghargaan sebagai Bandara terbaik di dunia.

Selain itu. Kita juga menemukan sistem transporatsi massal MRT , bus dan taksi yang sangat efisien dan tidak terlalu mahal. Deretan perumahan, baik apartemen mewah sampai ke apartemen yang disubsidi pemerintah melalui Housing & Development Board atauHDB, juga menghiasi hampir seluruh kawasan di negara pulau ini. Bahkan Singapura mendapat banyak penghargaan dan merupakan salah satu negara yang terbaik dalam memberikan perumahan kepada rakyatnya. Di negara pulau ini, bahkan hampir tidak ada perumahan kumuh seperti di kebanyakan kota di Asia.


[caption id="attachment_168551" align="alignnone" width="360" caption="Dareah Sekitar Orchard Road"]

13317080611720894365
13317080611720894365
[/caption]

Life is becoming more and more difficult lah”.Tanpa ditanya sang supir taksi yang usianya hampir sama dengan kakek saya ini memulai percakapan sambil terus bercerita tentang penghasilannya yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Pada mulanya, saya sendiri cukup terkejut ketika menemukan  pengemudi taksi yang sangat senior ini . Rambutnya sudah hampir memutih semua dan bahkan kulit tangannya sudah banyak kerutan. Namun sang kakek masih cukup cekatan mengemudi di sepanjang East Coast Highway dan kemudian menuju kawasan pusat kota Singapura. Namun, karena dia terus berbicara sambil berkisah bahwa di umurnya yang sudah senja ini dia harus terus bekerja dan hanya cukup untuk hidup yang “layak”.

“I am old enough and can not drive too long in one day”.Dia menambahkan lagi.Tetapi saya terus menyanggah bahwa apa yang dimilikinya sebagai warga Singapura adalah jauh lebih baik daripada rekan-rekan senasib di Indonesia.Yang menarik adalah bahwa penghasilannya bahkan hampir tidak cukup membiayai makanan dan bayar listrik di rumahnya di HDB yang diplesetkannya sebagai “Highly Dangerous Buliding” itu. “People from Indonesia very rich”, demikian lagi bantahannya ketika akhirnya saya pun turun di dekat stasiun MRT Clark Quay. Wah dia tentu mengejek kebanyakan orang Indonesia yang hobinya keluyuran dan berbelanja di Singapura.


Sambil terus mengenang dan menyimak keluhan supir taksi tadi, saya tersenyum. Betapa sesungguhnya rakyat di Singapura pun belumlah benar-benar bahagia dengan kekayaan negaranya. Dan pada kesempatan lain saya sempat berjalan di terowongan bawah tanah yang menghubungkan stasiun MRT “Orchard” dengan Scott’S Road. Tepat di jantung kota dan pusat perbelanjaan paling terkenal di kota Singa ini.

Seorang pengamen buta yang sedang memainkan lagu-lagu bernada Cina klasik yang mendayu dari sebuah organ tua dan harmonika Nampak duduk di sebuah kursi lipat . Sementara puluhan orang yang lalu lalang dengan cepatdan tanpa acuh berlalu begitu saja. Tidak seorang pun memberikan uang receh ke dalam sebuah kaleng bekas biskuit yang di taruh di lantai. Saya sempat memperhatikan isi kaleng itu, Yang tampak adalah beberapa keping uang logam dan juga lembaran dua dollar yang berwarna kelabu dengan gambar Yusof bin Ishak, Presiden pertama Singapura.Saya baru saja mau mengeluarkan telpon genggam untuk mengambil gambar, namun sebuah papan karton yang bertuliskan “No Photo Please” membuat hati saya tidak tega untuk mengambil gambar pengamen yang bolehlah dijuluki Braga Stone dari Orchard.Saya menjuluki nama ini karena teringat seorang paman yang bercerita tentang pengamen yang terkenal dan sering mangkal di Jalan Braga di Bandung pada tahun 1970 dan 1980 an.

Pada suatu jumat, saya pun sempat mengunjungi “Sultan Mosque”, masjid yang paling terkenal dan konon terbesar di Singapore yang terletak di Arab Street, tidak jauh dari Stasiun MRT Bugis.Kebetulan waktu menunjukan sekitar pukul 1.15 siang waktu Singapura dan waktu sholatJumat pun sudah dimulai.

Ternyata jemaahnya sangat ramai, sehingga sampai ke halaman masjid yang dibangun pada awal abad ke 20 itu.Namun yang cukup membuat saya terkejut, adalah ketika selesai sholat, di sekitar pintu masjid sudah berbaris beberapa pengemis yang dengan sabar menanti rejeki dari kemurahan harti jemaah.

Saya tidak tega untuk mengambil foto mereka, kelihatannya mereka berpakaian sedikit lusuh, terdiri dari beberapa orang perempuan yang mengenakan busana muslimah.Paras wajah merekaagak gelap karena sering terbakar matahari.Dalam hati saya pun terkejut, dari mana kah mereka ini, mereka bukan seperti kebanyakan orang Melayu Singapura yang saya kenal. Tetapi pada kenyataannya mereka memang ada di Singapura.

Setelah terus bertanya dalam batin, akhirnya sebagian pertanyaan saya pun terjawab melalui angka statistik .Untuk mengetahui tingkat pemerataan kemakmuran dan jurang perbedaan antara yang kaya dan miskin di suatu negara digunakan angka yang disebut Gini Ratio.

Ternyata , walaupun memiliki angka GDP perkapita yang sangat tinggi, bahkan termasuk no tiga atau empat di dunia, angka Gini Ratio Singapura jugatergolong tinggi. Pada tahun 2009, Gini Ratio Singapura mencapai angka 42,5 dan merupakan yang tertinggi kedua selain Hongkong yang memiliki angka 43.4 di antara 38 negara yang memiliki Human Develompemnt Index yang tertinggi.Bandingkan dengan Jepang yang hanya memiliki nilai 24,9. Semakin tinggi angka Gini Ratio, semakin lebarlah sesungguhnya jurang di antara yang kaya dan miskin.

Sambil menikmati martabak dan nasi briyani di rumah makan yang banyak terdapat di Arab Street, saya pun termenung. Selama dunia ini masih berputar, memang tidak akan hilang kemiskinan dan ketidakadilan, bahkan di negara yang sangat makmur dan menurut berita hampir tidak ada korupsi seperti Singapura!

Note: foto dok pribadi dan ikut WPC kampret. Info lengkap. http://m.kompasiana.com/post/hobi/2012/07/07/weekly-photo-challenge-street-photography/

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun