Mohon tunggu...
M Affan Asyraf
M Affan Asyraf Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Strata 1 Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada

Residence of UK (Utan Kayu)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sumbangsih Ilmu Antropologi Pada Paradigma Pendidikan Sekolah Menengah di Indonesia

13 Desember 2020   11:40 Diperbarui: 13 Desember 2020   11:43 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Oleh karena itu hal ini menyadarkan bagaimana persoalan yang menghinggapi sistem pendidikan sekolah menengah di Indonesia tidak hanya sekedar infrastruktur. Melainkan jembatan antara pelajar dan infrastruktur itu sendiri. 

Dalam artian, pendirian, mentalitas, dan nilai yang dipunyai pelajar dalam institusi pendidikan tidak sinkron dengan proyeksi kebijakan pemerintah mengenai kehadiran infrastruktur di sekolah. Salah satu wujudnya kantin di sekolah dijadikan tempat untuk nongkrong di luar waktu istirahat -cabut pelajaran. 

Ataupun penggunaan ruang komputer yang digunakan hanya untuk bermain game. Lantas segala permasalahan tersebut menuntun pada gagasan inti utama tulisan, yaitu terkait implementasi nilai-nilai bercorak antropologis dalam paradigma kegiatan pendidikan di sekolah menengah sebagai upaya untuk merevitalisasi esensialitas kegiatan pendidikan itu sendiri. Tendensi ilmu antropologi yang mengkaji dan memahami manusia, terutama dalam aspek kehidupan sosialnya, dapat menjadi salah satu tempat pertimbangan dalam mentransformasi paradigma pelajar dan tenaga pelajar dalam mengkonfigurasi praktik belajar mengajar yang esensial.

Implikasi Konsep Dasar Antropolog dalam Mengatur Mindset Artikulasi Pendidikan Sekolah Menengah

Terkait esensial itu sendiri, maknanya mengacu pada perihal yang diungkapkan oleh bapak ilmu antropologi Indonesia, Koentjaraningrat. Beliau tidak eksplisit memberikan definisi esensial namun dari perihal yang dijelaskan bahwa esensial itu adalah sesuatu yang membuat sebuah hal ada. Menjadi orientasi manusia dalam berperilaku, tujuan hidup yang didasari pada rasionalisasi kebudayaanya. Kebudayaan itu sendiri sejatinya merupakan buah akal pikiran manusia, serangkaian gagasan yang didapat manusia dari hasil pembelajaran (Koentjaraningrat, 1979). Oleh karena itu sebenarnya apa yang dicanangkan ilmu antropologi itu sendiri telah selaras dengan konsep pendidikan, yaitu kehidupan manusia bertumpu pada basis pembelajaran --manusia senantiasa belajar. Bagaimana hendaknya berperilaku dan mengembangkan karakteristik untuk beradaptasi dengan lingkungan dimana mereka berada. Berangkat dari ini, untuk menekankan, corak antropologis yang dimaksudkan dalam tulisan mengacu kepada penggunaan konsep-konsep yang notabene kerap hadir dalam kajian antropologi, juga hal-hal yang diutamakan bagi antropolog untuk menunjang atau memformulasi risetnya.

Dapat disimplifikasi bahwasanya esensial itu  merupakan gagasan dan tata cara kehidupan ideal bagi manusia, yang mana mengacu pada subjektivitas identitas sosialnya, yaitu kebudayaanya. Memaknai itu maka sebuah sistem pendidikan harus mengimplementasikan paradigma yang menuntun manusia pada pemahaman mengenai kearifan warisan luhur mereka itu sendiri. Sebagaimana dimengerti, berdasarkan Geertz (1973) kebudayaan terbangun dari berbagai macam simbol yang terdapat dan dimaknai oleh manusia. Simbol, yang dengannya manusia berkomunikasi, melanggengkan, dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang dan sikap terhadap kehidupan dan apa yang dianggap penting (nilai). Simbol tersebut mengacu pada berbagai macam unsur kehidupan, meliputi ideologi, konsep, benda atau apapun yang kita maknai (Geertz, 1973: 89). Oleh karena itu pada dasarnya manusia pada hakikatnya membangun perilaku dengan memaknai simbol-simbol sosial yang hadir dalam kehidupan.

Pada konteks pendidikan sekolah menengah hal itu dibangun melalui pemberian pelajaran yang mengenalkan nilai-nilai kebudayaan setempat. Dalam prakteknya pengimplementasian muatan lokal yang tidak hanya dijadikan sebagai mata pelajaran tambahan, melainkan mata pelajaran utama yang urgensinya sama seperti Matematika, IPA, IPS ataupun Bahasa Indonesia. Urgensi itu didasari oleh penyadaran akan betapa signifikan simbol sosial yang hadir dalam lingkungan sosial masyarakat, yang mana konteks pelajar adalah hal-hal yang mereka temui dalam kehidupan keseharian. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa muatan lokal agaknya menghadirkan pemberian materi dari tujuh unsur kebudayaan masyarakat, tidak hanya pada bahasa lokal. Tetapi 6 unsur lainnya meliputi sistem pengetahuan, sistem organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem ekonomi dan mata pencaharian hidup, sistem religi, serta kesenian masyarakat setempat sekolah (Koentjaraningrat 1977: 202). Hal ini lantas akan membuat sistem pendidikan menengah menjadi relevan dan adaptif dengan konteks sosial masyarakat. Secara tidak langsung akan menuntaskan permasalahan yang dihinggapi oleh sekolah menengah di daerah pedesaan. Permasalahan itu didasari pada penelitian dari Fithriani dan Prabandari (2013) yang menyatakan bahwa tingginya pekerja kerja anak di daerah pedesaan Lampung disebabkan penarikan anak dari daerah sektor pendidikan. Penarikan itu disebabkan oleh persepsi masyarakat akan tingginya nilai ekonomi anak. Paradigma 'lebih baik anak bekerja daripada sekolah' yang dijelaskan Fithriani dan Prabandari sebagai akar permasalahan dalam penelitiannya akan dapat diselesaikan dengan pengangkatan wacana pendidikan sebagai akomodasi kehidupan sosial masyarakat. Oleh karena itu implementasi konsep antropologi sebagai jawaban akan dilakukan melalui penyesuaian kurikulum pelajaran dengan sistem sosial masyarakat setempat.

Penerapan konsep bercorak antropologis dalam paradigma sistem pendidikan sekolah menengah akan memproduksi pemikiran pelajar yang kondusif terhadap lingkungan. Hal ini dipahami dalam konsep ekologi, walaupun bukan konsep khas namun penggunaanya sangat sarat dalam kajian-kajian antropologi. Dalam penjelasan Steward (1968) konsep ekologi, atau lebih tepatnya ekologi kultural, menempatkan persepsi pada individu bahwasanya hubungan dengan lingkungan itu sebagai sebuah bentuk negosiasi. Secara gamblang dituliskan oleh Steward bahwa ekologi merupakan proses adaptif yang denganya sifat masyarakat dan sejumlah fitur budaya yang tidak dapat diprediksi ditanggapi manusia melalui penyesuaian dasar yang dalam prosesnya memanfaatkan lingkungan untuk kelestarian hidup dan kebudayaanya. Pemikiran ini apabila diaplikasikan dalam paradigma sistem pendidikan, tentunya melalui wacana keseharian dan kurikulum, akan membentuk pola pikir pelajar yang kondusif terhadap lingkungan. Karena sejatinya menekankan bahwa hubungan dengan lingkungan merupakan proses beradaptasi dan berkompromi, bukan menguasai. Sehingga secara tidak langsung akan tertanam nilai bagaimana lingkungan tidak serta merta benda mati, melainkan entitas yang layak dan harus dihormati. Pemikiran ini cenderung lahir karena kajian antropologi cenderung mengkaji masyarakat adat (indigenous people) dimana mempunyai tendensi membangun hidup dengan berjalan selaras dengan agenda alam.

Kemudian sumbangan ilmu antropologi pada paradigma sistem pendidikan juga mencakup orientasi pandangan yang kondusif terhadap perbedaan antar manusia. Hal itu terwujud dalam teori nilai yang dikemukakan oleh Kluckhohn dan Strodtbeck. Teori ini, Kluckhohn dan Strodtbeck (1961), menekankan bahwa semua peradaban manusia dihadapkan pada situasi untuk menjawab permasalahan universal. Dalam pencarian dan proses menjawabnya masyarakat memunculkan solusi berbasis nilai (value) yang sifatnya terbatas pada situasi dan teknologi yang mereka miliki namun diketahui secara universal. Keterbatasan lantas membuat budaya yang berbeda memiliki preferensi nilai yang berbeda. Wujudnya dapat dijelaskan seperti antara masyarakat kota dan pedesaan mempunyai persoalan yang sama yaitu persoalan ekonomi dan bagaimana mereka mencari penghidupan. Namun dalam proses menjawab, karena perbedaan lingkungan, antara masyarakat desa dan kota mempunyai preferensi yang berbeda pula. Misalnya masyarakat desa membentuk nilai-nilai yang menunjang kegiatan agraria berorientasi pada produksi, sedangkan masyarakat kota mengembangkan nilai-nilai yang bercorak pada agenda bisnis berorientasi pada jasa.

Dengan penerapan paradigma dan kurikulum pendidikan berbasis nilai, value oriented, secara tidak langsung akan menghadirkan materi pembelajaran yang relevan dengan konteks sosial para pelajar. Apa yang dipelajari di kelas, sesudah lulus, dapat dipraktekan dan menjadi pegangan untuk menunjang kehidupan. Secara kasar pendidikan berbasis nilai sosial akan terwujud dalam hadirnya materi pembelajaran baru, seperti pelajaran agraria bagi sekolah di pedesaan dan pelajaran bisnis digital bagi sekolah di perkotaan. Selain itu penerapan paradigma berbasis nilai ini menjadi penting karena teori dari Kluckhohn dan Strodtbeck menjadi tumpuan untuk membantu negosiasi kelompok etnis dalam memahami satu sama lain, dan untuk memeriksa perubahan nilai antar generasi yang disebabkan oleh migrasi (Hills, 2002). Oleh sebab itu, penerapan paradigma berorientasi nilai pada tenaga pengajar maupun pelajar akan memberikan pemahaman yang kondusif terhadap perbedaan yang ada pada masyarakat. Menjadi akomodir bagi pelajar untuk menavigasi kehidupan dalam konteks sosial yang multikultural.

Penutup

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun