Memar itu masih membiru, berdenyut. Tapi sakit ini tak separah luka di hati. Bahkan setelah berhari-hari. Bermimpi. Menghantui. Saat ia menghantamku.
Aku tak pernah mengira jika ia tega memukulku. Melukaiku yang seharusnya dilindunginya. Menyeretku ke dalam arus masa lalu. Mengetahui bahwa ia pernah menderita. Ya, aku tahu ia pernah sengsara. Aku berusaha menjadi pendengar yang baik untuknya. Tapi apa yang kudapat? Sebuah tinju spesial di lutut kanan.
Mungkin aku bukan psikolog yang baik untuknya. Mungkin aku bukan siapa siapa baginya. Oh Tuhan, mungkin memang aku tak setara, karena aku tak punya mobil. Belum punya pekerjaan tetap. Dan seribu satu alasan lain. Yah, silahkan ngomong seenak hatimu. Hatiku sudah beku.
Tapi malam ini aku terpaku. Kenangan buruk itu masih terhujam di pikiranku. Pergipun ia tak mau. Ingin rasanya kubenturkan kepalaku. Ke tembok yang sekeras batu. Tuhan, aku tahu, tangisan tak bisa mengembalikannya.
“Aku minta maaf, kemarin khilaf”. Begitulah isi sms darinya. Huh, seharusnya kublokir saja nomornya. Atau membeli nomor baru. Segera kubalas, “maaf Eric, harusnya kau jadi petinju saja ya. Dan akan kuikhlaskan dirimu menjadi pacarnya. Tolong jangan hubungi aku lagi”. Lebih baik aku pergi. Biar hujan menghapus air mataku, walau rinduku mengalir sebanyak tetes gerimis.