Maruna kembali ke helikopter setelah mengambil sampel debu di tempat yang mengandung radiasi. Ia terperangah, matanya membesar saat menyadari partikel debu ini diselimuti oleh medan energi yang bergetar.Â
  Ketika hendak turun dari helikopter untuk memberitahukan temuannya, langit tiba-tiba gelap. Maruna menengadah dan menyaksikan sekumpulan awan tampak turun perlahan ke bumi. Keadaan sekitar yang tadinya cerah, tiba-tiba menjadi berkabut. Gemuruh yang menggelegar membuatnya menutup telinga, suara itu begitu memekakan, seolah alam sedang marah. Seketika, suasana yang tadinya hening, berubah menjadi mencekam. Menumbuhkan rasa cemas yang mulai merayapi Maruna.
  Tak lama kemudian, suara tembakan pecah dari arah tenda, Maruna tersentak kaget. Ia tidak berani keluar karena mendengar jeritan kesakitan dari tentara di sekitaran tenda. Cahaya terang berwarna kebiruan beberapa kali terpancar dari sana. Mendadak, semuanya kembali hening.Â
  Berpikir dirinya aman, Maruna tak sadar ada sosok bertubuh jangkung menatapnya dari luar jendela helikopter. Ia menjerit sekuat tenaga saat makhluk itu memegang kakinya dan menyeretnya keluar dari helikopter.Â
  "Katakan. Apa yang kalian cari." Tiba-tiba, suara bergema menyelimuti kepala Maruna. Seolah makhluk ini berkomunikasi melalui telepati.Â
  Maruna meraung memohon ampun. Ia tidak sanggup menatap makhluk asing di hadapannya. Bibirnya bergetar, tubuhnya bergetar, pikirannya kalut.Â
  "Untuk mencari jawaban," jawabnya dengan napas terengah.Â
  Makhluk itu menyentuh kepala Maruna. Dalam sekejap, bayangan saat Desa Nkawu yang menghilang muncul di benaknya. Gambaran yang muncul menjelaskan tentang kejadian malam itu—bagaimana mereka datang dan mengubah seluruh Desa Nkawu menjadi debu dalam sekejap mata. Cahaya putih yang ditembakan dari bagian bawah pesawat angkasa mengubah apa saja yang disentuhnya menjadi partikel debu.Â
  Maruna akhirnya menyadari, makhluk-makhluk ini berasal dari sebuah planet jauh yang peradabannya sangat maju. Mereka terpaksa melakukan ini; planet mereka sekarat, satu-satunya cara bertahan hidup adalah dengan mengambil unsur kehidupan planet lain. Mereka telah melakukan hal yang sama pada planet Mars seratus ribu tahun yang lalu.Â
  Semua bayangan itu lenyap ketika makhluk jangkung berhenti menyentuh kepala Maruna. Ia kembali ke pesawat angkasanya, meninggalkan Maruna dalam kesunyian yang mencekam.Â
  Di kejauhan, Maruna hanya bisa berlutut. Tubuhnya lemah dan hampa. Ia mengatup tangan, menutup mata, dan mengingat semua yang ia cintai—sanak saudara di kampung halaman, orang-orang yang membantunya meraih kesuksesan, mahasiswa pembuat onar yang selalu mewarnai hidupnya; semuanya akan sirna. Â