Hal ini berbeda dengan tokoh perempuan luar Jawa yang sangat heroik dan bermental mendobrak. Sebut saja Tjoet Nya' Dien, Rohana Kudus, Rangkayo Rasuna Said, Martha Christina Tiahahu, dan lain-lain.
Kebijakan Nasional Diskriminatif
Peringatan Hari Kartini, diambil dari hari kelahirannya, dimulai saat Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden No. 108 Tahun 1964 yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Nasional dan sekaligus menetapkan hari lahirnya pada tanggal 21 April sebagai Hari Kartini.
Keputusan Presiden No. 108 tahun 1964 itu dikeluarkan oleh Presiden Soekarno, 3 tahun menjelang kejatuhannya sebagai Penguasa Orde lama. Saat itu Presiden Soekarno sedang terbuai dengan kekuasaanya dan sempat dikukuhkan oleh MPR ketika itu sebagai Presiden seumur hidup dan banyak dilingkari oleh politisi-politisi yang berusaha mencari muka di hadapannya.
Dalam kondisi sosio-politis saat itu, sulit untuk merumuskan landasan filosofis yang obyektif, untuk menetapkan hari lahir Kartini pada 21 April sebagai Hari Kartini. Penetapan RA Kartini sebagai pahlawan nasional dalam Keppres tersebut, mungkin tidak ada salahnya dan hak beliau untuk mendapatkan gelar tersebut.
Namun penetapan tanggal 21 April sebagai Hari Kartini itulah yang tidak dapat diterima secara sosologis, filosofis dan yuridis. Materi muatan Keppres No. 108 tahun 1964, terutama menyangkut penetapannya tanggal 21 April sebagai Hari Kartini, adalah sangat diskriminatif.
Kalau tidak ada diskriminatif seharusnya tidak ada Hari Kartini. Untuk mempersamakannya, seharusnya ada Hari Soekarno, Hari Hatta, Hari Dewi Sartika, Hari Tjut Nya’ Dien, Hari Rohana Kudus, dan lain sebagainya. Keppres itu secara sosio-politis menandakan ada pemikiran Jawa sentries dalam lingkaran kekuasaan Soekarno, dan membedakan peran dan posisi kaum perempuan kaum Jawa.
Seharusnya Keppres No. 108 tahun 1964 ini di tinjau ulang, baik dengan keinginan sendiri dari pemerintahan saat ini, atau ada daerah-daerah luar Jawa mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung RI untuk mengubah penetapan tanggal 21 April setiap tahunnya, tanpa mengubah penetapan Kartini sebagai pahlawan nasional.
Penulis melihat ada potensi disintegrasi, bila ini tidak disikapi sejak awal. Kemungkinan ada kecemburuan dan jurang sosiologis dan politis yang menganga di kemudian hari.
Semoga bermanfaat