Upacara Waisak merupakan peringatan keagamaan penting bagi umat Buddha untuk mengenang Tiga peristiwa suci dalam kehidupan Siddharta Gautama, Yaitu Kelahiran, Pencapaian, dan Wafatnya (Parinibbana). Di Indonesia, khususnya di kompleks Candi Borobudur, Peringatan ini tidak hanya menjadi ritual keagamaan, Tetapi juga menjadi dari bagian kekayaan budaya nasional.Â
Perayaan ini puncaknya akan digelar pada hari Kamis, 12 Mei 2025, pada pukul 08.52 WIB, Namun rangkaian kegiatan waisak biasanya dimulai beberapa hari sebelumnya dan berakhir beberapa hari setelahnya, Perayaan ini dipusatkan di Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Perayaan ini tidak hanya dihadiri oleh umat Buddha itu sendiri. Tetapi dihadiri oleh Lembaga keagamaan, Pemerintah, Komunitas budaya, Wisatawan lokal maupun mancanegara dan serta Media massa nasional maupun internasional.Â
Waisak tidak hanya bermakna spiritual bagi umat Buddha, tetapi juga memiliki nilai simbolik dalam mempererat Kerukunan antar umat beragama, Di sisi lain, pelaksanaan upacara ini juga memperlihatkan peran budaya dalam memperkenalkan peran budaya Indonesia ke mata kancah Internasional.Â
Rangkaian kegiatan Waisak diawali dengan pengambilan Air suci dan Api Dharma dari lokasi sakral, lalu dibawa dalam prosesi ke Candi Mendut. Dan setelahnya dilakukan prosesi jalan kaki menuju Candi Borobudur, diikuti oleh ribuan peserta. Dipelataran candi, umat mengikuti Puja bakti, pembacaan paritta, meditasi bersama, dan melakukan pelepasan 2.569 lampion yang menggambarkan tahun Buddhis 2569 BE.Â
Perayaan Waisak saat ini telah bersentuhan erat dengan perkembangan teknologi digital. Proses dokumentasi, penyiaran langsung (Live streaming), promosi di media sosial, dan partisipasi virtual menjadi bagian tak terpisahkan dalam penyelenggara. Fenomena ini menandai Proses Akulturasi antara spiritual budaya dan budaya modern.
Oleh karena itu fenomena ini dalam perayaan Waisak tidak dapat dihindari di era digital. Tapi penting untuk memahami kalau perubahan bukan selalu bersifat positif atau negatif secara mutlak. Dampak ini sangat amat bergantung pada cara masyarakat dan yang berkempentingan mengartikan serta mengelola perubahan tersebut.Â
Kuatnya kosumsi media digital dapat dianggap sebagai peluang untuk pelestarian budaya itu sendiri. Makanya usaha kita menyeimbangkan antara fungsi Sakralitas, nilai budaya, dan kebutuhan kosumsi zaman modern harus terus dikembangkan, dan  mengedukasi dan kolaborasi antara generasi ke generasi.Â
Sebagai kesimpulan ALKULTURASI ini bukanlah ancaman apabila kita sikapi secara bijaksana. Justru dengan pemahanan generasi ke generasi yang terus berkembang ini maka dapat menjaga Sakralitas dan budaya upacara, agar tetap relevan di tengah perubahan zaman. Â