Masjid Besar Kayutanam namanya. Masjid ini berdiri pada 1878 Masehi, merupakan pecahan dari Masjid Raya Anduriang. Dulu, Nagari Kayutanam dan Nagari Anduriang satu kesatuan. Seiring perkembangan zaman dan perubahan yang terus menanjak maju, dibutuhkan sebuah masjid lagi. Maka dibuatlah Masjid Besar Kayutanam ini oleh niniak mamak yang 20 orang.
Ahmad Umar Datuak Sinaro, Khadi Nagari Kayutanam, Kabupaten Padang Pariaman menyebutkan, Masjid Besar Kayutnama ini berdiri berbarengan dengan perang Aceh. Pertama kali dibuat, masjid ini atapnya ijuk, dan bahan bangunannya banyak memakai kayu.
"Hingga saat ini, masjid yang merupakan pusek jalo pumpunan ikan antara adat dan syarak di Nagari Kayutanam ini telah mengalami empat kali perbaikan dan renovasi, namun tidak merubah bentuk aslinya," kata Datuak Sinaro. Untuk memulai dan mengakhiri Ramadhan, di masjid ini diberlakukan ketentuan secara nasional. Artinya, menunggu pengumuman dari Menteri Agama RI.
Menurutnya, keberadaan masjid ini terus di perpanjang dan di perlebar. Awal bangunannya hanya 14x14 meter. Saat ini telah mencapai 26x14 meter di luar teras masjid. Dengan luas masjid sebesar itu mampu menampung jemaah sekitar 1.000 orang.
Di bagian belakang masjid terletak sebuah bangunan atau asrama dua tingkat, yang fungsinya adalah untuk tempat tidur orang tua-tua yang aktif melakukan sembahyang 40 hari. Sedangkan lantai atasnya digunakan untuk lembaga pendidikan Quran bagi anak nagari.Â
"Alhamdulillah, setiap waktu shalat masuk selalu bergema suara azan. Dan setiap waktu pula shalat berjamaah tidak pernah putus-putusnya," ujarnya.
Datuak Sinaro yang mantan Kepala KUA Kecamatan Lubuk Alung ini menilai, untuk mengatur dan menjalankan manajemen masjid sepenuhnya diserahkan kepada urang siak yang sembilan. Di sebut sembilan, karena jumlah urang siak-nya, ya sembilan orang pula.Â
Mulai dari Khadi, Imam, Bilal, Khatib, dan Labai lima orang. Masing-masing Labai yang lima orang itu berasal dari suku yang lima pula yang ada di Nagari Kayutanam, yakni Suku Koto, Jambak, Guci, Sikumbang, dan Suku Tanjung.
"Apapun bentuk kegiatan dalam masjid ini selalu dengan koordinasi urang siak yang sembilan ini," kata dia. Dulu, di masjid ini melaksanakan peringatan Maulid Nabi MUhammad SAW dengan badikie, makan bajamba, membuat lamang. Namun, setelah gempa bumi di Padang Panjang pada 1926, tradisi maulid seperti demikian sudah tidak lagi dilakukan.
Namun demikian, kata dia, peringatan hari besar Islam tetap jadi agenda rutin di masjid ini. Tetapi cara pelaksanaannya yang disesuaikan dengan perkembangan zaman dan waktu. Pendidikan agama untuk semua orang selalu jadi kebiasaan di masjid ini, sesuai jadwal yang telah dibuat bersama oleh orang siak yang sembilan.
Bagi masyarakat Kayutanam dan sekitarnya, terutama yang telah usia lanjut dan tidak lagi mempunyai beban dalam hidupnya, asrama masjid ini jadi tempat dia memperbanyak amal ibadah, menyiapkan diri menghadap Sang Khaliknya. Mulai dari ibadah baca Quran, sembahyang berjamaah tiap waktu yang dikenal dengan sebutan sembahyang 40 hari, dan ibadah lainnya yang berhubungan dengan Allah SWT.