Mohon tunggu...
AD Tuanku Mudo
AD Tuanku Mudo Mohon Tunggu... Penulis - aktivis sosial kemasyarakatan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

penikmat kopi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Orang Siak, Antara Profesi dan Ibadah

16 September 2020   23:42 Diperbarui: 17 September 2020   06:51 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Satu kelas pakiah di Surau Pekuburan Lubuak Pua secara halaqah bersama seorang gurunya. (foto dok facebook pondok pesantren madrasatul 'ulum)

Dulu, orang yang jadi pakiah ini tergolong orang yang ekonomi orangtuanya lemah. Tamat sekolah SD dan ada juga yang tamat SMP, tak lagi sanggup untuk melanjutkan pendidikan anaknya, satu-satunya jalan, ya mengaji ke surau.

Di surau mereka mengaji siang dan malam. Kamis dan Jumat libur, dan digunakan oleh pakiah itu untuk minta sedekah ke rumah-rumah masyarakat. Mamakiah namanya. Pakai kain sarung, baju koko lengkap dengan kopiahnya, dan disandang sebuah karung untuk meletakan beras yang dikasih masyarakat.

Mamakiah tak boleh jadi kecanduan. Guru di surau mengisyaratkan, bahwa mamakiah hanya untuk tes mental dan nyali. Mamakiah adalah ujian melatih diri, merasakan kemiskinan, dan merasakan bagaimana hidup susah.

Hidup adalah ujian. Begitu juga kader ulama, harus melewati ujian dan cobaan. Dalam mamakiah banyak ujian yang ditemui seorang pakiah. Ada yang dihina orang, ada yang disuruhnya seekor anjing mengejar pakiah yang tengah mamakiah oleh yang punya rumah. Ada pula yang melemparkan sebuah cangkul ke pakiah, saat berhadapan dengan seorang petani.

Dan macam-macam cobaan dan hinaan yang diterima pakiah di lapangan. Belum lagi cobaan rasa malu ketika melihat seorang anak gadis cantik yang memberikan setekong beras ke karung pakiah.

Sebagai sebuah ujian, tentu ada yang tidak lulus, dan banyak pula yang lulus dengan baik. Mereka yang lulus, teruslah dia mengaji, rajin beribadah, pandai bermasyarakat, dan pada akhirnya diangkat jadi tuanku, aktif di tengah masyarakat, menjadi orang Siak-lah dia.

Yang tidak lulus, baru saja sebentar mengaji mereka lari. Meninggalkan surau, memilih mengadu nasib di kampung orang. Merantau namanya. Di rantau bersua teman sama-sama sepermainan dulu yang telah eksis berjualan.

Numpang awalnya, sambil cari kerja apa yang mungkin untuk dilakukan. Jadi anak buah orang pun dilakukannya, asalkan bisa kerja menghasilkan uang.

Kini, sebutan orang Siak, pakiah, nyaris tak terdengar lagi. Pakiah sudah berganti dengan sebutan yang agak elegan; santri.

Santri ini pun telah menjadi luas. Tidak sekedar orang-orang yang mendalami kitab kuning di pesantren. Mereka yang sekolah di Tarbiyah, mengaji Quran di surau pun santri disebut orang.

Begitu juga lulusan pesantren atau yang tamat mengaji di surau ini tak lagi sebatas jadi orang Siak di kampungnya. Ada banyak job yang diisinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun