Mohon tunggu...
AD Tuanku Mudo
AD Tuanku Mudo Mohon Tunggu... Penulis - aktivis sosial kemasyarakatan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

penikmat kopi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Surau dan Tuanku ala Madrasatul 'Ulum Lubuak Pandan

27 Agustus 2020   23:35 Diperbarui: 28 Agustus 2020   01:08 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah rangkaian acara tamat kaji di Ponpes Madrasatul 'Ulum Lubuak Pandan, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Buya H. Marzuki Tuanku Nan Basa memberikan wasiat kepada santri yang tengah menamatkan kajinya. (foto dok facebook ponpes madrasatul 'ulum lubuak pandan)

Ujung dari mengaji di pesantren berbasis surau adalah jadi tuanku. Gelar tuanku adanya di Kabupaten Padang Pariaman. Ada santri dari darek yang bergelar tuanku, lantaran mereka tinggal dan mengabdi di Piaman. Kalau mereka tinggal dan mengajar di kampungnya, tak ada yang namanya orang lain memanggilnya dengan sebutan tuanku.

Tamatan Ponpes Madrasatul 'Ulum Lubuak Pandan sedikit berbeda dengan tamatan pesantren lain. Di Lubuak Pandan yang akan menamatkan kaji itu tingkat marapulai namanya. Mereka selama setahun tiap pagi mengaji langsung dengan Buya Abdullah Aminuddin Tuanku Shaliah, yang dimulai dari awal tahun baru, yakni sehabis lebaran Idul Fitri.

Untuk jadi marapulai kaji itu, santri harus ikut tadarus Tafsir Jalalaein selama Ramadhan, langsung bersama Buya di atas anjung. Tadarus berlangsung sampai tamat. Tiap tahun banyak yang ikut. Tapi yang diambil jadi marapulai hanya lima sampai enam orang santri.

"Padang, Padang," ujar Buya tatkala santri yang tengah membaca kita tafsir itu agak lamban. Padang yang Buya maksudkan, adalah santri dianjurkan untuk membaca cepat, tepat, sesuai maknanya yang sudah dipelajari selama ini. Laksana mobil yang pergi ke Padang, tampak jalannya sangat kencang.

Sewaktu zaman Buya dulu, tadarus itu paling 15 malam. Lalu, yang akan jadi marapulai sehabis lebaran di panggil oleh pimpinan dan guru tuo untuk diberikan taushiyah, penjelasan tata tertib jadi marapulai.

Saat kaji marapulai tamat, ada keinginan sebagian orangtua dan keluarga santri bersangkutan untuk menjadikan anaknya menyandang gelar tuanku. Datanglah mereka ke Lubuak Pandan menemui Buya, dan menanyakan anak kemenakan patut atau tidaknya jadi tuanku. "Dan kami bermohon kepada Buya, anak ini dijadikan tuanku," pinta keluarga itu yang disampaikan salah seorang niniak mamaknya.

Oleh Buya hanya sepatah saja jawabnya. "Di sini tidak ada titik dari langit. Yang ada hanya bosek dari bumi," kata Buya menjawab permintaan keluarga santri yang akan menamatkan kaji marapulainya. Lalu tafsiran kata-kata Buya itulah yang diterjemahkan oleh pimpinan. Selanjutnya, pimpinan pesantren Buya H. Marzuki Tuanku Nan Basa menjelaskan, bahwa lazim di Madrasatul 'Ulum Lubuak Pandan, adalah gelar yang akan dilekatkan ke anak ini di bawa dari kampungnya. Artinya, keinginan dari keluarganya sendiri.

Itu yang dimaksud dengan tidak ada titik dari langit. Buya tak pernah memberi gelar santrinya tuanku ini dan tuanku itu. Yang ada, Buya banyak mengganti nama santri yang dinilainya tidak baik menurut agama. Seperti nama Ardindas, santri dari Gunuang Rajo, Kabupaten Tanah Datar diganti oleh Buya dengan nama Bukhari.

Afredison, santri dari Koto Baru, Padang Sago juga diganti oleh Buya dengan nama Abdurrahman. Artinya, nama santri yang satu kata, kurang familiar dalam nama-nama yang baik menurut agama, Buya juga mengganti dengan satu kata pula. Seperti yang ditemukan di dua nama santri; Afredison dan Ardindas itu.

Meskipun Buya tak pernah memberikan gelar kepada santrinya, tetap saja santri yang menyelesaikan pendidikannya di Lubuak Pandan itu bergelar tuanku setiba di kampungnya. Afredison misalnya. Saat dia tamat marapulai kaji, tak ada gelarnya dilewakan saat prosesi mendoa tamat kaji. Tetapi, anggota DPRD Kabupaten Padang Pariaman ini dipanggil dengan gelar tuanku oleh masyarakatnya.

Buya Marzuki Tuanku Nan Basa yang mulai memimpin Madrasatul 'Ulum tahun 1995, adalah alumni pesantren itu yang tidak menyandang gelar tuanku. Selama di kampungnya Singgalang, Kabupaten Tanah Datar usai menamatkan kaji di Lubuak Pandan, dia dapat gelar Labai Nan Basa. Tapi entah kenapa, yang labainya itu diganti dengan tuanku saat dia kembali menatap di Lubuak Pandan jadi pimpinan dan khalifah Buya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun