Libur Lebaran tahun 2025 ini terasa begitu berbeda. Hiruk pikuk Jakarta yang biasanya memekakkan telinga seolah lenyap ditelan tradisi mudik. Jalanan ibu kota yang biasanya padat merayap kini lengang, memberikan nuansa damai yang langka. Di tengah ketenangan inilah, sebuah ide spontan muncul: mengapa tidak memanfaatkan momen ini untuk mengunjungi tempat yang seringkali terlewatkan di tengah kesibukan biasa? Pilihan jatuh pada Museum Nasional Republik Indonesia, atau yang akrab dikenal sebagai Museum Gajah. Sebuah kesempatan emas untuk menyelami sejarah bangsa tanpa harus berdesakan dengan keramaian.
Pagi itu, langit Jakarta cerah. Perjalanan menuju Jalan Medan Merdeka Barat nomor 12 terasa begitu lancar. Dari kejauhan, bangunan megah Museum Nasional sudah menyambut. Gedung Unit A (Gedung Gajah), dengan gaya Klasik Eropa yang anggun dan patung gajah perunggu hadiah Raja Chulalongkorn dari Siam (Thailand) tahun 1871 di halaman depannya, memancarkan aura keagungan sejarah. Di sebelahnya, berdiri Gedung Unit B (Gedung Arca) yang lebih modern, siap menampung ribuan artefak lainnya.
Memasuki lobi museum terasa seperti melangkah ke dimensi lain. Udara yang sejuk dan suasana yang hening, hanya ditingkahi langkah kaki segelintir pengunjung lain yang mungkin berpikiran sama, menciptakan atmosfer yang khidmat. Museum Nasional, yang didirikan oleh Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen pada 24 April 1778, adalah museum terbesar dan salah satu yang tertua di Asia Tenggara. Koleksinya kini mencapai lebih dari 190.000 benda bernilai sejarah, mencakup periode dari prasejarah hingga masa kini, terbagi dalam kategori seperti prasejarah, arkeologi klasik (Hindu-Buddha), numismatik dan heraldik, keramik, etnografi, sejarah, dan geografi.
Meskipun setiap sudut museum menawarkan cerita yang memikat, tujuan utama saya kali ini adalah menyelami akar terjauh peradaban Nusantara: Koleksi Prasejarah. Ruangan ini seakan menjadi portal waktu yang membawa kita kembali ke era di mana tulisan belum dikenal, namun jejak kehidupan dan kebudayaan manusia sudah terpahat kuat di bumi Indonesia.
Jejak Langkah Leluhur: Memasuki Dunia Prasejarah Indonesia
Langkah kaki membawa saya menyusuri lorong yang didedikasikan untuk masa lampau ini. Suasana terasa lebih purba, pencahayaan diatur sedemikian rupa untuk menonjolkan setiap artefak. Di sinilah perjalanan menembus ribuan, bahkan jutaan tahun, dimulai.
Perhatian pertama tertuju pada replika fosil-fosil manusia purba. Tatapan saya terpaku pada replika tengkorak Pithecanthropus erectus (kini diklasifikasikan sebagai Homo erectus), yang ditemukan oleh Eugne Dubois di Trinil, Ngawi, Jawa Timur pada tahun 1891. Penemuan ini mengguncang dunia paleoantropologi saat itu, menjadi bukti kuat bahwa Indonesia adalah salah satu panggung penting dalam evolusi manusia. Bayangkan, sekitar 1,5 juta hingga 700.000 tahun yang lalu, di lembah Sungai Bengawan Solo, leluhur kita ini sudah berjalan tegak, menggunakan alat-alat batu sederhana untuk bertahan hidup. Melihat replika ini, bukan hanya tulang belulang yang terlihat, tetapi juga sebuah narasi tentang ketahanan, adaptasi, dan permulaan peradaban di kepulauan ini. Data dari situs Sangiran, yang kini menjadi Situs Warisan Dunia UNESCO, semakin memperkaya bukti kehadiran Homo erectus di Jawa, dengan temuan lebih dari 100 fosil individu.
Beranjak lebih jauh, etalase menampilkan artefak dari Zaman Batu Tua (Paleolitikum). Alat-alat batu kasar seperti kapak perimbas (chopper), kapak genggam, dan alat serpih (flakes) dari kebudayaan Pacitanian menjadi saksi bisu kehidupan berburu dan meramu. Alat-alat ini mungkin terlihat primitif di mata kita sekarang, namun pada masanya, ini adalah puncak teknologi yang memungkinkan manusia purba memotong kayu, menguliti binatang, dan mempertahankan diri. Membayangkan tangan-tangan leluhur menggenggam batu-batu ini, menggunakannya dengan terampil di tengah alam liar, membangkitkan rasa hormat pada kecerdasan dan daya juang mereka.
Perjalanan waktu berlanjut ke Zaman Batu Tengah (Mesolitikum), sekitar 10.000 hingga 4.000 tahun Sebelum Masehi. Di era ini, manusia mulai mengenal tempat tinggal semi-permanen, seperti gua-gua (abris sous roche) dan meninggalkan jejak berupa tumpukan sampah dapur dari kulit kerang dan siput (kjokkenmoddinger) di pesisir Sumatera Timur. Teknologi alat batu mulai berkembang, muncul kapak Sumatera (pebble) yang diasah pada satu sisi dan alat-alat dari tulang (bone culture), seperti yang banyak ditemukan di gua-gua di Sampung, Ponorogo. Yang lebih menakjubkan adalah munculnya ekspresi seni berupa lukisan-lukisan dinding gua di Sulawesi Selatan atau Kalimantan Timur, menggambarkan adegan perburuan, cap tangan, dan ritual. Ini adalah bukti awal kemampuan berpikir abstrak dan kebutuhan untuk berkomunikasi melampaui bahasa lisan.
Memasuki bagian Zaman Batu Muda (Neolitikum), sekitar 2.500 SM, terasa ada lompatan peradaban yang signifikan. Inilah era "revolusi pertanian", di mana manusia mulai bercocok tanam secara menetap dan beternak. Etalase menampilkan alat-alat batu yang jauh lebih halus dan terpoles, seperti kapak persegi dan beliung lonjong. Kehalusan pengerjaannya menunjukkan tingkat keahlian dan kesabaran yang tinggi. Penemuan gerabah atau tembikar juga menjadi ciri khas zaman ini, menandakan kebutuhan akan wadah untuk menyimpan makanan, memasak, dan bahkan untuk keperluan ritual. Kehidupan menetap memunculkan struktur sosial yang lebih kompleks dan sistem kepercayaan yang mulai terorganisir.
Salah satu bagian yang paling menggetarkan imajinasi adalah warisan dari Tradisi Megalitikum, yang berkembang seiring atau setelah Neolitikum hingga Zaman Logam awal. Batu-batu besar yang dipahat dan didirikan menjadi monumen monumental: menhir (tugu batu) sebagai sarana pemujaan arwah leluhur, dolmen (meja batu) sebagai tempat sesaji atau penutup kubur, sarkofagus (keranda batu) dengan ukiran-ukiran magis, punden berundak sebagai bangunan suci, dan arca-arca nenek moyang. Melihat replika atau foto-foto situs megalitik seperti di Nias, Sumba, Toraja, atau Pasemah (Sumatera Selatan), kita diajak membayangkan bagaimana masyarakat saat itu mengerahkan tenaga kolektif yang luar biasa untuk memindahkan dan mendirikan batu-batu raksasa ini. Ini bukan sekadar tumpukan batu, melainkan bukti adanya organisasi sosial yang kuat, sistem kepercayaan yang mapan (pemujaan leluhur atau animisme dan dinamisme), serta kemampuan teknis yang mengagumkan.