Mohon tunggu...
Adriyanto M
Adriyanto M Mohon Tunggu... Menyimak Getar Zaman, Menyulam Harapan

Ruang kontemplasi untuk membaca dinamika dunia dengan harapan dan semangat, merangkai ide dan solusi masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pengembangan Diri Berbasis Ramadhan

20 Maret 2025   22:18 Diperbarui: 26 Maret 2025   21:55 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibadah di Bulan Ramadhan (Sumber: Pixabay)

Bulan Ramadhan dikenal sebagai waktu istimewa bagi umat Islam untuk meningkatkan kualitas diri, baik secara spiritual maupun pribadi. Selama satu bulan penuh, berbagai ibadah dijalankan dengan disiplin, dan pada 10 hari terakhir intensitasnya semakin ditingkatkan. Sepuluh hari terakhir Ramadhan bukan sekadar penutup, melainkan puncak ibadah yang harus dimaksimalkan. Inilah waktu terbaik untuk memperbaiki diri, mendekatkan diri kepada Allah, dan meraih ampunan-Nya. Artikel ini akan membahas bagaimana motivasi religius (berbasis janji reward pahala) dan sistem dukungan sosial (keluarga serta komunitas) selama Ramadhan dapat mendorong pengembangan diri seseorang. 

Mari kita bahas satu per satu dengan bahasa yang mudah dipahami, menghubungkan ibadah Ramadhan dengan prinsip pengembangan diri secara umum.

1. Motivasi Berbasis Reward dalam Pengembangan Diri

Janji pahala berlipat ganda mendorong semangat ibadah. Secara psikologis, manusia terdorong bekerja lebih giat ketika mengetahui ada reward (imbalan) besar menanti. Dalam konteks Ramadhan, motivasi berbasis pahala sangat kuat terasa. Umat Islam percaya bahwa setiap amal kebaikan akan mendapatkan balasan pahala yang berlipat di akhirat, keyakinan yang menjadi dorongan kuat untuk berbuat baik. Ramadhan sendiri dipandang sebagai kesempatan emas mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya, karena keutamaan ibadah sunnah dan wajib dilipatgandakan selama bulan ini. Terlebih lagi, di dalam 10 malam terakhir Ramadhan terdapat Lailatul Qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan, di mana setiap amal kebaikan bernilai luar biasa di sisi Allah. Ibadah satu malam itu setara dengan ibadah selama 1000 bulan, suatu reward spiritual yang luar biasa besarnya.

Dengan adanya janji pahala besar tersebut, umat Muslim termotivasi untuk meningkatkan kualitas ibadah dan diri. Mereka rela bangun lebih awal, menahan lapar dahaga, bersedekah lebih banyak, hingga memperbanyak shalat malam, semuanya karena yakin akan imbalan Allah yang dijanjikan. Prinsip reward ini sejalan dengan teori motivasi bahwa insentif besar dapat memicu perubahan perilaku positif. Dalam Islam, keinginan meraih pahala dan ridha Allah menjadi pendorong internal yang kokoh untuk memperbaiki diri. Contohnya, seseorang yang mengetahui keutamaan sedekah di bulan Ramadhan (pahalanya dilipatgandakan) akan terdorong memperbaiki sifat kikirnya dan menjadi dermawan selama bulan ini. Demikian pula, keyakinan akan diampuninya dosa bagi yang bersungguh-sungguh beribadah di Ramadhan memotivasi banyak orang untuk meninggalkan kebiasaan buruk dan menggantinya dengan kebaikan. Motivasi religius berbasis reward inilah yang menjadi modal awal penting dalam proses pengembangan diri selama Ramadhan.

2. Konsistensi dan Intensifikasi Kebiasaan Positif

Aktivitas 30 hari membentuk kebiasaan, 10 hari terakhir mengintensifkannya. Perubahan diri yang langgeng tak lepas dari pembentukan kebiasaan positif secara konsisten. Menariknya, durasi puasa Ramadhan ~30 hari sangat ideal untuk menanamkan kebiasaan baru. Penelitian menunjukkan dibutuhkan rata-rata sekitar 30 hari untuk membentuk atau menghentikan sebuah kebiasaan buruk. Betapa sesuai, Ramadhan berlangsung selama 29--30 hari, sehingga dapat menjadi periode pelatihan kebiasaan yang efektif. Selama sebulan penuh, seorang Muslim membiasakan diri disiplin: bangun sebelum subuh setiap hari, menahan lapar dan emosi sepanjang siang, serta menjalankan ibadah secara teratur. Pola repetisi harian ini secara ilmiah membantu mengondisikan perilaku baru hingga melekat menjadi rutinitas.

Pada 10 hari terakhir, kebiasaan positif yang sudah terbentuk kemudian diintensifkan. Dalam ajaran Islam, Rasulullah memberi teladan dengan meningkatkan ibadah di akhir Ramadhan: "Apabila memasuki 10 hari terakhir Ramadhan, beliau bersungguh-sungguh (dalam ibadah), menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya" (H.R. Bukhari & Muslim). Umat Islam dianjurkan makin rajin shalat malam, tilawah Al-Qur'an, i'tikaf di masjid, dan amal lainnya menjelang akhir Ramadhan. 

Ada dua alasan utama mengapa intensifikasi ini penting. Pertama, karena 10 hari terakhir adalah penutup Ramadhan yang menentukan kualitas keseluruhan. "Setiap amalan itu dinilai dari akhirnya," demikian nasihat ulama. Prinsip ini mengajarkan bahwa konsistensi hingga akhir akan memberikan hasil terbaik, sehingga orang terpacu menutup Ramadhan dengan prestasi ibadah semaksimal mungkin. Kedua, intensifikasi dilakukan demi meraih Lailatul Qadar. Dengan meningkatkan ibadah di setiap malam terakhir, peluang mendapatkan malam mulia itu semakin besar, beserta ampunan dan pahala tak terhingga yang menyertainya. Harapan akan reward spesial ini secara otomatis meningkatkan semangat dan fokus ibadah di penghujung Ramadhan.

Kebiasaan-kebiasaan baik yang dijalani dengan konsisten lalu diperkuat di fase akhir akan meninggalkan momentum positif. Ibarat pelari yang sprint di garis finis, seorang Muslim yang menggenjot ibadah di akhir Ramadhan akan merasakan kepuasan spiritual dan mental yang lebih tinggi. Momentum ini bisa dimanfaatkan untuk melompat ke tingkat pengembangan diri berikutnya di luar Ramadhan. Misalnya, seseorang yang terbiasa qiyamul lail (shalat malam) secara intens di 10 malam terakhir akan lebih mudah melanjutkan kebiasaan shalat Tahajud secara rutin setelah Ramadhan. Konsistensi selama 30 hari ditambah "bonus" intensitas di 10 hari terakhir menjadikan kebiasaan positif tersebut kian mendarah daging, sehingga lebih kokoh bertahan dalam jangka panjang.

3. Pentingnya Support System dalam Perubahan Diri

Dukungan keluarga dan lingkungan mempermudah proses. Ramadhan bukan perjalanan individual semata, melainkan pengalaman kolektif yang sarat dukungan sosial. Selama bulan suci ini, keluarga dan komunitas berperan besar menjadi support system yang menjaga setiap individu tetap termotivasi. Contoh sederhana tampak saat waktu sahur dan berbuka: anggota keluarga saling membangunkan untuk sahur, menyiapkan makanan bersama, lalu berbuka puasa bareng. Kebersamaan keluarga saat ibadah seperti ini memberikan dorongan moral yang kuat. Suasana di rumah yang kondusif -- misalnya orang tua yang ikut tadarus Quran, atau saudara yang mengajak shalat tarawih berjamaah -- membuat seseorang merasa didukung dan tidak sendiri dalam berbuat kebaikan. Dukungan sosial semacam ini membantu individu merasa diakui dan terhubung dengan orang lain, sehingga meningkatkan rasa percaya diri dalam berubah ke arah positif.

Dalam Islam, pentingnya support system juga dicontohkan oleh Nabi Muhammad . Beliau tak hanya meningkatkan ibadah pribadi di akhir Ramadhan, tapi juga membangunkan keluarganya agar ikut shalat malam. Artinya, keluarga diajak bersama-sama meraih kebaikan tersebut. Ini menunjukkan bahwa berada dalam lingkungan yang juga bersemangat ibadah akan saling menguatkan. Nasihat agama menganjurkan kita untuk saling mengingatkan dalam kebaikan, dan hal itu sangat berlaku di bulan Ramadhan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun