“Ah, tidak. Aku tak memikirkan apa pun.”
“Benar?”
“Iya.”
“Saya mau sedikit bicara, boleh?”
“Bicara apa?”
Umiroh, yang masih muda dan pipinya masih merona segar itu tersenyum-senyum pada Nur.
“Tepatnya mau minta doa restu,” kata Umiroh.
“Doa restu?”
“Saya mau menikah bulan depan. Kalau tak ada halangan, saya mengharapkan, Mbak Nur mau datang ke pernikahan saya,” jelas Umiroh sembari menyerahkan sepucuk undangan yang terbungkus plastik bening. Nur menerima undangan itu dan mengamatinya dengan seksama. Indah sekali. Ada nama Umiroh dan nama calon suaminya di situ. Kapankah namaku akan tertulis dalam surat undangan seperti itu, bersanding dengan nama seorang laki-laki calon suamiku? Nyeri hati Nur dengan pertanyaan yang merayapi hati kecilnya. Alangkah beruntungnya kamu, Umiroh. Tak perlu menunggu hingga layu seperti aku. Tentu kamu bahagia sekali saat ini, Umiroh.
“Mbak?”
“Eh, ya?”