Mohon tunggu...
Adri Wahyono
Adri Wahyono Mohon Tunggu... Penulis - Freelancer

Pemimpi yang mimpinya terlalu tinggi, lalu sadar dan bertobat, tapi kumat lagi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Nur] #2 Perawan Si Pelayan

16 Desember 2015   14:11 Diperbarui: 16 Desember 2015   21:55 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di dalam angkot adalah keadaan yang tak disukai Nur. Di sana tak ada kehangatan dan penghargaan seperti di dusunnya. Di dalam angkot semua mata memasang kewaspadaan dan kadang kecurigaan. Di dalam angkot, mata adalah tempat para pemiliknya mengambil keputusan langsung terhadap apa-apa yang dipandangnya. Jika yang dilihat mata adalah sesuatu yang indah, cantik, maka mata itu memasang sedikit kehangatan, bahkan minat. Tapi jika mata-mata itu menemukan hal-hal ganjil seperti misalnya, sepasang mata julingnya, mata mereka mengernyit, menyiratkan kesan keberatan.

Nur terkadang merasa berdosa menuduh demikian pada mata-mata itu, dan mengutuki dirinya sendiri yang terlampau perasa. Tapi pandangan mata adalah cerminan perasaan seseorang. Mata bukan tempat seseorang menyembunyikan perasaan. Justru mata adalah tempat di mana perasaan seseorang bisa diraba. Tak mungkin orang yang memandangnya dalam angkot tak memendam perasaan enggan melihat jika matanya mengernyit. Menjadi seseorang dengan kekurangan pada sepasang mata membuatnya menjadi peka terhadap pandangan mata, dan yakin jika ia tak pernah salah membaca perasaan seseorang yang memandangnya.

Untuk pagi ke sekian, Nur harus menekan perasaannya lagi terhadap mata-mata yang melihat sepasang matanya di dalam angkot. Setelah tadi pagi nenek membicarakan sepasang matanya, sekarang orang-orang di dalam angkot membicarakannya kembali dengan mata-mata mereka. Nur memilih untuk menunduk pada akhirnya. Tekad yang selama ini dibangunnya untuk tetap tegak, apa pun pandangan orang terhadap dirinya, belum lagi cukup kuat. Menunduk membuatnya lebih damai dan terlindungi.

Di dalam angkot, obrolannya dengan Danisih juga harus terhenti dengan sendirinya karena perasaan segan. Sebenarnya tak mengapa mereka mengobrol, tapi dalam angkot yang penuh sesak, akan ada lebih banyak orang yang keberatan dengan obrolan. Apalagi jika yang mengobrol adalah orang-orang dusun yang topiknya dianggap primitif bagi orang kota yang merasa lebih maju ribuan langkah. Sekali lagi itu bisa dilihat dari cara mereka memandang orang-orang dusun yang mengobrol di dalam angkot. Jika yang mengobrol adalah perempuan-perempuan kota yang berseragam pegawai pemerintahan dengan topik-topik wah, rasa keberatan orang-orang disembunyikan dalam-dalam.

Bukan sekali atau dua kali Nur membayangkan, dan terkadang berharap, bahwa dari angkot ia akan bertemu dengan seorang laki-laki yang memperhatikannya, mencoba mendekatinya, lalu, lalu, dan lalu, seperti yang terjadi pada Marsih dan Ropah, bertemu jodoh karena kebiasaan bertemu setiap pagi di angkot. Tapi seperti kata nenek, sepasang matanya menghalangi itu. Setidaknya sampai pagi ini.

Tak mungkin seseorang akan melihat apalagi memperhatikannya jika ia menunduk saja selama di angkot. Tapi dengan kepala tegak – lagi-lagi – sepasang matanya pada kenyataannya selalu menghilangkan alasan bagi mata-mata lain untuk setidaknya, memandang hangat. Apalagi mengharap pandangan berbeda.

Pemikiran demikian yang memenuhi benaknya membuat Nur merasa suntuk. Ia ingin segera sampai di toko dan bersembunyi di gudang di mana tak ada orang yang melihatnya kecuali beberapa kawan dan majikannya. Tapi pikiran yang lebih dulu sampai di gudang toko lebih cepat daripada angkot yang membawanya itu ternyata hanya mengantarkannya kepada kenyataan menyedihkan yang lain. Keberadaannya di toko itu.

Dulu ia ditempatkan di depan untuk melayani pembeli. Tapi beberapa pembeli seringkali enggan dilayaninya. Keengganan itu kadang dengan nyata ditunjukkan. Entahlah, ternyata sepasang mata yang tak lazim membuatnya dibedakan.

“Kamu di gudang saja, Nur. Bukan saya keberatan kamu di depan, tapi jika melihat ada pembeli yang keberatan dilayani kamu, saya merasa kasihan padamu. Daripada jadi pikiran, kamu di gudang saja, toh kamu tetap kerja dengan gaji yang sama,” demikian kata Koh Hendra beberapa tahun lalu.

Ia tak keberatan di gudang. Ia juga senang majikannya bersimpati dengan keadaannya dan bertindak bijaksana menurut ukurannya. Di toko lain barangkali ia sudah dipecat karena membuat pelanggan enggan datang, atau bahkan mungkin dari awal tak diterima bekerja. Tapi dengan berada di gudang, ia merasa kesempatan untuk bertemu dengan lebih banyak orang, dan kesempatan dalam hal jodoh semakin hilang. Di mana ia berharap kalau bukan di tempat kerja. Di dusun Sampang sana, semua laki-laki sudah kenyang melihatnya. Boro-boro mengharap seorang, pandangan mereka saja seperti tak berselera.

“Berhias ya, Ndhuk. Kata Mbah Kaji Sono, itu juga cara untuk merayu Gusti Allah agar Dia kesengsem dan segera mengirimkan jodoh untukmu. Katanya, Gusti Allah senang dengan yang cantik-cantik.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun