Mohon tunggu...
Adrian Susanto
Adrian Susanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - aku menulis, aku ada

pekerjaan swasta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

UU Perlindungan Anak: Derita Guru

8 November 2012   13:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:45 25633
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita bisa perhatikan contoh kasus di SMK Gajah Mungkur di atas. Demi pembinaan dan penegakan disiplin kepada siswa, guru terpaksa menampar siswanya. Akan tetapi guru tersebut dihadapkan pada jerat hukum. Maksud baik sang guru justru berakibat buruk. Bukankah guru itu ingin menyadarkan murid itu. Ada banyak cara penyadaran. Tempeleng merupakan salah satu cara.

Mungkin orang akan berpikir, kan bisa pakai cara lain yang tanpa kekerasan. UU Perlindungan Anak tidak membolehkan cara kekerasan, padahal cara itu bisa menjadi sarana paling efektif. Tingkat penyadarannya lebih kuat ketimbang hanya menegur dan menasehati. Tempeleng (dan itu hanya sekali) bisa merupakan bentuk shock therapy.

Oleh karena itu, saya katakan bahwa UU Perlindungan Anak menjadi penderitaan para guru di sekolah. Mereka tidak berani bertindak tegas kepada murid karena takut akan sanksi dari UU Perlindungan Anak. Bayangkan saja, kena pasal 80 ayat (1) saja sudah merupakan penderitaan yang amat sangat bagi guru yang berpenghasilan pas-pasan. Mau masuk penjara, asalkan tiap bulan gajinya jalan terus sih tak akan jadi masalah. Tetap mengajar dengan ganti rugi sebesar 72 juta rupiah, jelas akan memberatkan keluarganya.

Saya punya satu contoh kasus. Di sebuah sekolah menengah pertama, ada siswa sedang berkelahi. Datang seorang guru melerai. Eh, malah dia dicaci maki oleh seorang siswa yang berkelahi tadi, karena tidak terima acara duelnya dipisahkan. Karena emosi, maklum sang guru juga masih muda dan caci maki itu terjadi di muka umum, diketahui murid lain, dan demi harga diri, guru itu menampar siswa itu. Cuma sekali saja. Ujung ceritanya sang guru dilaporkan ke polisi dan sempat beberapa hari ditahan di penjara sebelum akhirnya dibebaskan dengan tebusan.

Apa yang terjadi setelah peristiwa itu? Para guru lain tidak berani bertindak tegas kepada siswa dan para siswa berbuat seenaknya saja. Anak-anak tumbuh “liar” dan para guru tak berani menegur. Yang terjadi adalah proses pembiaran. Ketika guru mau bertindak tegas, anak dapat mengancam dengan UU Perlindungan Anak. Anak akan dengan mudah mengejek gurunya bahkan menghina guru dan guru tidak bisa berbuat apa-apa karena takut dengan UU Perlindungan Anak.

Saya pernah berdiskusi dengan seorang mantan kepala sekolah di dua sekolah ternama di tempat saya, yang sekarang sudah menjadi sepuh. Dia mengatakan bahwa UU Perlindungan Anak merusak dunia pendidikan. Dia sangat tidak setuju dengan UU Perlindungan Anak, karena UU itu bisa digunakan anak untuk merendahkan martabat guru. Dia sangat prihatin dengan nasib para guru.


Hukuman Bukan Penganiayaan

Saya melihat ada sedikit kekeliruan dalam masalah UU Perlindungan Anak. Kekeliruan itu berkaitan dengan kata “penganiayaan”. Bagi saya yang masuk kategori penganiayaan adalah kekerasan yang bertubi-tubi. Ia mirip dengan penyiksaan. Misalnya, memukul atau menempeleng berkali-kali, sekalipun murid sudah minta ampun. Tapi jika cuma sekali, itu bukan penganiayaan. Kalau dikatakan kekerasan baru bisa. Kalau kasus seperti IPDN saya baru setuju jika itu dikatakan penganiayaan dan memang kejam, karena kekerasan yang dilakukan bertubi-tubi. Misalnya, dipukul lalu ditendang berkali-kali. Karena itu wajar jika ada yang cacat dan bahkan sampai tewas.

Saya tidak setuju jika menempeleng yang hanya sekali saja masuk kategori kekejaman (pasal 13 ayat 1) atau hukuman yang tidak manusiawi (pasal 16 ayat 1). Dalam kasus-kasus penganiayaan yang terjadi di sekolah yang dilakukan oknum guru selama ini, bagi saya masih masuk kategori kekerasan, bukan kekejaman, penganiayaan apalagi hukuman yang tidak manusiawi.

Yang menjadi persoalan, haruskan kekerasan itu dihukum, jika kekerasan itu bertujuan baik, yaitu menyadarkan orang akan kesalahannya. Untuk bisa sampai pada tingkat sadar itu memang sering menyakitkan. Kekerasan itu ibarat shock therapy bagi pasien.

Selain itu harus juga diperhatikan soal kewajiban sang anak. Dalam UU Perlindungan Anak, khususnya bab yang berbicara soal hak dan kewajiban anak, ada begitu banyak pasal berkaitan dengan hak anak (18 pasal), sementara kewajiban hanya satu pasal saja (pasal 19). Cukup menarik kalau kita perhatikan bunyi pasal 19 UU Perlindungan Anak ini:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun