Mohon tunggu...
Yosika Pramangara Admadeli
Yosika Pramangara Admadeli Mohon Tunggu... Relawan - Learn and Sharing Psychological Topic

Fresh Graduate from Diponegoro University . “The great aim of education is not knowledge but action.” — Herbert Spencer

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Dimensi yang Hilang dari Perang Melawan Covid-19

4 Agustus 2020   10:21 Diperbarui: 4 Agustus 2020   10:34 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Tahun 2020 dibuka dengan penuh ujian. Negara-negara di berbagai belahan dunia menggelar perang besar-besaran. Bukan perang dunia ketiga seperti yang diwacanakan, bukan pula perang dagang Amerika dan China, melainkan perang melawan ancaman bahaya di tengah keramaian, di transportasi umum, bahkan di gagang pintu. Mengintai dimana-mana dan membunuh secara perlahan. Korban bergelimpangan, rumah sakit penuh, kuburan penuh, negara kacau, warga risau. Slogan “merdeka atau mati” di kepala pejuang kemerdekaan sudah tidak relevan lagi rupanya, diganti “tetap di rumah atau mati” yang ada di kepala kita saat ini.

Coronavirus Disease yang ditemukan tahun 2019 atau lebih dikenal Covid-19 merupakan virus yang banyak menyita perhatian berbagai negara saat ini. Covid-19 pertama kali muncul di Wuhan, China pada penghujung tahun 2019. Awalnya penyakit ini hanya berstatus endemik karena hanya menginfeksi di satu wilayah saja, tetapi setelah memasuki tahun 2020 statusnya dinaikkan menjadi pandemi. Perbedaan endemik dengan pandemi tersebut dilihat dari seberapa besar wilayah yang terpapar wabah. Endemik menurut Center for Disease Control and Prevention (CDC), merupakan wabah dalam suatu wilayah geografis tertentu, seperti di satu negara, benua atau wilayah, sedangkan pandemi adalah epidemi yang telah menyebar di beberapa negara atau benua, biasanya mempengaruhi sejumlah besar orang. Pandemi berbahaya ini kemudian masuk ke Indonesia dan direspon serius oleh pemerintah.

Pemerintah pusat maupun daerah telah melakukan banyak hal untuk penanganan pandemi ini. Kucuran insentif sampai pada pengadaan rumah sakit rujukan untuk warga yang terpapar Covid-19 telah dilakukan. Menurut berita yang dilansir oleh CNN 31 Maret 2020, Presiden Jokowi telah mengalokasikan dana sebesar 405 triliun untuk  penanganan Covid-19. Saya rasa bukan merupakan hal yang mudah untuk mengalokasikan dana tersebut ditengah melemahnya nilai rupiah yang sempat mencapai Rp. 16.000 per Dollar AS.

Di bidang ekonomi, pemerintah juga telah meringankan pembayaran pajak listrik bagi wilayah terdampak. Di bidang pendidikan, pemerintah juga telah memberikan akses pembelajaran melalui siaran di Televisi Republik Indonesia (TVRI) untuk anak sekolah dan juga akses lainnya yang menunjang proses belajar mengajar di rumah. Di bidang ketenagakerjaan, juga diberikan kesempatan bagi pekerja untuk bekerja dari rumah dan instansi atau perusahaan didorong memberikan pesangon bagi mereka yang terpaksa harus diistirahatkan sementara. Bahkan melalui akun Instagramnya, Presiden Jokowi mengabarkan bahwa pemerintah telah memberikan paket sembako untuk 1,2 juta keluarga di DKI Jakarta dan menyusul 600.000 keluarga di Bodetabek. Hal ini membuktikan bahwa upaya yang dilakukan pemerintah sudah cukup besar.

Upaya yang sedemikian banyaknya tersebut ternyata masih belum cukup di mata masyarakat. Masih banyak masyarakat yang mengungkapkan belum efektifnya usaha pemerintah dalam penanganan wabah ini. Fakta ini dapat dilihat dari berita yang dilansir oleh Kompas pada 2 April 2020 mengungkapkan bahwa sebesar 42,8% masyarakat menilai bahwa upaya pemerintah masih kurang efektif dalam melakukan penanganan wabah Covid-19.

Mengkritik tanpa berusaha menghalau virus, demikian fakta yang kita hadapi. Masih banyak masyarakat yang tidak melakukan protokol kesehatan. Misalnya tidak menggunakan masker saat bepergian, malas mencuci tangan, dan mengadakan kegiatan yang melibatkan orang banyak berkumpul. Sebagai contohnya Kapolsek Kembangan yang dimutasi dan diperiksa karena telah mengadakan resepsi pernikahan yang jelas-jelas tidak diperbolehkan, dikarenakan kegiatan ini mengumpulkan banyak orang (news.detik.com, 2 April 2020). Jadi pertanyaannya adalah, dimensi apa yang tidak dimiliki masyarakat saat ini sehingga mereka berperilaku demikian?

Ketakutan Berlebih Perburuk Keadaan

Masyarakatnya atau pemerintahnya, semuanya saling berkaitan. Karena sebaik apapun kebijakan pemerintah, apabila masyarakatnya tidak mematuhi maka akan sama saja, itu semua tidak akan berjalan efektif. Sehingga pada akhirnya masyarakatlah yang menjadi penentu keberhasilan perang melawan Covid-19 ini. Akan tetapi dengan fakta tersebut, virus yang sudah masuk ke Indonesia ini semakin meluas. Kondisi meluasnya virus itu sekarang menghasilkan fenomena baru di masyarakat, yaitu banyak masyarakat mengalami ketakutan yang berlebihan.

Menurut psikologi, ketakutan atau kecemasan yang berlebihan dapat menimbulkan gangguan psikosomatis. Psikosomatis ini dapat membuat individu menjadi memanifestasikan rasa takutnya pada gejala fisik yang dia alami. Hal ini sudah terjadi pada seorang wartawan VOA yang mengikuti NICAR journalism Conference. Dalam video yang diunggah oleh VOA (16 Maret 2020) wartawan atas nama RH ini terlihat sangat cemas setelah mendengar bahwa salah satu peserta konferensi yang telah diikutinya ternyata positif Corona.

RH sempat ingin melakukan tes tetapi ditolak oleh banyak rumah sakit, akhirnya dirinya melakukan isolasi mandiri. Selama isolasi mandiri tersebut RH mengalami demam, batuk kering, dan tenggorokan tidak nyaman. Tetapi pada hari ke-7 setelah dirinya lebih tenang daripada hari-hari sebelumnya, ternyata semua yang dirasakannya itu menghilang. Semua yang dialami RH ini adalah salah satu bentuk dari psikosomatis, dimana sakit demam, batuk, dan tenggorokan itu hanya manifestasi dari kecemasannya saja. Atau bisa saja itu semuanya bukan sugesti, tetapi memang penyakit yang timbul karena RH terlalu memikirkan kesehatannya sehingga RH mengalami kelelahan fisik dan imunitasnya menurun.

Fenomena ini juga sudah dikonfirmasi oleh Psikolog Wiene Dewi dari Himpunan Psikolog Indonesia (Himpsi) yang mengatakan bahwa kepanikan, cemas dan stres dapat menyebabkan daya tahan tubuh menurun sehingga rentan terhadap penyakit termasuk terinfeksi virus Corona (tirto.id, 19 Maret 2020). Oleh karenanya dapat disimpulkan bahwa ketakutan berlebihan ini justru malah dapat memperburuk keadaan. Sekarang pertanyaannya bagaimana cara mengatasi ketakutan berlebihan tersebut?

Tahun 2018 penelitian yang dilakukan oleh Yogi membuktikan bahwa optimisme dapat menurunkan tingkat kecemasan pada individu. Untuk dapat dikatakan sebagai individu yang optimis, seseorang tidak hanya harus memiliki prediksi tentang hal baik akan terjadi (berpikir positif) melainkan juga memiliki perencanaan untuk keluar dari keadaan yang tidak diinginkan. Oleh karena itu dapat dirumuskan dua ranah optimisme yang bisa dilakukan, yaitu optimisme pada diri dan optimisme pada keadaan yang sedang terjadi.

Optimisme pada diri yang dimaksud adalah percaya bahwa diri kita mampu mencegah virus tersebut supaya tidak menginfeksi tubuh sendiri. Kita sudah banyak menerima informasi kesehatan melalui televisi, media sosial, koran, atau platform khusus kesehatan lainnya yang sangat jelas memberikan petunjuk apa saja yang dapat kita lakukan. Harusnya informasi seperti inilah yang lebih kita berikan perhatian lebih supaya kita lebih peduli untuk menjaga kesehatan. Oleh karena itu menumbuhkan sikap optimisme dalam diri sangatlah penting dengan cara berpikir bahwa diri kita mampu menjaga ketahanan tubuh dengan cara melakukan langkah-langkah yang dapat meningkatkan imunitas serta memperkecil kemungkinan terpapar Covid-19.

Optimisme yang berikutnya adalah optimisme pada keadaan. Optimisme merupakan upaya mencari sisi positif dari kondisi wabah ini dan perencanaan strategi melawan Covid-19. Tentunya bagian ini sangat sulit bagi kebanyakan orang, karena perlu kekayaan refleksi dan kearifan untuk mencari sisi positif dari suatu kondisi yang tidak menyenangkan.

Sebagai salah satu upaya membantu menumbuhkan optimisme jenis ini, masyarakat perlu tahu bahwa menurut Dr. Howard Markel telah menangani virus SARS, virus yang serumpun dengan Covid-19, dan dia mengungkapkan bahwa wabah ini akan segera selesai dengan didukung adanya perubahan cuaca serta kelembaban karena memasuki musim panas. Menurut Markel, wabah Covid-19 ini akan selesai pada bulan Juni atau Juli 2020. Sehingga dapat disimpulkan bahwa wabah ini bukanlah wabah yang berlangsung seumur hidup, wabah ini akan segera selesai. Oleh karenanya marilah tidak cemas secara berlebihan, namun sambil menunggu waktu berakhirnya wabah ini kita bisa melaksanakan protokol Covid-19.

Faktanya saat ini masih banyak warga yang merasa takut secara berlebihan, sehingga dapat disimpulkan bahwa banyak masyarakat yang belum memiliki sikap optimis menghadapi masalah ini. Perasaan cemas berlebihan yang diakibatkan ketidakhadiran optimisme tersebut kemudian mendorong kita menjadi reaktif dan menyalahkan siapa atau apa saja yang dianggap memperburuk keadaan. Budaya menyalahkan ini terus dilakukan tanpa menilik kembali ke dalam diri, apakah kita sendiri sudah benar dalam menyikapi suatu peristiwa.

 

Perlunya Ganti Budaya di Tengah Wabah

Wabah ini telah mendatangkan banyak kerugian bagi berbagai pihak, sehingga salah apabila justru dipergunakan sebagai ajang untuk saling menyalahkan atau membenarkan. Bukan pula sebagai ajang untuk menyudutkan atau menunjukkan pembelaan, tapi seharusnya wabah ini justru mendorong kita untuk bergotong royong menyelesaikannya bersama. Sebagaimana nilai gotong royong di Indonesia menjadi nilai yang terus menerus ditekankan. Tidak selalu harus dengan memberikan donasi yang besar, tetapi dapat dimulai dengan mendukung upaya pemerintah dalam melakukan penanganan.

Pemerintah sebagai organisasi “pelayan” masyarakat saat ini membutuhkan dukungan dari warganya juga, terutama dari para pengguna media sosial supaya dapat turut menggaungkan budaya empati, bukan budaya menghujat. Empati ini tidak susah, cukup dengan percaya bahwa pemerintah telah melakukan upaya terbaiknya untuk menangani wabah ini dan percaya pula bahwa wabah ini akan segera selesai. Dengan adanya kepercayaan, maka dengan sendirinya kita akan tergerak memberi dukungan pada pemerintah.

Dukungan sebagai bentuk empati sudah seharusnya dimanifestasikan melalui perilaku. Perilaku kita lah yang kemudian menjadi salah satu indikator suatu kebudayaan. Seperti saat ini, influencer yang sudah bermunculan telah memicu masyarakat disekitarnya untuk ikut menjadi influencer juga. Fenomena ini adalah positif untuk menumbuhkan budaya empati di tengah masyarakat Indonesia. Budaya inilah yang perlu diteruskan hingga bisa mengganti budaya menghujat.

Dengan penuh kesadaran, mari kita biarkan negara menjalankan tugasnya, yaitu mengurusi masalah pandemi ini. Jangan biarkan diri dan hujatan kita bertransformasi jadi “virus” baru yang membuat negara semakin carut marut. Teringat akan pepatah Jawa “Rukun agawe santosa, Crah agawe bubrah” yang artinya kerukunan akan membawa kedamaian ketentraman dan konflik menimbulkan kehancuran. Oleh karena itu, saya rasa sudah seharusnya pepatah tersebut mengilhami segala tindakan kita di saat seperti ini. (***)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun