Kami, bangsa Indonesia, dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Kalimat proklamasi itu pasti langsung mengingatkan kita pada tanggal 17 Agustus 1945, ketika Soekarno dan Hatta berdiri di depan rakyat Indonesia membacakan teks yang begitu ikonik. Tidak heran bila keduanya disebut sebagai Bapak Proklamasi Indonesia, karena memang merekalah figur sentral pada hari kemerdekaan bangsa ini.
Namun, tahukah kalian bahwa jauh sebelum 17 Agustus 1945, ada seorang tokoh Nusantara yang lebih dulu memproklamasikan kemerdekaan Indonesia? Sosok itu adalah Nani Wartabone, pria asal Gorontalo yang pada 23 Januari 1942 berani membacakan naskah proklamasi kemerdekaan di tanah kelahirannya. Sayangnya, jasa besar ini tidak selalu mendapat sorotan yang semestinya. Maka, mari kita telusuri kisah Sang Projenitor Proklamasi Indonesia.
Gorontalo, sebuah wilayah di utara Pulau Sulawesi, dikenal dengan sebutan "Serambi Madinah" karena kuatnya pengaruh Islam dalam kehidupan masyarakatnya sejak abad ke-16. Wilayah ini dulunya merupakan kerajaan yang makmur dengan pusat perdagangan di Teluk Tomini. Letaknya yang strategis membuat Gorontalo sering jadi jalur penting rempah-rempah, sekaligus sasaran kolonial Belanda.
Meski Belanda berusaha menanamkan kekuasaan, semangat perjuangan masyarakat Gorontalo untuk merdeka tak pernah padam. Dari tanah inilah lahir seorang tokoh besar, Nani Wartabone, yang kelak akan mengukir sejarah sebagai proklamator kemerdekaan Indonesia jauh sebelum 1945.
Siapa Nani Wartabone?
Nani Wartabone lahir di Suwawa, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo, pada 30 April 1907. Ia berasal dari keluarga yang dekat dengan pemerintahan Belanda. Ayahnya, Zakaria Wartabone, bekerja sebagai aparat pemerintah Hindia Belanda, sementara ibunya, Syairah Moduto, merupakan keturunan penguasa Suwawa. Sebagaimana diketahui, keturunan bangsawan pada masa itu kerap mendapat perlakuan istimewa dari kolonial. Tetapi berbeda dengan sebagian kalangan priyayi, Nani justru menolak dominasi Belanda dan melihat penjajahan sebagai sesuatu yang tidak bisa diterima.
Semangat perlawanan itu tumbuh sejak ia duduk di bangku sekolah. Dalam biografi pahlawan nasional Nani Wartabone diceritakan, ia menyaksikan diskriminasi yang dilakukan guru-guru Belanda terhadap murid pribumi, khususnya mereka yang bukan bangsawan. Hal ini semakin menguatkan tekadnya setelah pindah ke Surabaya usai lulus kelas 6 SD. Di kota itu, ia bersekolah di institusi terkemuka seperti MULO dan ELS.
Meski begitu, pandangan revolusioner Nani tidak lahir dari ruang kelas, melainkan dari kegiatan di luar sekolah. Ia kerap mengikuti diskusi dengan tokoh-tokoh pergerakan seperti Dr. Sutomo, Agus Salim, Cokroaminoto, hingga Soekarno. Ceramah-ceramah Bung Karno sangat menggugah hatinya, membuat Nani yakin bahwa kemerdekaan adalah keniscayaan. Kekaguman ini membuatnya berani berkenalan dengan Bung Karno, bahkan tinggal beberapa hari di rumahnya. Di sana, ia sempat membaca buku-buku politik Bung Karno dan menerima wejangan berharga: "Jangan pernah bekerjasama dengan Belanda!"
Dari situlah kedekatan keduanya terjalin. Nani pun semakin aktif di Partai Nasional Indonesia (PNI) yang dipimpin Bung Karno, bahkan sempat menjadi kadernya. Ketika kembali ke Gorontalo pada tahun 1928, ia dipercaya menjadi Ketua PNI Cabang Gorontalo. Melalui peran ini, ia menyebarkan ide nasionalisme di kalangan rakyat. Tak lama kemudian, ia juga bergabung dengan Muhammadiyah, organisasi Islam terbesar di Indonesia, untuk memperkuat jaringan perjuangan di Gorontalo.
Perjuangan Nani mencapai puncaknya pada awal 1940-an. Ada tiga faktor utama yang memungkinkan ia memproklamasikan kemerdekaan lebih dulu.
Pertama, dampak Perang Dunia II. Sejak 1939, serangan Nazi Jerman melemahkan negara-negara kolonial Eropa, termasuk Belanda. Kabar ini memberi harapan baru bagi Nani. Bersama rekannya, Kusnodanupoyo, ia mendirikan wadah perjuangan bernama Komite 12. Pada 23 Januari 1942, Nani dan para pejuang Komite 12 bergerak cepat menduduki fasilitas pemerintahan Belanda, sekaligus untuk pertama kalinya mengibarkan bendera Merah Putih di Indonesia.
Kedua, Nani mendapat simpati luas dari masyarakat, terutama para petani dan kalangan non-priyayi. Lewat perannya di PNI dan Muhammadiyah, serta kemampuannya menyampaikan semangat revolusi, ia menjadi pemimpin yang diidolakan rakyat. Maka ketika momen revolusi datang, rakyat Gorontalo segera bergerak bersama Nani.
Ketiga, kondisi Belanda yang sedang fokus menghadapi ancaman Jepang. Gorontalo adalah wilayah terdekat dari potensi invasi Jepang, sehingga Belanda lebih memilih memperkuat pertahanan di Jawa yang dianggap lebih penting. Akibatnya, saat revolusi pecah di Gorontalo, Belanda tidak mampu memberi perlawanan berarti.
Berkat strategi dan keberaniannya, Nani Wartabone berhasil memimpin rakyat Gorontalo menikmati kemerdekaan lebih awal. Sayangnya, masa itu hanya bertahan lima bulan sejak 23 Januari hingga 5 Juni 1942 hal ini terjadi karena Indonesia bagian barat kemudian diserbu oleh Jepang.
Setelah Indonesia resmi merdeka pada 1945, Nani memilih jalan hidup yang sederhana. Ia tidak menekuni dunia politik, melainkan menjadi seorang petani, membesarkan sembilan anak yang keturunannya hingga kini masih tinggal di Gorontalo.
Atas jasa-jasanya melawan kolonialisme, pemerintah menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional pada 6 November 2003.
Kisah Nani Wartabone menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hasil perjuangan banyak pihak. Semua memiliki narasi yang sama: penjajahan harus dilawan. Kisah Sang Proklamator Pertama dari Gorontalo ini seharusnya menjadi pengingat bagi generasi muda untuk lebih menghargai, mensyukuri, dan memanfaatkan kemerdekaan yang telah diraih dengan penuh pengorbanan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI