Mohon tunggu...
Agung Dwi Laksono
Agung Dwi Laksono Mohon Tunggu... peneliti -

Seorang lelaki penjelajah yang kebanyakan gaya. Masih terus belajar menjadi humanis. Mengamati tanpa menghakimi. Mengalir saja...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apakah Ini Bukan Masalah Kesehatan Masyarakat?! Catatan Perjalanan ke Kota Banjarmasin

15 Mei 2016   08:30 Diperbarui: 16 Mei 2016   07:01 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 1. Masjid Sultan Suriansyah, Kuin Utara Banjarmasin (gambar diambil saat menjelang siang); Sumber: Dokumentasi Peneliti

Banjarmasin, 06 Mei 2015

Pagi itu, jam 04.45 WITA sebelum adzan subuh berkumandang, mobil jemputan kami sudah datang. Pak Yan, sopir yang menjemput kami, sudah stand by di lobby Hotel Palm dengan mengenakan jaket kulitnya. Harus bersabar sebentar untuk menunaikan sholah subuh sebelum cap cus menyusuri Sungai Barito.

Jam 5.15 kami sudah siap meluncur, menuju demaga wisata pasar terapung. Yak, kami memang hendak browsing destinasi wisata legendaris di Kota Banjarmasin ini. Jalanan sudah cukup ramai dengan lalu-lalang masyarakat yang mulai bertebaran.

Dermaga wisata terletak persis di seberang sebuah masjid bersejarah, Masjid Sultan Suriansyah. Masjid yang terlihat klasik dengan gaya arsitektur tempo dulu khas Banjar dengan bahan yang sebagian besar atau bahkan mungkin secara keseluruhan terbuat dari kayu atau papan kayu. Terlihat jama’ah sholat subuh berjamaah baru bubar di masjid ikonik tersebut.


Kami menyewa perahu motor berpatungan dengan tiga orang gadis yang secara kebetulan kami temui di depan halaman masjid. Kesepakatan dengan si empunya perahu tercapai. Kami mendapat harga Rp250.000,- untuk menyusuri Sungai Barito sampai dengan nanti sekitar pukul 07.00 WITA.

Langit masih gelap saat kami memulai perjalanan, kamera prosumer kacangan kesayangan saya tak mampu menangkap gambar apapun yang nampak dengan cukup baik. Ahh… lebih baik naik ke atap perahu, berdiam diri, melipat tangan, bersila, dan menikmati kesunyian pagi yang mulai beranjak pergi.

Pagi tenang mulai terganggu dengan deru berisik mesin tempel perahu yang mulai lalu lalang. Sisi kiri dan kanan sepanjang sungai tampak rumah penduduk bak panggung sandiwara yang berdiri di atas aliran sungai. Tak seberapa lama di sisi kiri nampak Sermaga Penumpang Trisakti, sementara berjarak tak seberapa jauh mulai nampak kapal pengangkut batubara.

Ketika kami tiba di lokasi PasarTerapung, masih belum banyak perahu para pedagang yang biasa berjualan di sungai ini, hanya ada beberapa saja yang sudah mulai melakukan ‘barter’ barang dagangan antar mereka. Sistem barter memang biasa dilakukan para pedagang untuk melengkapi jenis barang dagangannya. Terlihat sangat eksotik, saat perahu para pedagang itu hilir mudik dengan background matahari yang mulai menampakkan hidungnya.

Gambar 2. Matahari Terbit di Pasar Terapung Sungai Barito; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 2. Matahari Terbit di Pasar Terapung Sungai Barito; Sumber: Dokumentasi Peneliti

Gambar 3. Aktivitas Pagi Pasar Terapung; Sumber: Dokumentasi Peneliti
Gambar 3. Aktivitas Pagi Pasar Terapung; Sumber: Dokumentasi Peneliti

Satu-persatu beberapa pedagang mulai menghampiri kami, menawarkan buah pisang emas, limau (jeruk), mentega (Apokat), dan beberapa dagangan yang lainnya. Kami membeli pisang emas sekedarnya, tiga cengkeh pisang emas yang kecil-kecil kami tebus dengan harga Rp. 10.000,-.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun