Mohon tunggu...
Syahroni Batik
Syahroni Batik Mohon Tunggu... Penulis - Sedang Belajar Agribisnis

Selain menulis artikel ilmiah, Tertarik juga menulis artikel-artikel ringan di media massa

Selanjutnya

Tutup

Money

Proyek Food Estate hanya Solusi "Ad Hoc"

18 Oktober 2020   05:57 Diperbarui: 18 Oktober 2020   06:51 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: BPMI Setpres/Muchlis Jr

Organisasi Pangan Dunia (FAO) memprediksi akan terjadi krisis pangan dan kekeringan di dunia pada masa pandemi ini. Menanggapi hal itu, pemerintah mencanangkan proyek food estate atau lumbung pangan sebagai program yang bertujuan untuk meningkatkan cadangan pangan nasional dan mengurangi impor pangan. Perlu diketahui, bahwa food estate hanya merupakan solusi "Ad Hoc", bersifat sementara atau hanya mengobati gejalanya saja. Upaya meningkatkan cadangan pangan yang berarti perbaikan dari sisi produksi, sudah dilakukan sejak pemerintahan orde baru (kepemimpinan Soeharto), dan juga dilakukan di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono melalui program serupa. Akan tetapi, hasilnya sampai sekarang Indonesia masih merupakan salah satu negara pengimpor terbesar komoditas pangan seperti beras, daging, kedelai, gula pasir, bahkan jagung. Hal ini diperburuk, bahwa anggaran yang dikucurkan pemerintah untuk mensukseskan program tersebut malah hanya akan memperkaya pedagang-pedagang besar, pengepul, pengumpul dan bahkan sebagian dari anggarannya jadi sasaran korupsi seperti yang terjadi pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Petani yang sebagian besar merupakan petani gurem dan rakyat kecil yang tinggal pedesaan tidak merasakan manfaatnya.

Proyek food estate, memang dalam jangka pendek memiliki kemampuan menggenjot produksi melalui intensifikasi seperti pengadaan alat mesin pertanian (ALSINTA) dan sarana produksi lainnya seperti benih, pupuk dan pestisida. Ekstensifikasi melalui perluasan lahan garapan untuk sawah dan membuka lahan baru. Akan tetapi, peningkatan produksi dari proyek food estate tidak berlangsung lama. Hal ini disebabkan karena tidak diiringi dengan peningkatan sumberdaya manusia (petani) melalui pengoptimalan kegiatan penyuluhan, pelatihan dan pengembangan. Proyek food estate juga hanya menekankan pada peningkatan produksi satu jenis pangan saja yaitu padi, sehingga akan semakin meningkatkan ketergantungan masyarakat terhadap beras, pangan lokal akan semakin ditinggalkan atau tidak ada mendukung diversifikasi pangan. Kajian kelayakan infrastruktur yang tepat, teknologi dan budaya setempat juga belum maksimal dilakukan, seperti kajian kelayakan lahan eks  Pengembangan Lahan Gambut (PLG) di Kalimantan Tengah yang akan dijadikan tempat proyek food estate.

Akar Persoalan

Selama ini, perhatian pemerintah dan petani untuk solusi mengenai masalah pangan hanya fokus pada perbaikan sisi produksi. Padahal, untuk komoditas pangan yang merupakan kebutuhan pokok, berlaku hukum permintaan inelastis, yaitu jumlah barang yang diminta tidak terlalu dipengaruhi oleh harga barang dan kuantitas barang. Oleh karena itu, perbaikan dari sisi produksi akan meningkatkan jumlah produksi pada panen raya, tetapi harga akan menurun karena tidak terakomodir oleh permintaan.

Apalagi disituasi pandemi saat ini, permintaan secara agregat cenderung menurun karena perlambatan ekonomi yang berdampak pada pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran. Hal ini berdampak juga pada petani yang mengalami kerugian akibat hasil panennya yang tidak laku di pasar, dan diperparah dengan penguasaan teknologi penyimpanan yang rendah sehingga hasil panen tidak dapat bertahan lama (membusuk).

Maksudnya, kebijakan pemerintah harus balance (seimbang) yaitu perbaikan di sisi produksi dan disisi konsumsi. Optimalisasi kelembagaan dari tingkat petani, pengumpul, pedagang besar sampai kepada konsumen. Badan Urusan Logistik (BULOG) harus dimaksimalkan perannya oleh pemerintah untuk menjaga stabilitas harga pangan pokok. Sehingga ketika sisi produksi digenjot melalui proyek food estate, BULOG telah siap menampung excess supply (kelebihan penawaran), dan ketika terjadi kelangkaan pangan, BULOG dapat mendistribusikan pangan untuk menjaga keseimbangan pasar.

Persoalan pangan lainnya yang patut menjadi perhatian pemerintah adalah masalah sumberdaya petani dan ketergantungan terhadap pangan beras. Petani di Indonesia yang didominasi oleh penduduk usia tua yaitu 39 tahun keatas, sarat akan pengalaman tetapi minim dari aspek adopsi inovasi. Pemerintah seharusnya melakukan program yang mendorong adanya regenerasi petani dan peningkatan kemampuan petani. Selain itu, peninggalan orde baru mengenai kebiasaan mengkonsumsi beras, menjadikan bangsa Indonesia ketergantungan terhadap beras dan mulai meninggalkan pangan lokal.

Namun demikian, perbaikan disisi produksi melalui proyek food estate harus dibarengi dengan perbaikan disisi konsumsi dengan mendorong diversifikasi pangan. Solusi yang bersifat permanen tentu sangat diharapkan baik itu disisi produksi maupun disisi konsumsi. Proyek food estate yang menghabiskan anggaran lebihdari Rp 5 triliun yang tersebar di beberapa kementerian, yang seharusnya anggaran tersebut dapat digunakan untuk solusi-solusi berkelanjutan dan tepat sasaran.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun