Pendahuluan
Jika kalian perhatikan, setiap kali tren baru muncul di media sosial, jutaan orang tergoda membeli pakaian terbaru hanya agar “tidak ketinggalan zaman.” Aplikasi belanja penuh diskon, influencer pamer outfit yang berbeda setiap minggunya, dan iklan yang menjanjikan “gaya murah tanpa rasa bersalah.” Di balik semua itu, terdapat masalah besar yang jarang dibicarakan, yaitu limbah fast fashion yang terus menumpuk dan mencemari lingkungan.
Istilah Fast fashion adalah sistem produksi pakaian cepat dan murah untuk mengikuti perubahan tren dengan kecepatan tinggi. Model ini membuat orang terbiasa membeli lebih banyak sekaligus membuang lebih cepat produk. Menurut laporan United Nations Environment Programme (UNEP) tahun 2023, industri fashion menyumbang sekitar 10 persen emisi karbon global dan 20 persen limbah air dunia. Setiap tahun, dunia menghasilkan sekitar 92 juta ton limbah tekstil, setara satu truk sampah pakaian per detiknya (BBC, 2023).
Di Indonesia, fenomenanya juga nyata. Laporan Waste4Change (2022) mencatat lebih dari 2,3 juta ton limbah tekstil dihasilkan setiap tahun, dan sebagian besar berakhir di tempat pembuangan akhir tanpa proses daur ulang. Sementara itu, platform e-commerce besar terus menampilkan flash sale pakaian baru setiap minggu. Ironinya, hanya sebagian kecil konsumen yang menyadari dampak ekologis dari kebiasaan belanja cepat ini. Di Indonesia, fenomena ini terlihat dari meningkatnya minat belanja pakaian murah di platform seperti Shopee, Tokopedia, dan Shein. Data iPrice Group (2023) menunjukkan bahwa penjualan pakaian murah meningkat hingga 54 persen selama dua tahun terakhir. Tren ini mendorong konsumsi tekstil yang jauh melampaui kebutuhan dasar masyarakat.
Pertanyaannya, mengapa masyarakat bisa terus terjebak dalam siklus konsumsi ini? Apakah hal ini disebabkan kurangnya informasi, atau karena strategi komunikasi atau pemasaran yang sengaja dirancang untuk membuat kita merasa perlu membeli lagi?
Tinjauan Konsep
Isu fast fashion tidak bisa dilepaskan dari cara industri berkomunikasi. Dalam konteks komunikasi lingkungan, hal ini terkait dengan dua konsep penting yaitu framing dan greenwashing.
Pertama, framing. Menurut Entman (1993), framing adalah cara pesan dibentuk untuk menonjolkan makna tertentu dan mengabaikan makna lain. Industri fast fashion sering membingkai produknya sebagai simbol kebebasan, kreativitas, dan kemandirian terutama pada anak muda. Iklan menampilkan citra bahagia, gaya hidup modern, dan harga terjangkau lewat promosi besar-besaran. Padahal di balik visual menarik itu, terdapat ribuan lebih buruh tekstil yang dibayar rendah dan limbah tekstil tidak terpakai yang menumpuk di negara berkembang.
Kedua, greenwashing. Ini istilah untuk praktik perusahaan yang menampilkan diri seolah peduli lingkungan, padahal kenyataannya tidak. Banyak brand besar seperti H&M, Zara, dan Shein memakai label “eco-friendly,” “sustainable,” atau “conscious collection.” Namun nyatanya laporan Changing Markets Foundation (2022) menemukan bahwa lebih dari 60 persen klaim keberlanjutan brand fashion tidak didukung data yang jelas. H&M Conscious Collection, misalnya, hanya menggunakan sekitar 0,2 persen bahan daur ulang dari total produksinya.
Komunikasi lingkungan seharusnya berperan penting sebagai cara untuk mengedukasi masyarakat tentang dampak perilaku konsumtif, tapi dalam industri ini, komunikasi justru menjadi alat penenang rasa bersalah. Konsep komunikasi lingkungan sendiri menekankan pentingnya pesan yang tidak hanya informatif, tetapi juga partisipatif. Menurut Cox (2013), komunikasi lingkungan berfungsi untuk membangun kesadaran, memfasilitasi dialog, dan mendorong tindakan kolektif dalam isu ekologi. Jika teori ini diterapkan pada konteks fast fashion, maka pesan keberlanjutan seharusnya mendorong konsumen untuk memahami konsekuensi ekologis dari setiap pembelian yang mereka lakukan.
Analisis Kasus
Fenomena greenwashing fast fashion menunjukkan bagaimana komunikasi bisa membentuk persepsi yang menipu. Iklan dan media sosial bekerja sama menciptakan narasi bahwa belanja adalah bentuk ekspresi diri, bukan konsumsi berlebihan, ini kian diperkuat dengan kenyataan bahwa pakaian merupakan kebutuhan primer manusia.
Di TikTok, tagar seperti #OverHaul, #Preloved atau #OOTD menampilkan pengguna muda yang memamerkan tumpukan tren pakaian baru. Setiap video diisi dengan antusiasme dan pujian terhadap harga murah dan desain yang kekinian. Tak ada yang membicarakan limbah yang dihasilkan setelah tren itu berlalu, hal ini menjadi masalah ketika limbah-limbah brand besar itu mulai tidak terpakai, sehingga akhirnya mereka melakukan berbagai cara untuk menyingkitkan limbah fast fashion ini, mulai dari daur ulang, perdagangan baju bekas dengan sasaran negara-negara berkembang, hingga yang terburuk membuangnya ke alam. Laporan World Bank (2023) menyebut bahwa produksi satu kaus katun membutuhkan sekitar 2.700 liter air, ini setara dengan kebutuhan minum satu orang selama dua tahun. Selain itu, pewarna tekstil juga menyumbang sekitar 17–20 persen pencemaran air di industri global.
Menurut Katadata Insight Center (2023), 72 persen konsumen Gen Z Indonesia membeli pakaian baru setiap bulan, dan 65 persen di antaranya menyebut alasan “ingin tampil trendy di media sosial.” Angka ini menunjukkan bagaimana komunikasi visual dan algoritma media sosial membentuk perilaku konsumtif. Di sisi lain, kampanye komunikasi lingkungan sering kali kalah pamor. Pesannya serius, medianya terbatas, dan visualnya kurang menarik. Padahal riset Pew Research Center (2022) menunjukkan bahwa pesan lingkungan yang disampaikan lewat narasi emosional atau personal lebih mudah diingat publik dibanding pesan berbasis data mentah.
Kesenjangan inilah yang membuat isu fast fashion terus membesar. Ketika brand menggunakan strategi pemasaran kreatif, pihak yang ingin menyuarakan keberlanjutan masih bergantung pada pendekatan lama yang informatif tapi tidak menggugah emosi. Akibatnya, kesadaran tumbuh lambat, sementara produksi terus meningkat. Masalahnya bukan hanya pada perilaku individu, tapi pada sistem komunikasi global yang menormalkan konsumsi cepat. Brand menampilkan klaim hijau agar terlihat bertanggung jawab, padahal sistem produksinya tetap boros air, energi, dan bahan kimia. Sementara itu, negara seperti Ghana atau Chile menjadi tempat penimbunan limbah pakaian dari Eropa dan Amerika. Laporan The OR Foundation (2022) menyebutkan bahwa di Accra, Ghana, lebih dari 15 juta potong pakaian bekas masuk setiap minggu, sebagian besar dari brand global. Banyak yang langsung dibuang ke laut atau dibakar di tempat terbuka.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa masalah fast fashion bukan hanya gaya hidup, tapi juga krisis komunikasi: siapa yang mengontrol narasi, siapa yang membentuk kesadaran, dan siapa yang menanggung akibatnya. Komunikasi yang hanya berorientasi pada penjualan tanpa tanggung jawab sosial akhirnya menciptakan paradoks bahwa semakin banyak informasi tentang keberlanjutan disebar, semakin cepat pula produk baru diproduksi untuk memenuhi “tren hijau” yang justru tidak berkelanjutan.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Fast fashion adalah gambaran sempurna tentang bagaimana komunikasi bisa membentuk realitas sosial. Melalui strategi pesan yang cerdas, industri mampu membuat konsumsi berlebihan terlihat normal, bahkan keren. Padahal yang sesungguhnya terjadi adalah eksploitasi sumber daya alam dan manusia. Kita tidak bisa berharap perubahan besar datang dari industri yang mendapat keuntungan dari pemborosan. Perubahan harus datang dari dua arah, yaitu kebijakan dan komunikasi publik.
Pertama, transparansi. Brand harus terbuka soal rantai pasok, bahan, dan dampak produksinya. Label keberlanjutan harus berbasis data, bukan sekadar kampanye citra. Uni Eropa sejak 2024 sudah menetapkan aturan Digital Product Passport untuk pakaian, yang mewajibkan setiap produk mencantumkan asal bahan, proses produksi, dan jejak karbonnya. Langkah ini bisa menjadi contoh kebijakan transparansi yang juga dapat diadaptasi di seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia.